“Hah! Bagaimana pekerjaanku itu?” seruku panik.
Badan ini otomatis bangkit duduk.
Aku baru sadar bahwa sejak tadi ada handuk basah kecil yang bertengger di dahi.
“Jika itu lepas ... akan kusiram langsung air es ke kepalamu!” ancam Sinna ketika tangan ini bergerak menyingkirkan handuk kecil itu.
Aku mengurungkan niat, lalu segera meletakkan kembali benda itu sebelum emak tiri bajakan ini melancarkan apa yang ia ancamkan.
"Aduh! Tapi bagaimana itu? Pekerjaanku? Di mana handphoneku?" ucapku lemah dengan kepanikan yang belum sirna.
Ah!
Aku baru ingat tentu handphone itu tidak terurus selama tiga hari, tentu saja baterainya habis.
“Izinmu sudah diurus,” jelasnya pendek.
“Sudah?” seruku terperanjat.
"Oleh?" lanjutku ingin tahu.
“Satu jam setelah seharusnya Kamu berada di tempat kerja, temanmu menghubungiku dan memintaku untuk mencarimu. Sedangkan, ketika ku cek dengan Aaron, anak buahnya melaporkan bahwa tidak sedikit pun makanan yang biasanya lesap tak bersisa itu disentuh. Karena itu, aku langsung kemari karena anak buah Aaron itu yakin Kamu ada di dalam rumah,” jelas Sinna sambil kembali membasahi handuk kecil dan menempelkan di dahiku.
“Uft, cctv tetangga memang luar biasa, tak ada duanya. Kalah teknologi Artificial Inteligent buatan negara mana pun,” gumanku pasrah sambil mengacungkan jempol dengan lemah.
“Karena cctv tetangga itu radiasi demammu bisa diatasi, coba kalau enggak, nyawamu yang tinggal lima puluh persen itu susah dinaikkan,” ujar perempuan dengan rambut ikal itu sambil beranjak dari sampingku.
Uh! Sepertinya percuma menjelaskan jika deman tidak akan memunculkan radiasi, apalagi setelah menyamakan nyawa ini dengan nyawa karakter game online atau baterai sebuah gadget.
Aku hanya pasrah dengan diagnosa ngaco yang baru saja diputuskan oleh dokter tiban ini.
Aku diam sejenak ketika merasakan sendi-sendi di tubuh ini terasa ngilu.
Suara mirip tung tang tung ting yang dihasilkan dari interaksi antara benda logam dan keramik terdengar dari arah dapur yang tidak jauh dari tempatku berbaring.
Sekat di dalam ruangan ini hanya terbuat dari kayu-kayu biasa. Jadi, suara-suara apa pun di setiap sudut rumah ini akan terdengar jelas.
Tak berapa lama Sinna datang dengan membawa nampan yang berisi semangkuk sup, bubur dan gelas berisi air putih.
“Ini dibuat khusus untukmu, Putri Demam,” ujarnya dengan ekspresi wajah datar.
Aku terkikik lemah mendengar sebutan anehnya itu.
Perempuan ini lalu menambah tumpukan bantal, posisi tidurku jadi setengah duduk.
“Apa Putri Tidur sudah resign dan diganti dengan Putri Demam dalam film kartun,” selorohku dengan wajah geli.
Sinna mengangguk, lalu ia menceritakan jika demamku kemarin panasnya kategori “tidak wajar”. Jadi, sebutan itu pantas untukku sandang.
“Ini kaldu dari sayap dan ceker rajawali, semoga membuatmu cepat kuat,” candanya sembarangan sambil menyuapkan kuah sup.
“Rajawali yang dijual di pasar,” selorohku setelah menelan kuah kaldu itu.
“Ya, rajawali yang sedang mengalami gagal terbang, jadi dia masih dipanggil dengan sebutan ayam,” kilahnya acuh.
Aku tertawa dengan lemah.
Kangen banget dengan candaan-candaan sahabatku ini, sudah lama kami berdua tidak bercanda seperti ini. Setelah menikah ia tentu tidak lagi tinggal di sini dan sibuk mengurus keluarganya itu.
“Eh! Tunggu! Harusnya minum ini dulu,” ucapnya sambil beranjak dan kembali dengan membawa sebuah botol dan sebuah sendok makan.
Perempuan yang tidak lebih tinggi dariku ini menuangkan isi botol ke dalam sendok yang ternyata adalah madu.
Beberapa sendok madu itu dituangkan dalam segelas air putih dan setelah diaduk air putih itu berubah warna menjadi kekuningan.
Aku menatap tak berkedip dengan cairan itu dan tiba-tiba mengingat sesuatu yang aneh.
“Hah!”
Kelopak mata ini melebar ketika bayangan cairan dengan warna yang sama dalam botol kecil dengan asap aneh itu muncul dalam ingatan.
“Dengan dipandang seperti itu, air madu ini gak akan berubah jadi uang,” celetuk Sinna cuek.
Aku menghela napas lemah, memandang Sinna dan bersyukur tidak terjadi perubahan apa pun pada cairan kuning ini.
“Habiskan!” perintah Sinna ibarat titah paduka yang mulia.
Aku mengikuti semua anjuran dengan menghabiskan isi semua peralatan makan yang ada di atas nampan itu.
Aku bersyukur, selama tiga hari beristirahat ini, aku bisa melupakan keanehan-keanehan yang terjadi. Dan, aku berharap setelah sembuh dan kembali bekerja, dunia ini, kota Shrim ini kembali damai seperti semula. Mungkin kemarin hanya sebuah anomali alam yang kebetulan terjadi di sekitarku.
Ya aku memutuskan untuk tidak lagi memikirkannya.
Sinna memandang mangkok-mangkok kosong itu dengan puas.
“Bagus! Hampir tak bisa dibedakan cara makan orang sakit dan orang sehat,” selorohnya tak acuh.
Aku tertawa pendek menanggapi kejujurannya.
Tangan-tangan cekatan itu menggeser nampan dengan meletakkannya di meja dekat ranjang. Lalu, ia menatapku dengan sedih.
Kenapa?
“Aku akan merekrut orang baru sebagai cadangan, mana tahu terjadi seperti kemarin lagi, anakmu tiba-tiba sakit. Jadi, tidak perlu memintamu menggantikan aku,” ucap Sinna sambil mengusap-usap pipiku.
“Apa tidak akan menambah pengeluaran?” sahutku sambil menatapnya.
“Harusnya sebelum si kecil montokmu itu lahir aku sudah harus mempertimbangkan kemungkinan seperti ini,” sesalnya dengan suara rendah.
aku tersenyum saat berulang kali Sinna mengibaratkan anaknya sendiri sebagai anakku. Kami memang terlalu dekat.
“Apa pipimu sakit?” lanjutnya sambil mengusap pipiku yang satu lagi.
“Pipi?” tanyaku bingung.
“Ah!” seruku setelah sejenak mengingat-ingat adegan digampar oleh wanita berkulit pucat itu.
“Aah!” teriakku sambil memegang pipi.
Sinna langsung mengoleskan minyak gosok yang seharusnya dioleskan tiga hari yang lalu itu, aku terkikik dalam hati.
“Hei! Jangan bohong, yang ditampar sebelah sini, dan selama tiga hari ini sudah kuoles sehari dua kali,” serunya sambil sedikit menekan pipi yang sedang digosoknya.
“Hah! Bagaimana bisa tahu?” seruku heran.
“Laporan anak buah yang paling lengkap,” jelasnya sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
“Oh! Memang cctv tetangga tak ada lawan,” sahutku pasrah.
Kemudian, raut wajah Sinna berubah geram, wajah itu tampak bersungut-sungut.
“Bagaimana mungkin wanita pucat itu bisa menuduhmu seperti itu, padahal Kamu ‘kan punya penyakit alergi orang kaya. Terkhusus orang kaya yang suka semena-mena terhadap orang kecil, kan?” serunya sambil kembali mendiagnosis kepribadianku dengan sembarangan.
“Wanita itu memang kerap bertingkah semaunya, apalagi jika ada ayahnya di tempat itu?” lanjutnya masih dengan geram.
“Em ... yang besar dan berkulit gelap?” ucapku memastikan.
“Iya, em ... walaupun sedikit aneh, em mungkin ... wanita pucat itu secara keseluruhan mirip dengan ibunya, em ... kurasa begitu,” lanjutnya dengan pandangan sedikit menerawang, menebak dengan sembarangan.
Aku terkekeh panjang, Sinna menjawab dengan menjelaskan sesuatu yang tidak kutanyakan.
Mungkin setiap orang yang melihat wanita berkulit pucat itu memanggil laki-laki berbadan besar dan berkulit hitam itu dengan sebutan ayah, akan berpikiran sama dengan yang kupikirkan ketika itu.
“Apa Pak Millian itu baik?” tanyaku penuh selidik.
“Dari mana Kamu tahu nama ayah wanita pucat itu?” serunya heran.
“Pemilik penthouse itu memanggilnya,” jawabku singkat.
“Ah ...! Mister Daffar ...,” seru Sinna dengan girang.
Aku terkejut melihatnya, melihat perubahan raut wajah Sinna.
“Dia adalah laki-laki yang memabukkan setiap orang,” ucapnya riang.
“Maksudnya?” tanyaku bingung.