Sabtu pagi yang kelabu, sehabis salat Subuh aku memilih langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Mas Edwin sudah aku bangunkan untuk salat, tetapi suamiku itu masih saja memeluk gulingnya dengan erat dengan mata yang terpejam rapat. Stelah pertengakaran semalam, aku benar-benar tak ingin banyak bicara padanya. Selama di kamar sampai kami akhirnya tertidur, taka da kalimat yang keluar dari mulutku.
Aku khawatir, jika kami berdebat kembali, bisa-bisa terjadi pertengkaran hebat yang selama ini aku hindari. Suami yang aneh! Memerawani istri dengan alat getar, bukan punya sendiri. Benar-benar menjijikkan. Sudah kuiris daging tipis-tipis, maksud hati ingin membuat dendeng balado untuk sarapan hari ini. Apalah daya semangatku hancur gara-gara tingkah suami yang mengesalkan.
“Non, itu airnya sudah matang. Kenapa masih melamun? Kalau sedang tak enak badan, biar Bik Isah aja yang masak, Non,” ujar Bik Isah padaku sembari membawa keranjang pakaian setengah kering yang siap dijemur. Aku menoleh, lalu dengan wajah datar mengecilkan api kompor.
“Maaf ya,Bik. Saya benar-benar tak semangat memasak. Bibik yang teruskan ya?” kataku dengan suara malas.
“Siap, Non. Mending Non olah raga biar segar. Kalau sabtu gini banyak yang olah raga di taman depan, Non. Ajak Tuan sekalian,” usul Bik Isah membuatku mendapat ide. Ya ampun kenapa aku baru memikirkannya? Benar, suamiku harus banyak olah raga disertai mengonsumsi makanan sehat, agar hormon kelaki-lakiannya bekerja dengan baik.
“Ya deh, Bik. Saya mau ajak Mas Edwin olah raga. Udah lama memang kami tidak jalan pagi,” kataku lagi sembari beranjak pergi, berjalan menuju kamar.
Suamiku masih mendengkur dengan keras. Kudekati dan kuusap lengannya dengan lembut. “Mas, bangun. Salat, habis itu kita olah raga yuk, jalan pagi!” bisikku di telingannya. Lelaki itu sedikit bergidik geli, menggerakkan sedikit kepala, membuka mata dengan menyipit lalu tidur kembali.
“Mas, ayo olah raga!” rengekku lagi sambil mengguncang tubuhnya yang masih berbaring miring di depanku.
“Lima menit lagi,” ucapnya dengan suara serak, tanpa membuka mata. Aku hanya bisa mendesah pasrah, lalu bangkit dan berjalan menuju lemari. Kuambil baju olah raga dan juga celana training, tak lupa rambut kusisir rapi, lalu kuikat tinggi, menyerupai ekor kuda. Kulirik Mas Edwin yang tak kunjung bangun. “Mas,bangun dong! Ini udah hampir setengah enam!” panggilku dengan suara setengah berteriak kesal.
“Iya, bawel!” ucapnya kesal, sambil merenggangkan tubuhnya, khas orang bangun tidur. Kuperhatikan dirinya tanpa suara. Lelaki itu menggaruk bagian tengah tubuhnya dari balik celana tidur berbahan katun yan ia kenakan, lalu pindah menggaruk perutnya hingga baju kaus belelnya tersingkap ke atas. Aku baru sadar, jika milik suamiku tidak berdiri di pagi hari. Padahal, setahuku harusnya bisa berdiri karena memang hormonnya kembali aktif. Namun tidak dengan milik Mas Edwin. Apakah ini sudah dalam tingkat kasus yang cukup parah dan tak bisa disembuhkan?
Kudekati dia yang masih bermalas-malasan di pinggir tempat tidur. Bukannya langsung ke kamar mandi, suamiku malah membuka ponselnya dan terpaku fokus di sana.
“Mas, aku mau tanya. Biasanya’kan pagi hari ada yang bangun, Mas. Kenapa punya kamu tidak?” tanyaku dengan hati-hati khawatir ia tersinggung. Terlambat! Matanya kini malah melotot ke arahku dengan ekspresi wajah garang. Aku sampai menggigit bibir merasa bersalah karena sudah merusak semangat paginya di hari sabtu ini.
“Karena memang aku special. Kenapa? Kamu keberatan? Mau cari lelaki yang bisa bangun tiap pagi? Sana pergi ke kamar Mang Dirman!”
“Ngaco!” emosiku kembali tersulut. aku memilih bangkit dari dudukku dan tanpa menoleh lagi, langsung saja keluar dari kamar untuk berolah raga di taman Biarkanlah Mas Edwin terserah mau apa, yang jelas kepalaku yang panas harus segera didinginkan.
Aku sedang membungkuk di kursi teras, karena mengikat tali sepatu olah raga. Sudah ada Mang Dirman yang tampak sedang bergerak pelan melakukan gerakan ringan pagi hari. Sepertinya lelaki itu juga baru bangun tidur. Bagaikan dihipnotis oleh seseorang, mataku dengan tidak sopannya melihat pada bagian tengah lelaki yang usianya tak beda jauh dari suamiku. Jika saat ini Mas Edwin berusia tiga puluh satu tahun, maka Mang Dirman berusia tiga puluh delapan tahun. Masih seumuran dengan Bik Isah.
Ya Tuhan, benar yang ditulis oleh artikel yang k****a kemarin. Sejatinya, lelaki yang sehat alat reproduksinya, maka bagian tubuh intimnya akan bereaksi. Berati suamiku memang benar-benar tak sehat.
“Mau olah raga, Non?” tanyanya sat aku sudah berjalan mendekati pagar rumah.
“Iya, Mang. Gak mungkin pake baju begini mau perang’kan?” sahutku membuat lelaki itu tergelak. Lekas ia membukakan pintu pagar untukku dan masih dengan senyum lebarnya, mempersilakanku untuk keluar pagar. Pintu pagar kembali tertutup, lalu aku pun memulai pemanasan sembari bertegur sapa dengan beberapa tetangga yang kebetulan juga sedang berolah raga.
Aku iri saat ini. Begitu banyak pasangan yang mondar-mandir di taman untuk lari pagi, atau sekedar berjalan sehat. Kupandangi mereka bergantian, baik yang lelaki maupun yang perempuan. Pasangan yang tampak harmonis, sekaligus terlihat sangat sehat.
Sebenarnya aku tak ingin membandingkan dengan rejekiku yang yang di rumah saaat ini;siapa lagi kalau bukan Mas Edwin. Namun rasa penasaran ini terlalu besar dan sudah berlangsung lama, karena sudah enam tahun tanpa jawaban. Apakah aku harus membicarakannya pada Teh Leni; kakak sepupu yang sangat dekat denganku? Apa yang sebaiknya aku lakukan pada pernikahanku selanjutnya?
Puas lari pagi ringan selama satu jam setengah, aku pun kembali ke rumah sambil membawa kue rangi dan juga sebungkus lontong sayur untuk sarapanku pagi ini. Kenapa Mas Edwin tidak aku belikan juga? Itu karena aku benar-benar menjaga pola makan suamiku yang tidak boleh banyak santan dan juga berlemak.
“Bik … biik!” kupanggil Bik Isah yang tak terlihat batang hidungnya di dapur. Sekeliling rumah sepi, sepertinya memang Mas Edwin kembali berselancar ke alam mimpi. Mang Dirman pun tak terlihat. Pada ke mana nih, orang rumah? Aku takut ada sesuatu Antara Mang Dirman dan Bik Isah khilaf.
Khawatir mereka melakukan hal yang tak baik di belakangku. Kucoba menenagkan detak jantung yang tak beraturan, lalu memberanikan diri untuk berjalan ke kamar belakang, tempat Bik Isah tidur sekaligus ruang setrika yang ada di sana.
Sayup samar dapat kutangkap suara dua orang yang sepertinya tengah berbicara dengan cukup seru. Sukurlah! Batinku. Paling tidak telinga ini tidak mendengarkan desahan yang mengerikan. Suara itu berasal dari kamar setrika Bik Isah. Pelan aku melangkah dengan kaki telanjangku, lalu sedikit berjinjit mengintip dari balik celah jendela.
“Emang ini untuk bersihin telinga, Bang?” tanya Bik Isah pada Mang Dirman.
“Bisa jadi. Soalnya panjang gini. Padahal mah bersihin telinga mah cukup pake ujung korek api, atau nggak pake katen bat ya'kan, Neng?”
“Alat getar. Wah, jadi cukup digetar telinganya, lalu kotorannya longsor sendiri ya, Bang,”
“Ha ha ha ….” aku benar-benar tak tahan untuk tidak tertawa mendengar obrolan mereka berdua. Bisa-bisanya vibrator dikira alat untuk membersihkan telinga.
****