3. Nasi Merah

847 Kata
Aku menata meja makan dengan aneka menu sarapan sehat untuk Mas Edwin, karena aku yang memasak serta mengolah semua makanan yang terhidang saat ini. Ya, walaupun saat ini ada bibik yang membantu pekerjaan di rumah, tetapi aku lebih menikmati jika makanan aku olah sendiri. Jangan tanyakan bagaimana termanjakannya lidah suamiku, yang sangat menyukai semua yang aku hidangkan. Semoga pagi ini pun ia kembali makan dengan lahap. "Eh, Mas. Udah rapi. Makan yuk!" ajakku sembari menarik kursi makan untuknya. Digulungnya lengan baju kemeja hingga siku, lalu ia pun mencuci tangan pada mangkuk yang terbuat dari bahan melamin yang sudah aku sediakan. "Aku ambilkan ya, Mas," ucapku lagi padanya.  Kedua tanganku lincah menyendokkan satu centong nasi merah ke dalam piringnya dan juga telur orak-arik yang aku masak menggunakan margarin. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, sambil menerima piring yang aku letakkan di depannya. Memang selalu seperti ini, jika kami baru saja akan melakukan ritual dan ia lagi-lagi kalah. Wajah malunya begitu kentara, disusul senyumnya yang terlalu dipaksakan. Aku tahu dia malu dan tak enak hati, tapi lagi-lagi ia selalu saja tak mau pergi ke dokter dan itu yang menjadi masalahnya. Byuur! Huk! Huk! Edwin menyemburkan nasi merah yang baru saja ada di dalam mulutnya. Bahkan remah nasi yang keluar berhamburan dari mulutnya, mengenai wajahku. "Eh, Mas. Ada apa?" tanyaku panik sambil memberikannya segelas teh hangat. "Ini nasi apa sih? Bukan nasi goreng ya? Rasanya gak enak!" protesnya dengan wajah kesal. "Iya, Mas. Ini bukan nasi goreng, tapi nasi merah," jawabku dengan suara lembut. Tanganku juga sibuk mengambil nasi yang tersangkut di rambut dan baju kaus yang aku pakai. "Aku gak suka! Kenapa kamu buatin nasi merah? Emangnya di kepala kamu udah kehabisan ide untuk masak apa? Harusnya buka youtube. Jangan ngasal kayak gini masaknya," omelnya panjang kali lebar dan aku sebagai istri yang tingkat kesabarannya paripurna, mencoba untuk mengatur napas agar tidak emosi dengan ocehan Mas Edwin. "Mas, justru aku terlalu cerdas saat ini, karena memasakkan kamu menu sehat," balasku dengan penekanan suara. Aku yang tadinya duduk di sebrangnya, kini pindah dan memilih duduk di sampingnya. Dia melihatku dengan kening berkerut dan raut wajah yang masih sangat kesal. "Mas, nasi merah itu baik untuk hormon lelaki, karena nasi merah itu seratnya tinggi, Mas. Makanan ini bisa mencegah dan mengatasi EDIN," terangku dengan berbisik, mencoba memberi wawasan lain untuk Mas Edwin. "EDIN itu apa? Kamu aneh-aneh saja," tanyanya balik dengan wajah kebingungan. "EDIN itu ejakulasi dini. Penyakit kamu, Mas. Ayolah, Mas. Makan ya? Plis!" rengekku manja padanya. Aku tahu ia tak suka, dan tersindir dengan ucapanku. Buktinya saat ini ia berdiri dari duduknya, lalu pergi begitu saja meninggalkanku yang tergugu di ruang makan. Lelakiku sudah membuka pintu depan, bersiap untuk berangkat ke kantor, tanpa menyentuh kembali sarapannya. Cepat aku tersadar. Gelas jus alpukat yang sudah aku buat setengah jam yang lalu. Buah alpukat madu dengan kualitas terbaik, aku buat jus tanpa campuran apapun. "Mas, tunggu!" teriakku sembari berlari membawakan gelas jus alpukat ke teras depan. Dia sudah bersiap di atas motor Nm*x dan baru saja selesai memakai helem. "Apa lagi? Kamu masih pagi jangan buat mud aku turun dong!" suaranya meninggi. Motor ia mundurkan dengan mesin yang sudah menyala. Aku terus saja mengikutinya sambil menyodorkan gelas jus alpukat. "Mas, kamu'kan gak mau sarapan. Jadi, minum aja jus ini," aku memberikan jus alpukat pada suamiku. Mas Edwin memutar bola mata malasnya, lalu dengan terpaksa menerima gelas dari tanganku. Didekatkannya permukaan gelas pada hidungnya. "Jus apa ini? Bukan jus sawi atau jus bayam'kan? Baunya aneh!" protesnya lagi masih asik memandangi sekaligus membaui permukaan gelas. "Mas, ini cuma jus alpukat. Biar kamu sehat dan kuat," jawabku lagi dengan senyuman manis. Ia pun menyerah dan akhirnya mau memasukkan pinggiran gelas ke dalam mulitnya. "Cuih!" "Puh!" "Puh!" Mas Edwin kembali meludahi jus yang sudah susah payah aku buat untuknya. "Duh, Maria! Kamu bikin aku kesal saja. Masuk sana! Aku gak mau minum jus atau makan nasi merah. Aku sehat dan kamu aja yang gak bisa ngertiin aku!" teriaknya melengking, hingga bibik yang tengah menjemur baju di samping, ikut memperhatikan kami. "Mas, tapi ini minuman yang sehat untuk kamu, Mas. Di dalam alpukat mengandung vitamin C, K, dan B yang sangat penting untuk kelancaran peredaran darah, menuju organ-oragan vital pada tubuh. Termasuk senjata kamu, Mas. Biar bisa bangun," jawabku lagi tak ingin menyerah. "Aku gak ngerti sama kamu Ria! Udahlah, aku mau ke kantor!" Mas Edwin pun meninggalkan pekarangan rumah dengan mengeber motornya. Ia kesal dengan apa yang pagi ini aku lakukan. Padahal ini semua demi kebaikannya. Hatiku kembali resah. Rumah besar kami aku pandangi dengan seksama. Mobil ada, motor punya tiga. Pembantu ada, supir juga ada. Pekerjaan bagus. Namun sayang, senjata suamiku tak bisa berbuat apa-apa. Jujur aku ingin sekali memiliki anak dan hidup berumah tangga sebagaimana mestinya orang lain. Sayangnya, Allah masih memberikan ujian yang tak tahu kapan akan berakhir. Lamunanku buyar, saat dering telepon nyaring terdengar. Kulangkahkan kaki masuk ke ruang tengah, untuk mengangkat panggilan itu. "Hallo, assalamualaykum." "Wa'alaykumussalam. Maria, siang ini bisa ketemu Mama gak? Ada yang mau Mama kenalin ke kamu. Kandidat wanita yang siap hamil anak Edwin." "Hah?! Apa?" **** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN