4. Kado dari Mas Edwin

935 Kata
"Maaf, Bu. Sampai kapanpun, hanya saya yang akan menjadi istri Mas Edwin. Jika Ibu masih mempertanyakan kesuburan saya, ayo kita ke dokter. Saya sayang Ibu, tapi bukan berarti Ibu yang mengatur rumah tangga saya. Sudah dulu ya, Bu. Pisang goreng saya gosong, kelamaan ngobrol di telepon!" Tut Tut Tut Tak kuberikan ijin pada mertua, untuk menyahut ucapannku. Enak saja! Perlu menikahi berapa perempuan untuk membuat Mas Edwin sembuh? Percuma! Karena kuncinya ada pada Mas Edwin. Lelaki itu yang harusnya bisa berbuat lebih baik untuk kehidupan rumah tangganya. Kupijat kuat kepala. Masih pagi, sudah ada saja kabar yang membuat moodku hancur. Tring Tring Kupandangi telepon rumah yang kembali berdering. Sudahlah, pasti mertua perempuanku lagi yang menelepon memarahiku. Lebih baik aku acuhkan saja. Kubiarkan telepon itu berdering nyaring beberapa kali, sampai bibik ikut menghampiri. "Non, itu teleponnya," tunjuk bibik saat aku cuek saja berjalan menuju dapur. "Biarkan saja, Bik. Biasalah, orang iseng yang nawarin jasa dukun online," jawabku asal sembari menahan tawa. "Oh, emang ada dukun online, Non? Kalau gitu, jin online dan setan online ada juga dong?" Bibik bertanya dengan polosnya. Kali ini ia mengikuti langkah kakiku menuju dapur. Keningnya masihlah mengerut tanda penasaran dengan jawabanku. "Non, emang ada?" tanyanya lagi dengan serius. "Ada, Bik. Makanya Bibik jangan suka tiktokan, atau fesbukan, nanti foto Bibik disantet loh. Emang Bibik mau?" ucapku sedikit menakutinya. Yah, walaupun usianya menjelang setengah baya, tetapi Bik Isah suka sekali bermain media sosial. Jika saat senggang, pasti dia akan betah berlama-lama di depan ponsel. Pernah juga aku memergokinya tengah melakukan live saat menyetrika. Ya Tuhan, aku berada di sekeliling orang-orang unik. Tidak suami, mertua, bahkan pembantu pun unik. "Oh, gitu ya, Non. Berarti Bibik mulai sekarang, kalau mau posting foto pakai masker aja ya. Biar gak keliatan wajahnya," balas Bik Isa lagi dengan antusias. "Gak usah posting foto apapun, Bik. Lebih bagus lagi, Bibik fokus mengerjakan pekerjaan rumah. Dah, saya mau masuk dulu." Aku pun masuk kembali ke dalam kamar. Pagi ini, aku memutuskan kembali berselancar di media sosial, mencari informasi mengenai kesehatan lelaki, terutama organ vital. Susah sekali rasanya ingin buru-buru tak perawan. Harus ke sana-kemari, buka situs ini, itu, demi mendapat jawaban. Aku tak boleh putus semangat. Aku mencintai suamiku dan ingin yang terbaik juga untuknya dan kehidupan pernikahan kami. Jadi, aku benar-benar harus berusaha untuk menyembuhkannya. Senyumku mengembang, saat melihat salah satu artikel kesehatan pria. k****a dengan seksama, kuresapi, dan kutimbang-timbang dengan matang. Bisa saja, dengan cara ini bisa meningkatkan hormon yang meningkatkan gairah seksual suamiku. "Bik, saya keluar sebentar ya," pamitku pada Bik Isah, saat mengambil kunci mobil yang aku simpan di atas lemari pendingin. "Iya, Non. Hati-hati," balas bibik sambil tersenyum. Kulangkahkan kaki ringan menuju garasi. Sudah ada Mang Dirman yang membuka lebar pintu pagar. Ya, walaupun bukan mobil mewah. Namun, mobil mungil ini cukup menolongku untuk sekedar bepergian dalam kota, atau sekedar ngemal. Hadiah ulang tahun pernikahan tahun lalu. Oh iya, aku lupa. Tahun ini kenapa Mas Edwin belum memberi kado? Sambil melajukan mobil Toyota A**a kuning, aku terus saja bergumam dan menerka-nerka. Apakah akan ada kejutan lagi untukku di tahun ini? Asik dengan pikiran sendiri, akhirnya tanpa terasa, aku pun sampai di sebuah pasar tradisional. Aku membelanjakan beberapa bajan makanan untuk dikonsumsi suamiku. Aku membeli dalam jumlah cukup banyak, agar tak harus bolak-balik ke pasar. Setelah puas berbelanja, aku pun mampir membeli es cendol kesukaanku di pasar itu. Tak lupa juga aku belikan untuk Mang Dirman dan Bik Isah. Cuaca sangat terik dan tenggorokanku terasa begitu kering. Maka aku putuskan untuk minum langsung di sana saja. Pukul sebelas siang, aku sudah di rumah. Mang Dirman membantu menurunkan semua belanjaanku. Namun, tanpa ia sadari, aku kaget melihat sesuatu yang timbul dari balik celana batik yang ia kenakan. Sungguh kepalaku oleng seketika. Jujur, aku belum pernah melihat Mas Edwin seperti itu. "Makasih, Mang. Ini es cendol minum aja dulu," ucapku pada lelaki itu. Kepalanya mengangguk, tetapi ia tersenyum kaku. Nampak sekali ada yang dia sembunyikan. "Bik, Bik!" panggilku dengan suara sedikit keras. Bik Isah keluar dari kamarnya sambil menunduk. "Ya, Non. Eh, dari pasar ya? Banyak sekali belanjaannya?" tanyanya berpura-pura sibuk melihat belanjaanku. "Bik, lehernya kenapa?" Huk Huk Huk Mang Dirman tersedak cendol yang baru dia minum. Aku yakin, telah terjadi sesuatu pada dua pembantuku ini. Sebenarnya tak ingin suudzon, tetapi nanti aku bisa mengecek lewat CCTV. Lekas kukembali ke kamar, lalu masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Setelah merasa segar kembali, aku pergi ke dapur untuk membuat aneka olahan masakan sehat untuk suamiku. Persetan bila ia keberatan, malam ini akan aku paksa saja. Sebuah kejutan saat sore hari, dia pulang lebih awal sambil membawa paper bag. Aku baru saja selesai mengolah masakan terakhir untuknya. Kusambut dia dengan penuh suka cita dan kuterima paperbag pemberiannya. "Apa ini, Mas?" tanyaku dengan wajah merona malu. "Hadiah untuk istriku yang cantik dan sabar," jawabnya sambil melepas kancing baju kemejanya satu per satu. Kami masih duduk di ruang tamu dan Bik Isah sudah datang membawakan teh dan kue pisang untuk dihidangkan pada kami. "Terima kasih, Sayang. Boleh buka sekarang gak, Mas?" tanyaku tak sabar. Mas Edwin tak menjawab, ia menyelesaikan menyesap pelan tehnya, lalu lelaki itu mengangguk. "Asik!" seruku begitu senang. Semoga logam mulia lagi, atau kalung emas seperti dua tahun lalu. Kubuka dengan tak sabar kotak berbetuk persegi yang dibungkus kertas kado berwarna merah muda. "Apa ini, Mas?" keningku mengerut saat mencoba membaca tulisan yang ada di kemasan kardus itu. "Sen**tive V*vo. Alat bantu getar untuk wanita." Kubaca dengan perlahan sambil memikirkan benda apa ini. "Ya Allah, Mas! Aku ini istrimu, Mas. Bukan bintang film bokep!" Brak! Srek! Kubanting, lalu kuinjak benda sialan itu di depan matanya. **** ~Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN