Sinna menatapku dengan ekspresi tak percaya. Mulutnya tampak sedikit terbuka.
Aku membalasnya dengan berusaha melebarkan kelopak mata yang masih terasa berat.
“Setiap wanita akan merasa mabuk bila ada di dekatnya, apalagi ketika ia mengajak bicara, wah! Terasa melayang tiga puluh senti di atas tanah,” jelas Sinna antusias.
Sinna menelangkupkan tangan dan memandang langit-langit. Jari-jarinya bergerak seolah mengetuk-ngetuk pipi, mungkin di pikirannya saat ini sedang membayangan suasana ketika berada di dekat laki-laki tampan itu.
“Semua ... wanita?” tanyaku heran.
Kurasa walaupun seorang laki-laki memiliki ketampanan level kebangetan, tidak akan membuat para wanita semabuk itu.
“Ah!” Sinna mendesah lelah.
Wanita ini menurunkan tangan, sedangkan bahunya bergerak turun.
Kini pandangan matanya tertuju tepat di manik mataku, sesaat kemudian terlihat ekspresi terperanjat bercampur rasa kesal terlihat di wajahnya.
“Ka-mu ti-dak?” serunya seolah sedang mengalami shock.
“Em,” sahutku mantap. Aku mengangguk.
“Hah!” teriaknya sambil menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan dan memundurkan kepala.
“Hem ... dah kutebak, su-dah ku-te-bak, benar ... benar ... tidak salah lagi, Kamu memang aneh, sedikit nggak normal,” serunya berulang kali sambil menelisik setiap sudut wajahku.
Dua tangan itu kini menangkup wajah ini sambil menggerakkan ke kiri dan ke kanan untuk diamati dari jarak dekat.
“Hei! Tunggu! Jangan keburu mengeluarkan diagnosis ngaco itu, Bu dokter abal-abal,” ucapku lemah.
Badan ini masih terasa tak bertenaga, sepertinya usaha untuk lepas dari tangkupan tangan itu sia-sia.
Setelah Sinna merasa puas dengan gerakan itu, baru tangkupan tangan di pipi ini dilepas.
“Pemilik penthouse itu memang tampan dan nyaris sempurna. Tentu saja, pasti banyak wanita yang menyukainya, tetapi jika sampai merasa mabuk seperti itu ... kurasa gak masuk akal. Mungkin Kamu yang sedikit berhalusinasi, ya?” sanggahku memberi alasan.
“Hei! Hei! Hei! Anda salah, Nona Anneth,” sahutnya sok resmi.
Aku tersenyum melihat telunjuknya digerakkan bagai jarum jam di depan mata ini, manik mata ini mengikuti ke mana telunjuk itu bergerak.
“For your information, A-N-N-E-T-H, itu tidak hanya terjadi padaku, tetapi pada perempuan-perempuan lain, contohnya saja anggota timku, mereka juga merasakan hal yang sama, dan ... juga dari bisik-bisik para wanita yang kudengar, para perempuan yang berada di dekat Mister Daffar itu mengalami hal yang sama,” ucapnya dengan nada berbisik pada akhir kalimat.
“Oh, ya? Bagaimana dengan para laki-laki?” selidikku lebih lanjut.
“Pa-ra la-ki-la-ki ... em ... mereka seperti ... em apa ya?” jawabnya sambil melihat ke langit-langit dengan telunjuk menekan pelipis.
Aku harus sabar menunggu ketika sahabatku ini memikirkan jawaban.
“Ha!” serunya dengan ekspresi wajah girang seolah menemukan lembaran uang pecahan besar ketika tanggal tua.
“b***k. Ya seperti b***k, aku yakin itu” jawabnya dengan pasti, raut wajahnya menunjukkan perasaan puas.
Aku termenung mendengar jawaban ini.
Ingatan ini berusaha menorek kejadian di Penthouse itu.
Em, ekspresi wajah laki-laki muda anggota tim Sinna waktu itu memang seperti b***k, terlihat patuh. Tetapi, apa itu bukan karena ia sedang menjalankan tugas untuk melayani klien? Atau karena suka pada wanita berkulit pucat itu?
“Em, Kamu belum menjawab pertanyaan tentang ayah wanita pucat itu, Pak Millian?” ucapku mengingatkan.
“Oh, Pak Millian,” ucapnya dengan nada datar, berbeda ketika pemilik penthouse itu kusebut.
“Secara pribadi, aku nggak tahu, hanya saja terkadang dia bawel dengan pelayanan yang diberikan,” jelasnya singkat.
“Em ... kalau ... kalau ... wanita cantik yang terlihat anggun, Kamu tahu itu siapa?” ucapku dengan penasaran.
“Em ... yang mana? Wah ... rupanya Kamu memperhatikan para tamu, ya?” serunya sambil tersenyum.
Aku menggeleng.
“Wanita itu ... em ... sering menatapku,” jelasku dengan suara pelan kemudian menyebutkan ciri wanita itu sebelum berubah wujud.
“Em ... mungkin itu karena Kamu cantik,” jawabnya asal-asalan sambil tak mengindahkan ciri-ciri yang sudah disebut.
“Jadi, siapa wanita itu?” kejarku tak putus asa.
“Em ... kalau yang terlihat seperti itu ... yang ... yang ... terlihat cocok memerankan ibu peri, kan?” seru Sinna dengan nada riang.
Aku mengangguk-angguk berulang kali dengan lemah untuk menyetujui pendapatnya, tumben pendapatnya nggak ngawur.
“Em ... sepertinya dia yang Kamu maksud. Iya pasti dia,” ucapnya bermonolog.
“Barkhiya. Ya Nona Barkhiya,” celetuknya setelah sejenak berpikir.
“Siapa dia?” tanyaku penuh selidik.
Sayang sekali jawaban yang kuharapkan panjang diganti dengan bahu yang terangkat menandakan si penjawab tidak tahu.
Aku mengembuskan napas pelan, dan itu membuat angin yang hangat keluar dari lubang hidung.
“Apa makan malam seperti itu sering dilakukan?” lanjuku penuh selidik.
Aku memiringkan kepala. Handuk kecil di dahi bergeser, suhu dinginnya pun mulai hilang.
Dengan cekatan Sinna mengambil handuk kecil itu dan mencelupkan ke air es yang makin cair, lalu kembali menempelkan di dahi ini.
“Iya, lumayan. Tetapi, tidak terjadwal. Kadang juga diminta dengan mendadak. Eits! Tapi, jangan khawatir! Yang kemarin itu akan menjadi event kita yang terakhir di hotel mewah paling legendaris itu,” ucapnya sambil tersenyum lebar.
“Apa karena aku tidak sebaik Kamu dalam tugas itu hingga mereka memberhentikanmu?” ucapku khawatir.
“Ah! Bodoh sekali. Tentu aku akan menolak permintaan mereka,” sahutnya dengan geram.
“Karena?” tanyaku menelisik.
“Berani-beraninya wanita pucat itu menamparmu, menuduhmu dan memperlakukkanmu tidak baik!” serunya berapi-api.
Aku mengembuskan napas panjang.
“Bukannya Kamu bilang uang dari acara itu lumayan,” ucapku mengingatkan.
“Tentu, tetapi itu tidak sebanding dengan perlakuan itu, bisa-bisanya .... Apalagi, kudengar wanita pucat itu tidak mau minta maaf padamu. Huh! Sudahlah itu! Aku tak mau lagi!” serunya dengan geram, lalu membuat gerakan horizontal dengan telapak tangan di depan leher.
Aku terharu dengan pembelaan Sinna. Sahabat sejak kecil ini memang seperti satu slogan iklan bahan keramik lantai, tiada tanding tiada banding.
Aku menatap haru dan mengangguk sembari mengucapkan terima kasih. Kemudian, menghela napas panjang.
“Aku gak apa-apa, kok, sungguh. Pertimbangkan kembali keputusanmu, jangan sampai mempengaruhi neraca keuangan bisnismu, ‘kan di sana bukan hanya nasibmu yang dipertaruhkan, ingat anggota-anggota yang hidupnya tergantung pada usaha itu,” saranku yang pasti akan disangka sok bijak.
Sinna mengembuskan napas, lalu menatapku dengan lelah.
“Mereka bisa memperlakukanmu seperti itu, apa jaminannya ke depan mereka bakal melakukan hal yang sama pada anggotaku yang lain. Ya, memang sih, yang katanya kesalahpahaman itu menurutku terjadi karena kecantikanmu terlihat menyolok di tempat itu, aku paham. Tapi, seharusnya salah paham seharusnya tidak diiringi dengan tindakan seperti itu,” cerocosnya panjang.
“Aku akan menutup akses komunikasi dengan Mister Daffar itu,” lanjutnya sambil merebahkan kepala ke pinggangku.
“Bagaimana jika ia bersikeras menghubungimu mengingat, event organizer mu sudah dia percaya?” ucapku sambil mengusap-usap rambut Sinna.
“Em, jawab saja tidak menerima komunikasi secara verbal,” jawabnya asal-asalan.
Aku tertawa dengan perlahan.
“Apa gak aneh jawaban seperti itu?” sahutku dengan geli.
“Ya daripada begitu mendengar suaranya langsung berubah keputusan,” protesnya sengit.
“Hah! Memang bisa seperti itu?” balasku heran.
“Bagaimana orang mabuk bisa berpikir?” seru Sinna tak berdaya.