Siapa Tamu Wanita Itu?

1104 Kata
Kali ini aku menggosok-gosok mata, lalu mengerjap-ngerjap, berharap apa yang terlihat ini salah. Rambut wanita ini berubah menjadi putih. Di dahinya muncul benda seperti mahkota dengan bagian tengahnya bertahta batu mulia berbentuk trapesium yang mengeluarkan cahaya menyilaukan. Telinga wanita ini bagian atasnya terlihat berubah menjadi runcing. Dalam wujudnya yang berubah itu, wanita ini masih kelihatan cantik dan anggun. Wanita bergaun putih itu masuk ke kamar mandi yang berada di dekat tempat duduk ini. Secepat kilat, aku beranjak dan melaksanakan saran Sinna untuk berada di dekat meja platting saja melaksanakan tugas tanpa harus mendekat pada orang-orang yang mungkin memiliki penampilan ganda. “Penampilan ganda?!” gumamku tanpa suara. Aku terkejut dengan apa yang baru saja terlintas di pikiran, begitu saja pikiran ini memberikan nama pada wujud-wujud yang mendadak muncul dalam satu badan manusia itu. Memang ada ya, hal seperti itu di dunia ini? Hei Sinna! Ini bukan penyakit alergi dengan orang kaya ya? Diagnosis tanpa dasar itu terbukti ngaco, ini penyakit melihat penampilan ganda. Ya, aku sebut saja seperti itu. Sebaiknya aku segera berusaha berkonsentrasi pada tugasku mengawasi hidangan saja, daripada sakit kepala yang masih terasa dan tubuh yang masih sedikit gemetar ini makin menjadi. Lebih dari satu jam kemudian makan malam itu usai. Bel terdengar. Sekelompak anak muda laki-laki dan perempuan dengan berbagai dandanan apik dipersilahkan naik ke lantai dua. Kemudian, para tamu yang semula duduk di meja makan, beranjak dan mengikuti orang-orang yang baru datang itu. Setelah mereka semua naik, empat orang anggota tim Sinna yang terdiri dari tiga orang laki-laki dan seorang perempuan terlihat turun dari tangga dan bergabung dengan yang lain di lantai ini. Kini seluruh anggota tim membereskan apa-apa yang ada di sini dan membuat ruangan ini rapi seperti sedia kala. “Apa Kamu bisa membantu membawa barang-barang ini ke mobil?” ucap laki-laki muda yang menuduhku terkena goncangan jiwa. Aku mengangguk. Dan mengatakan aku baik-baik saja ketika ia kembali menanyakan kabar dari “gunjangan jiwaku”. Kemudian, dalam waktu tiga puluh menit, barang-barang sudah terkumpul di dekat pintu dan siap dibawa ke bawah. Begitu juga dengan orang-orang yang menangani makanan di bawah pimpinan chef sudah siap-siap untuk turun. “Katanya masih ada yang harus tinggal di sini untuk membereskan lantai dua?” tanyaku pada laki-laki muda itu untuk mengkonfirmasi apa yang dikatakan Sinna. “Iya, tetapi kita tidak dizinkan tinggal di sini, jadi beberapa dari kita akan menunggu di lobi hotel lantai dasar dan naik ketika dipanggil,” jelasnya sambil menyerahkan tas dengan ukuran besar. "Oh," ucapku pendek memahami penjelasan singkat itu. “Letakkan saja barang-barang ini di mobil kita, dua orang akan menyambutmu,” ucap laki-laki muda itu sambil menunjuk pada dua laki-laki yang sedang berjalan menuju pintu keluar. Aku mengangguk dan menyusul mereka keluar ruangan, ingin sekali segera menjauh dari tempat mewah ini. Pintu lift tertutup ketika kaki ini sedang berusaha menyusul mereka. Aku terpaksa berdiri di depan pintu lift menunggu pintu ini terbuka lagi. Pintu lift terbuka, tapi empat orang anggota tim Sinna meminta izin untuk turun lebih dulu. Keempat perempuan itu mendorong dua meja yang memiliki roda dengan tumpukan barang yang menggunung. Aku mengalah dengan sedikit menggeser posisi berdiri. Kemudian pintu lift tertutup kembali dan aku yang sudah menjinjing tas-tas besar itu hanya berdiri mematung di depan pintunya. “Hah!” jeritku terkejut. Tiba-tiba perempuan cantik dengan gaun putih yang tadi muncul di dekat kamar mandi itu sudah berdiri di depanku. “Gadis bodoh! Pergi dari sini!” Sebuah suara kembali terdengar di telinga dan otomatis kepala ini menoleh ke kiri ke kanan. Mataku kembali menatap wanita cantik ini karena hanya dia yang berdiri di dekatku, tetapi ... wanita ini tidak mengucapkan apa-apa. Bibirnya sama sekali tak bergerak. “Ya?” ucapku pada wanita yang sudah beberapa menit hanya berdiri mematung menatapku. “Gadis bodoh! Pergi dan jangan pernah kembali ke sini!” Kembali kuping ini mendengar satu suara. “Hah!” seruku tertahan. Apa wanita ini yang melakukannya? Whoah! Bag-bagaimana bi-sa ...? “Aaa.” Belum sempat mulut ini bertanya, tiba-tiba angin berhembus dengan kencang dan membuatku terjerembab, padahal wanita yang masih berdiri mematung itu, terlihat tidak melakukan gerakan apapun. Sepasang langkah kaki tergesa mendekat. “Hei! Apa tas-tas itu terlalu berat?” seru suara laki-laki muda anak buah Sinna. “Oh! Tidak,” jawabku sambil celingukan, wanita cantik tadi sudah tidak nampak. “Mungkin Kamu masih terguncang ya jiwanya?” ucap laki-laki muda itu. “Tidak, aku hanya terjatuh,” jawabku pasrah. Sepertinya, apa saja yang aku katakan, tuduhan itu tidak akan berubah. Aku menghela napas sambil berusaha bangkit dari tas-tas besar yang sedang kutindih. “Untung isinya bukan sesuatu yang mudah pecah, kalau tidak, bisa kena omelan full satu minggu sama si pemilik,” sahutku sambil tersenyum. Laki-laki muda itu ikut tersenyum, mungkin ia membayangkan Sinna mengomel tak berhenti selama satu minggu penuh. Ia seperti ingin membantuku, tetapi kedua tangannya juga menenteng banyak barang. Tak lama kemudian, lift terbuka dan kami masuk ke dalam diikuti oleh tiga laki-laki anggota tim yang akan menunggu di lobi lantai satu hotel megah ini. Sebelum pintu lift tertutup, terlihat kelompok yang mengurusi hidangan mengantri di depan pintu lift. Nggak sampai lima menit lift sampai di lantai satu. Kami keluar ke depan hotel. “Kamu bisa naik taksi, maaf tak bisa mengantar,” ucap laki-laki muda itu terdengar tulus, lirikan matanya di arahkan pada mobil van yang penuh dengan barang. Aku mengangguk. “Nggak papa. Terima kasih sudah banyak membantuku tadi, entah gimana jika tidak ada Kamu,” balasku tulus. Laki-laki muda itu tersenyum. “Jangan hiraukan tamparan tadi, oke! Jangan biarkan hal sepele membuat jiwamu terguncang! Aku tahu, selain cantik, Kamu adalah gadis yang kuat,” ucapnya sambil menatapku seakan menyalurkan aliran semangat dari pandangan mata. “Hah!” seruku ternganga. Luar biasa, dia baik, tapi sisi gelap anak buah Sinna ini adalah halusinasi dan tak masuk akal. Aku hanya mengangguk agar ucapannya tidak diperpanjang dan kadar ketidakmasukakalannya nggak bertambah. Namun, aku tertawa terbahak-bahak dalam hati. Sebuah taksi terlihat mendekat. “Taksi!” teriak laki-laki muda itu. Ia mencegat dua taksi untuk keempat perempuan anggota tim yang sedang berdiri tak jauh dari mobil van. Dua buah taksi berhenti dan dengan segera membawa keempat anggota tim itu pergi. “Sayang sekali, hanya satu mobil yang bisa beroperasi,” ujar laki-laki itu ketika giliranku yang pergi dengan taksi. Aku tersenyum dan mengangguk. "Nggak apa-apa," sahutku sambil berlalu. Taksi yang kutumpangi meluncur membelah jalan raya. Aku menyandarkan punggung di jok penumpang dan berharap bisa sejenak istirahat dari semua keanehan yang terjadi. “Hek!” Mendadak hidung ini mencium bau yang menyengat. Pandangan mata berusaha mencari sumber bau dengan berusaha menahan napas. “Hah! Apalagi ini?” Aku tercekat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN