Setelah selesai memutari rumah milik Erlangga kami berdua memutuskan untuk beristirahat dengan duduk di gazebo depan dengan mendengar suara gemericik air mancur yang berada tepat di depan gazebo. Aku membantu Erlangga duduk di gazebo dulu sebelum aku mengambilkannya makan dan obat.
"Aku bisa makan sendiri Kay." Kata Erlangga.
"Ga pa-pa Angga aku bisa bantuin kamu." Kataku.
"Kamu kan disini untuk merawatku, bukan sebagai pembantuku."
"Menyuapi kamu makan juga termasuk bagian dari tugasku." Kataku sambil menyuapkan nasi ke mulut Angga.
"Kamu gak makan sekalian ?"
"Kalau kamu udah kelar nanti aku makan. "
Jam menunjukkan pukul 2 siang ketika aku sudah selesai menyuapi Erlangga dan memberikan dia obat. Selanjutnya aku membawa Erlangga ke kamar agar dia bisa istirahat. Setelah itu aku makan siang dan kemudian istirahat di kamarku. Rasanya begini ya ternyata menjadi seorang perawat itu. Sedikit melelahkan.
Sambil merebahkan diri aku membuka ponselku yang belum kubuka sama sekali dari pagi tadi. Hanya ada chat dari Kayla yang menanyakan bagaimana keadaaku bagaimana pekerjaanku disini dan selebihnya tidak ada. Aku membuka emailku dan teryata dari editor online ku yang mengabariku bahwa uang hasil n****+ onlineku sudah bisa diambil. Aku memenangkan lomba menulis n****+ dengan hadiah sebesar 150$ wow mataku langsung membulat bahagia membaca prestasiku lagi. Dengan uang sebanyak itu aku berencana untuk membeli ponsel baru karena ponselku yang sekarang sudah lemot dan memorinya juga sudah hampir penuh. Aku memutuskan untuk membuka laptop dan kembali melanjutkan kisah n****+ erotisku yang sebelumnya. Rasanya aku tidak mau melewatkan kesempatan lagi. Berharap berikutnya juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan puluhan bahkan ratusan dollar lagi.
Selesai makan malam aku membawa Angga ke ruang tv. Sementara aku membantu mbok Nah berberes dulu di dapur. Mbok Nah sebenarnya menolak aku membantunyq, tapi aku yang memaksa untuk membantu karena aku bingung harus melakukan apa jika tidak sedang merawat Angga. Rumah Angga sangat sepi, dari tadi siang aku tidak melihat ada orang lain datang ke rumah. Makan malampun kami melakukan berempat. Angga sama sekali tidak sombong, dia bahkan mau makan satu meja bersama dengan pembantu dan supirnya. Bukankah kalau di tv itu kebanyakan tuan rumah dan pembantu makan secara terpisah ? Hmm bisa jadi referensi novelku lagi nanti sepertinya.
"Kamu mau lihat apa Angga ?" Tanyaku pada Angga yang hanya terdiam di ruang TV.
"Aku tidak tau harus melihat apa Kay."
"Oh maaf Angga, harusnya tadi aku membantumu memilih acara dulu baru aku membantu mbok Nah di dapur." Aku merasa bersalah pada Angga, seharusnya aku tidak meninggalkannya tadi, dia pasti bosen banget.
"Eh bukan seperti itu maksudnya Kay, aku bingung bukan karena aku buta, karena aku tidak pernah melihat TV selama ini, ketika mencari informasi atau berita penting aku lebih memilih melihat ponsel daripada TV."
"Oh begitu."
"Duduklah disini Kay." Perintah Angga padaku agar aku duduk di dekatnya.
Aku mengiyakannya, aku duduk tepat di sebelah Angga. Wangi parfum Angga menusuk hidungku. Wangi maskulin khas orang kaya. Angga ini orangnya ganteng. Dia tinggi, kulitnya putih bersih. Hidung yang mancung, rambut berwarna abu sedikit ikal. Aku suka melihat penampilan Angga. Jika saja dia sekarang tidak buta pasti dia adalah seorang laki-laki idaman banyak wanita.
"Kamu pasti bertanya-tanya kenapa tidak ada orang yang datang ke rumah ini selain mbok Nah dan pak Muh." Kata Angga membuyarkan lamunanku.
Aku tak langsung menjawab pertanyaan Angga. Tapi memang benar juga sih. Dari tadi pagi aku sampai di rumah Angga hingga semalam ini tidak ada orang yang datang di rumah Angga. Banyak foto terpajang di rumah ini yang kuperkirakan adalah foto keluarga. Ada Angga, satu orang perempuan yang cantiknya seperti Shifa Hadju, ada juga sepasang pasangan yang menurutku belum terlalu tua, kuperkirakan mereka adalah orang tua Angga.
"Foto-foto di rumah ini adalah foto papa, mama dan adik perempuanku." Katanya lagi seolah benar-benar tau apa isi hatiku.
"Mereka sekarang tinggal di Surabaya." Lanjutnya.
"Mereka jarang pulang ke Solo. Adikku seumuran kamu mungkin ya. Dia sekarang masih mengenyam pendidikan di UNAIR. Sedangkan papa dan mama sibuk menggeluti bisnis properti di Surabaya sana." Ceritanya.
"Kamu tentu sudah tau apa pekerjaanku disini ?" Tanya Angga.
"Cuma denger aja sih dari beberapa perawat yang cerita dan dari polisi yang dulu sempat menjadikanku saksi pas kamu kecelakaan."
"Saksi ?"
"Iya. Kenapa ?"
"Jadi selain kamu dokter yang memeriksa dan merawatku kamu juga yang menolongku ?" Tanyanya penuh selidik.
Mampus. Aku menggigit bibir bawahku karena aku merasa salah bicara. Bagaimana kalau Erlangga tau kalau aku bukan dokter. Bagaimana kalau Angga tau kalau aku berbohong padanya ? Ah tapi mungkin tidak, bukankah dia tidak bisa melihat ? Kaca itu mengenai matanya saat dia kecelakaan, tidak mungkin dia tau kalau aku berbohong.
"Aku masih sedikit mengingat wajahmu." Katanya yang langsung membuatku terkaget dan membulatkan kedua mataku.
"Aku masih bisa melihatmu meraih tanganku meskipun penglihatanku sudah mulai kabur. Kamu cantik." Katanya lagi.
Aku tersenyum mendengar pujian dari Angga meskipun aku tau jika nanti penglihatannya sudah pulih dia tentu tidak akan memujiku seperti ini.
"Kay, kamu masih disini kan ?"
"Oh iya, aku masih disini Angga."
"Aku pemilik showroom mobil Angga mobil Kay, mungkin kamu pernah tau atau pernah beli mobil disana Kay ?"
"Oh tidak, belum pernah. Aku tidak bisa mengemudikan mobil dan tidak memiliki mobil."
"Serius kamu ga bisa mengemudi Kay ?"
"Iya. Aku kalau kemana-mana ya naik motor, motor yang aku beli dari hasil pekerjaanku sendiri."
"Kamu kerja apa selain menjadi dokter Kay ?"
"Aku suka foto Angga, aku punya kamera, aku suka ikut kontes fotografer, ya hasilnya lumayan Angga, bisa buat bayar cicilan motor." Jawabku.
"Kamu pekerja keras sekali ya Kay ? Kalau aku bisa lihat aku ajarin kamu mengemudi ya ? Hadiah spesial buat perempuan mandiri dan pekerja keras seperti kamu."
"Eh bukan begitu, aku ga bermaksud Angga....."
"Anggap saja ucapan terimakasihku juga karena kamu mau merawatku."
Kami banyak bercerita malam ini, tidak terasa sampai jam dua belas malam. Aku banyak tau soal Angga yang benar-benar memulai usahanya dari 0 sampai sebesar ini tanpa bantuan orang tuanya sepeserpun. Angga juga hidup mandiri sejak dia berusia 20 tahun, dia kuliah sambil bekerja juga sama seperti diriku, makanya dia merasa kagum padaku karena masa muda kami berdua hampir sama. Dan untung saja aku tidak keceplosan sama sekali soal kehidupan keluargaku. Jika sampai aku salah bicara bisa kebongkar semua kebohonganku dan Kayla.