Bisikan Aneh

1084 Kata
Aku terus memikirkan keanehan-keanehan yang baru saja terlihat, tubuh ini masih sedikit gemetar. Demi Kamu, Sinna, aku masih bertahan merapikan meja makan ini! “Sudah kubilang, aku baru saja bertemu dengan gadis itu, Mora,” sahut laki-laki itu sambil berjalan memasuki sebuah ruangan. Sepertinya itu kamar tidur, dari tempat aku berdiri, terlihat sedikit sudut ranjang yang indah. “Di situ anehnya, baru bertemu, tapi sudah dapat perlakuan istimewa darimu,” rajuk wanita berkulit pucat itu sambil mengejar laki-laki itu, suara high heel-nya bercetak-cetok nyaring. “Apanya yang istimewa?” sahut laki-laki tinggi tegap itu santai. Dari belakang, benang coklat tua itu masih sibuk bergerak ke sana ke mari. Tunggu! Apa orang-orang di ruangan ini merasa hal itu bukan satu keanehan? Aku menoleh ke arah laki-laki muda yang masih berdiri mematung, tetapi sepertinya ia tertegun karena mengikuti gerak-gerik perempuan berkulit pucat yang cantik itu. Paduan kulit pucat dan rambut pirangnya, memang bakal membuat laki-laki mana saja yang memandangnya tertegun seperti itu. Tetapi, apa murni karena itu? Sepertinya, laki-laki muda anak buah Sinna itu terlihat terpisah dari kenyataan. Pandangannya seolah melayang-layang. Apa itu disebabkan karena ia memang sedang mengkhayalkan wanita cantik berkulit pucat itu? Atau karena hal lain? “Kenapa harus memberinya minyak itu? Bukannya itu minyak istimewa untuk kalangan kita saja?” protes wanita itu tanpa basa-basi. Laki-laki itu menghentikan langkah kakinya tepat di depan pintu ruangan itu. “Sadar Mora! Kamu menamparnya di tempat ini dan gadis itu, kalau mau, bisa memperkarakan mu di pengadilan. Lebih baik memberinya sedikit obat untuk melunakkan hatinya,” ucap laki-laki itu terdengar jujur. “Aku tidak takut,” seru wanita berkulit pucat itu pongah. “Bukan masalah takut atau tidak, aku tak mau tempat ini menjadi TKP. Minta maaflah segera!” seru laki-laki itu sambil memasuki ruangan. “Apa? Maaf? Huh!” teriak wanita itu angkuh sambil menoleh ke arahku. “Daffar!” seru wanita itu sambil berlari menyusul laki-laki itu ke dalam ruangan. “Ugh!” seruku sambil berpegangan pada tepi meja makan besar ini. “Apa baik-baik saja?” seru laki-laki muda anak buah Sinna. Ia seolah baru sadar kalau masih ada aku di sini setelah perempuan berambut pirang itu hilang dari pandangan. “Nggak apa, hanya sedikit pusing,” jawabku sambil berusaha terlihat baik-baik saja. Aku memikirkan ucapan wanita berkulit pucat itu, apa ada sejenis minyak untuk kalangan tertentu? “Apa karena tamparan tadi?” sahutnya sambil memperhatikan pipiku, mungkin ada bekas merah di sana. “Em ... mungkin,” jawabku singkat. “Kalau begitu, aku akan membantumu di sini, agar cepat selesai. Kalau jam makan malam tiba, beberapa anggota tim yang di atas bakal turun kok,” jelasnya sambil mengambil handphone lalu mengetikkan pesan. Aku mengangguk dan bersyukur dengan informasi itu. Kemudian, dengan cekatan, laki-laki muda ini membantuku. Dan dalam waktu yang relatif singkat, meja makan ini selesai dihias dan di tata. Kursinya yang sudah cantik itu pun sudah tertutup dengan kain satin warna emas dengan pita-pita warna coklat mengkilat yang diikatkan di bagian belakang sandaran kursi. “Istirahatlah di sudut itu!” pinta laki-laki muda itu sambil menunjuk sebuah sudut dengan kursi cantik yang tampak nyaman. Aku mengangguk dan segera menuju tempat yang ditunjuk laki-laki muda anak buah sahabatku itu. Lalu, ia membawakan satu botol air mineral, kopi dalam kemasan kaleng dan satu bungkus kecil biskuit. Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi nyaman itu, lalu menempelkan dua minuman yang baru keluar dari kulkas itu ke pipi yang tadi terkena tamparan. Pikiran ini kembali sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini. Sekaligus juga penasaran dengan apa yang ada di badan laki-laki yang dipanggil dengan nama Daffar itu. Dan minyak itu? Ah! Rasa sakit kepala yang telah mereda kini kembali muncul. Aku menekan-nekan pelipis untuk kembali meredakan rasa sakit. Beberapa saat kemudian bel berbunyi dan laki-laki muda itu bergegas ke pintu. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan muda terlihat turun dari tangga melingkar yang mewah di ruangan ini, mereka juga bergegas menuju pintu. Sekelompok laki-laki dan perempuan dengan baju-baju yang indah nampak memasuki ruangan. Tak lama kemudian laki-laki yang dipanggil dengan nama Daffar, yang mungkin adalah pemilik dari tempat ini, nampak keluar dari ruangan dengan mengenakan tuxedo hitam. Sementara itu, wanita berkulit pucat itu bagaikan satelit yang selalu mengikuti gerak bumi, terus menempel pada laki-laki itu. Acara ramah tamah terjadi beberapa saat lamanya, aku menyaksikan dari sini hingga laki-laki muda anggota tim Sinna memintaku mendekat. “Apa Kamu nanti bisa mengawasi makanan yang dihidangkan? Makanan dari chef akan dihidangkan oleh beberapa orang, Kamu bisa mengecek kesesuaian menu dengan jadwal waktunya,” jelasnya dengan serius. Aku mengangguk. Kemudian, aku diperintahkan untuk berdiri di antara meja makan dengan sebuah meja di balik sekat indah yang ternyata tempat untuk meletakkan makanan setelah platting. Beberapa saat kemudian para tamu dipersilahkan duduk di meja makan dan pemilik rumah duduk di kursi paling tengah. Makan malam dimulai dan satu persatu hidangan disajikan. “Ayah, aku tidak mau minta maaf,” rajuk wanita itu manja. Aku berusaha tetap konsentrasi pada tugasku. “Dengan?” sahut sebuah suara yang terdengar berat. “Tuh!” seru suara wanita itu terdengar manja. Aku yakin saat ini akulah yang sedang ditunjuk oleh wanita berkulit pucat itu. Mungkin juga saat ini beberapa kepala ikut menoleh ke arahku. “Nona!” seru suara laki-laki yang terdengar berat. Suara langkah kaki mendekat dan kemudian memberitahukan panggilan yang ditujukan untukku. Seorang perempuan muda anak buah Sinna kini menggantikan tugasku. “Ya?” ucapku ketika mendekat pada laki-laki yang memanggil itu. Ia adalah laki-laki berbadan besar dengan kulit gelap. Laki-laki ini menatapku tajam. “Ini orangnya?” ucapnya sambil menoleh ke arah wanita muda berkulit pucat yang menggelendot manja di sebelahnya. Aku berpikir, apa itu benar ayahnya? Bagaimana kulitnya bisa tak sama? Wanita berambut pirang itu mengerucutkan mulutnya. “Benar ini?” tanya laki-laki berbadan besar itu pada pemilik penthouse yang duduk di sebelahnya. Laki-laki itu mengangguk sambil menatapku tak berkedip. Ketiga orang itu kini memandangku yang sedang berdiri di dekat pemilik penthouse. Ekspresi pemilik tempat ini berbeda. “Apa Kamu menyukai laki-laki tampan di sebelahku ini, Nona?” tanya laki-laki dengan suara berat itu tanpa mengedipkan mata. “Hah!” seruku refleks. Pemilik penthouse yang menawan itu tampak tertawa terbahak-bahak, sedangkan orang-orang yang duduk di meja itu, serentak menolehkan kepala ke arahku. “Siapa namamu, Nona?” ucap suara berat laki-laki itu padaku. “Sa-ya ....” Ucapanku terhenti. Mendadak, terdengar bisikan di telinga ini. “Jangan sebutkan namamu!” Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi, tak seorang pun ada di sampingku. Hah!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN