Aku bersiap membawa beberapa perlengkapan yang akan aku bawa ke rumah Erlangga. Kayla bilang pada ayah dan bunda bahwa aku membantu dia untuk merawat pasiennya karena Kayla sibuk co as dan kuliah jadi dia tidak bisa fokus, tentu saja ayah dan bunda sangat setuju tanpa banyak pertanyaan. Apapun yang keluar dari mulut Kayla pasti ayah dan bunda langsung percaya.
"Proses kepulangan Erlangga sudah selesai. Kamu bisa jemput dia di kamar. Dan ini beberapa obat yang perlu kamu bawa buat diminum sama Erlangga. Disetiap obatnya udah ada takaran dan jumlah berapa kali dia minum, kamu ikutin saja. Nanti kalau ada yang gak kamu tau kamu bisa telpon aku." Kata Kayla panjang lebar.
"Kay ini serius ?"
"Yaiyalah Nay serius. Udah sampai segini masak sih ga serius ? Bantuin aku ya Nay. Kamu lakukan sebaik mungkin biar nilai ku juga baik. Tar kalau kamu butuh apa-apa nanti gantian sama aku ya."
"Yaudah deh. Tapi bener ya kalau ada apa-apa atau butuh obat apapun kamu harus selalu angkat telpon aku."
"Iya. Udah sana."
Aku membawa tas obat yang dibawakan oleh Kayla menuju ke kamar rawat Erlangga. Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan tak menentu. Entah kenapa aku merasa tidak yakin melakukan hal bodoh ini. Apa benar yang sudah Kayla lakukan dengan memintaku menggantikan posisinya merawat Erlangga begini ? Ataukah aku yang salah karena membohongi Erlangga dengan mengaku-ngaku sebagai Kayla ?
Aku berhenti sejenak di depan kamar Erlangga, ragu membuka pintu kamar itu. Aku menarik nafas panjang dan membuangnya kasar. Aku kembali melangkah pelan membuka pintu kamar Erlangga. Aku melangkah memasuki kamar Erlangga yang sudah duduk di kursi roda dengan menghadap ke luar jendela. Mengetahui aku melangkah masuk dia menggerakkan kepalanya mencari sumber suara.
"Hai.. " Sapaku.
"Hai dokter Kayla." Ucapnya sambil menyunggingkan senyum.
"Sudah siap untuk pulang ?" Tanyaku.
"Iya."
Dibantu oleh seorang pria sepuh yang kutau dia adalah supir pribadi Erlangga kami berdua keluar dari rumah sakit. Aku masih mendorongnya hingga sampai ke lobi rumah sakit dan mengangkatnya ke dalam mobil dibantu oleh sang supir.
"Terimakasih Kayla." Ucapnya begitu kita sudah berada di dalam mobil
Aku menoleh kearahnya tanpa memberikan jawaban atas ucapan terima kasihnya.
"Bolehkan aku memanggilmu Kayla ?" Tanyanya lagi.
"Oh iya boleh Erlangga."
"Panggil saja Angga." Katanya.
"Baik Angga."
"Terimakasih sudah mau menjadi dokter pribadiku. Terima kasih sudah mau merawatku."
"Sama-sama Angga. Tapi kalau boleh jujur sebenarnya masih banyak dokter senior yang tentu lebih baik dan lebih mengerti soal kamu daripada aku." Kataku.
"Aku tidak butuh itu. Aku hanya butuh orang yang baik kepadaku seperti dirimu."
"Baik ?"
"Aku baru sekali ini mengalami musibah separah ini. Biasanya orang akan mendekatiku ketika aku memiliki segalanya, ketika aku sedang bergaya semua orang bahkan mau bersujud di bawah kakiku, tapi begitu aku sakit dan terkena musibah seperti ini mana ada orang yang mau mendatangiku ?"
"Mungkin mereka tidak tau kalau kamu sakit ?"
"Aku bahkan sudah meminta kepada sekertaris dan supor pribadiku untuk memberitahu orang-orang bahwa aku sakit. Tapi nyatanya ? Tidak ada satu orangpun yang menjengukku atau bahkan menghubungiku untuk sekedar menanyakan bagaimana kabarku."
Aku terdiam mendengarkan cerita Erlangga. Ternyata dia sepilu itu cerita dia. Jujur saja aku malah makin penasaran dengan kehidupan pribadi Erlangga. Entah timbul banyak pertanyaan tentang keingintahuanku tentang kehidupan pribadinya. Mungkin ada benarnya juga Kayla menyerahkan tugasnya ini padaku, aku ingin menjadikan cerita Erlangga sebagai bahan inspirasiku. Ibaratnya friend with benefit. Mungkin lebih tepatnya begitu kali ya."
Mobil Pajero sport hitam yang kami naikin berhenti di sebuah rumah mewah di kawasan perumahan elite Solo. Dibantu supir aku menurunkan Erlangga dari mobil ke kursi roda. Aku mendorongnya ke dalam rumah bernuansa abu-abu itu. Ada kolam ikan di teras rumahnya. Di ujung sebelah kanan ada gazabo dengan bendera dan payung hitam putih seperti sengaja dibuat agar bernuansa Bali. Memasuki rumahnya aku melihat beberapa lukisan dan patung-patung yang berjajar rapi di rumah Erlangga. Rumah lantai dua itu bagian dalamnya bernuansa biru muda. Kedatangan kami disambut oleh pembantu yang juga sudah sepuh. Sepertinya itu istri dari supir Erlangga karena dia memanggilnya dengan sebutan "bu".
"Mari bu dokter saya antar ke kamar mas Angga." Kata ibu itu ramah.
Aku mendorong kursi roda Erlangga mengikuti pembantu itu. Dari ruang tamu masih masuk belok kanan dan sampailah ke kamar yang luasnya dua kali lipat dari kamarku. Kamar Erlangga bernuansa putih. Banyak lukisan mobil dan motor klasik tertempel di dinding kamar Erlangga.
"Mas Angga kamarnya sudah di cat sama pak Budi. Semua yang ada di kamar mas Angga sudah mbok pindah disini sesuai dengan permintaan mas Angga." Kata pembantu kepada Angga.
"Terimakasih mbok."
"Bu dokter mari saya tunjukkan kamar bu dokter." Ajak mbok kepadaku.
"Angga kamu istirahat dulu ya, aku bantu kamu ke ranjang yuk." Ajakku.
"Kamu ke kamar kamu dulu saja Kay. Kalau sudah nanti ikut aku ya."
"Oh gitu. Yaudah kamu tunggu disini ya ?"
Aku mengekor di belakang pembantu Erlangga yang dia panggil 'mbok' itu. Tidak jauh dari kamar Erlangga ternyata kamar kami bersebelahan. Namun ukuran kamarnya tidak sebesar kamar milik Erlangga, tapi setidaknya dibanding kamarku masih tetap lebih besar kamar di rumah Angga.
"Silahkan masuk bu dokter. Ini kamar bu dokter. Saya pilihkan dekat kamar mas Angga agar ketika mas Angga butuh bu dokter tidak terlalu jauh nanti jaraknya."
"Terimakasih ya bu."
"Panggil saya mbok Nah saja bu dokter, saya pembantu rumah tangga disini. Saya yang mengurus mas Angga dari kecil."
"Iya mbok, terimakasih ya. Oiya panggil saya Kayla ya mbok, jangan bu dokter. Kesannya seperti ada jarak kalau dipanggil begitu."
"Baik mbak Kayla."
Setelah sedikit berbincang akhirnya mbok Nah keluar dari kamar. Aku meletakkan barang-barang bawaanku kemudian cuci muka dan ganti baju sebelum kembali mendatangi Angga di kamarnya. Aku memasuki kamar Angga dan melihat dia duduk sambil melihat ke arah jendela.
"Maaf lama."
"Ga pa-pa Kay, mungkin kamu capek. Aku yang seharusnya membiarkanmu istirahat dulu."
"Enggak kok aku biasa aja. Tadi cuma ganti baju sama cuci muka. Oiya kamu mau ajak aku kemana nanti ?"
"Aku mau mengajakmu berkeliling di rumahku."
"Okey dengan senang hati." Aku mendorong kursi roda Angga menyusuri setiap inci rumahnya. Dia bertanya dulu sampai mana baru dia menjelaskan secara rinci. Tapi kami berdua tidak ke lantai dua karena memang keterbatasan alat. Kebetulan aku lupa meminta tongkat untuk melatih Angga jalan-jalan.