Aku bergidik.
Kepala ini menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tak kunjung menemukan sumber suara. Demikian juga, ketika mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
Semua orang dalam ruangan ini masih berada di posisinya. Para tamu duduk di kursi menyantap hidangan dan anggota tim Sinna juga sedang melaksanakan tugasnya masing-masing.
“Halo!"
"Nona! Apa bisa jawab pertanyanku?” ucap laki-laki dengan badan besar itu sekali lagi.
Dan pertanyaan itu membuatku harus kembali menolehkan kepala ke tempat di mana laki-laki berbadan besar itu duduk.
“Sa-y ...,” ucapku tergagap.
Bisikan itu kembali terdengar dan otomatis kepala ini langsung celingukan.
Seketika kulitku meremang karena memang tak ada seorang pun yang berada di dekatku, tetapi bisikan itu seolah terasa orang tersebut berada di dekat kuping ini.
Apa tamparan itu membuatku halusinasi?
Perasaan bukan baru sekali ini aku mendapatkan tamparan atau pukulan, tetapi efeknya biasanya enggak seperti ini.
Aku jadi lebih sibuk dengan pikiranku sendiri daripada berusaha menjawab bertanyaan laki-laki yang berkulit gelap dan berbadan besar ini.
Aku termenung dan hanya menatap kosong ke depan.
“Jangan menyusahkannya lagi, ia tadi sudah ditampar anakmu,” sahut laki-laki yang dipanggil Daffar tadi. Ia duduk di sebelah laki-laki berbadan gelap ini.
Laki-laki tampan rupawan itu menyuapkan makanan ke mulut dan menatapku sambil mengunyah.
“Ah! Rupanya ini karena perebutan laki-laki tertampan sejagat raya, Kamu memang bisa menyebabkan masalah seperti ini. Jadi, jangan salahkan anakku yang juga tergila-gila padamu,” bela laki-laki berbadan besar ini, lalu terkekeh.
“Ini tidak bisa dikatakan sebagai perebutan, gadis ini baru saja melihatku beberapa saat tadi, dia nggak mengenalku,” timpal laki-laki yang dipanggil dengan nama Daffar ini, kemudian ikut terkekeh.
Laki-laki berbadan besar itu terdiam.
“Em ... jadi ini murni karena cinta buta putriku,” ucapnya dengan nada riang.
“Aeh! Itulah resiko orang ganteng. Kamu sih terlalu menarik!” lanjut laki-laki itu sambil menoleh ke pemilik penthouse.
Pria tampan yang duduk di tengah meja makan itu hanya tertawa sambil sesekali melihat ke arahku.
Gadis yang tadi menamparku melirik sinis ke arahku.
“Pokoknya aku tidak mau minta maaf, Ayah!” rajuk wanita berkulit pucat itu lagi, beberapa tamu tampak menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalau begitu, Kamu gak boleh ke sini lagi, Mora!” larang pemilik penthouse itu dengan tenang.
“Ayah!” seru gadis itu sambil memukul-memukul lengan ayahnya.
laki-laki berkulit hitam itu mengembuskan napas panjang.
“Itu sebuah cara p********n yang bagus, Daffar,” sahut ayah gadis itu. Lalu, ia berusaha membujuk anak manjanya itu.
“Itu cara mendidik yang baik, Millian,” balas laki-laki tampan itu sambil kembali menyuapkan makanan ke mulut.
Aku berdiri sambil tetap mengamati ketiga orang yang tengah berbicara itu.
“Ah!” jeritku tertahan.
Mata ini melotot, dengan cepat aku membekap mulut dengan telapak tangan.
Laki-laki yang dipanggil dengan nama Millian itu tampak mengalami perubahan.
Laki-laki berbadan besar yang sedang memiringkan badan untuk membujuk anaknya itu terlihat tidak seperti semestinya.
Dari punggung laki-laki itu tampak keluar sesuatu seperti ... em sirip? Apa itu benar-benar sirip? Entah, benda seperti itu biasa kulihat di punggung hewan-hewan purbakala yang telah punah.
Dan entah sejak kapan di dekat punggung yang sekarang bersirip itu melambai-lambai benda yang seperti ekor.
Ya. Benda yang menjulur tu lebih tepat disebut ekor, walaupun dari tempatku berdiri hanya terlihat bagian atasnya.
Ujung ekor itu seperti berusaha mengetahui keberadaanku dengan bergerak mendekat, tetapi dalam jarak setengah meter, ekor itu bergerak ke kanan dan ke kiri, lalu kembali ke posisi semula seolah kehilangan jejak.
Hoek!
Mendadak perut ini terasa mual. Samar-samar indra penciuman ini mengenali bau asing yang tak sedap.
Pemilik Penthouse tampat itu menghentikan gerakan tangannya.
“Apa bentuk badan Ayah Mora ini terlalu besar menurutmu? Ini juga pertama kali Kamu melihat badan sebesar itu?” ucap laki-laki tampan ini dengan suara lembut, mungkin ia memperhatikan perubahan wajahku.
Aku mengibaskan tangan sebagai ganti kata tidak. Lalu, dengan cepat membungkuk dan membalikkan badan.
Laki-laki muda anggota tim Sinna sepertinya menangkap gerak-gerikku dan langsung mendekat.
“Kamar mandi?” ucapnya melihat ketika satu tangan membekap mulut dan tangan lain memegang perut.
Aku mengangguk dengan cepat. Lalu, dengan langkah cepat, kaki ini mengikuti arah yang ditunjuk oleh laki-laki muda ini.
“Jangan sampai diperkarakan, Mora?” Sayup-sayup terdengar suara lembut laki-laki tampan pemilik penthouse ini dari tempat mereka bicara.
Mulut ini hanya memuntahkan air di wastafel ketika sampai di kamar mandi.
Rasa sakit kepala yang tadi sempat pergi, kini datang lagi.
“Ah!” desahku kesal.
Apa sih yang sedang terjadi pada mataku?
Aku membasuh muka dan mengusapnya dengan gulungan handuk kecil yang tersedia di dekat wastafel. Setelah itu, aku keluar dari kamar mandi dan menemukan laki-laki muda itu tengah berdiri sambil memegangi secangkir teh.
“Istirahatlah dulu!” pintanya lirih.
Anak buah Sinna itu meletakkan cangkir di meja kecil yang tak jauh dari kamar mandi.
Aku mengikuti sarannya dan duduk di kursi empuk yang ada di samping meja kecil itu.
“Mungkin jiwamu terguncang karena tamparan dari gadis cantik tadi,” komentarnya dengan ekspresi wajah prihatin.
“Hah?” seruku ternganga.
Darimana datangnya kesimpulan itu?
Aku hanya bisa menatap anak buah Sinna ini dengan sedih.
Jiwa terguncang?
Mungkin jika tidak dalam keadaan ini, aku pasti tertawa terbahak-bahak.
Bagaimana dia langsung melompat pada keputusan ngawur itu, ya?
Akhirnya aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Hei! Tunggu!
Apa tidak ada satu pun anak buah Sinna yang melihat apa yang kulihat pada laki-laki dengan badan besar itu?
Eh! Apa benar jiwa ini terguncang?
Haduh!
Dering handphone membuatku terlonjak.
Ah! Aku lupa membuat handphone ini dalam mode silent.
Nama Sinna muncul di layar.
"Katanya Kamu sakit, Neth?"
Tanpa salam pembuka, apalagi pemanis kata, seperti biasa, pertanyaan dengan mode langsung pada sasaran terdengar.
"Anneth!"
Hanya beberapa detik aku terdiam dan suara panggilan dengan nada suara lebih tinggi terdengar.
“Mungkin hanya masuk angin,” jawabku mencoba menenangkan, cepat juga laporan sang anak buah.
"Gini, Kamu kalau alergi sama orang-orang kaya itu, jangan mendekat ke meja itu! Cukup berdiri di dekat meja platting aja ya! Pastikan tidak ada yang kurang atau salah dalam sajian! Bertahan sebentar lagi! setelah acara makan malam itu, Kamu bisa pulang. Hanya sebagian anggota yang akan menunggu acara itu selesai untuk membereskan ruangan, oke. Dah, istirahat saja dulu! Bentar ... tuh anakmu nangis. Daa."
Hah! Alergi orang kaya?
Penyakit apa lagi yang dituduhkan padaku?
Benar-benar saat ini aku ingin tertawa terbahak-bahak, hanya saja takut disangka gila.
Telepon itu diakhiri sebelum aku menjawab kalimat terakhir itu.
“Agh!”
Aku menjerit ketika mendadak ada seseorang mendekat.
Entah kapan ia datang, tiba-tiba saja sesosok perempuan sudah berdiri tepat di depanku.
Aku mengenalinya sebagai salah satu dari tamu-tamu yang duduk di meja makan itu.
Wanita ini mengenakan gaun putih yang tampak mahal. Rambutnya disanggul modern dan terlihat sangat serasi dengan gaun dan wajahnya.
Aku mengangguk hormat sebagai ganti sapaan.
“Hah!” jeritku kembali tertahan.
Wanita di depanku ini juga pelan-pelan berubah.
“Ah!” pekikku pelan.