7. Kilatan Masa Lalu

2458 Kata
Di depan cermin, Velove tampak terduduk diam. Matanya memejam erat. Menghela napas dalam, demi mengusir rasa sesak yang menyelimuti. Sedari tadi malam, pikirannya tidak karuan. Hatinya masih terasa perih sekaligus pilu karena teringat kembali dengan sosok Nathanael yang tanpa sengaja ia temui di pesta makan malam. Mengusap dadanya, Velove berusaha menarik napas berulang kali. Mengembuskannya pelan, tapi tetap saja dirasa percuma. Kilatan masa lalu masih saja menari-nari di otaknya. "Aku pergi cuma sebentar, Ve. Aku janji, setelah pendidikan yang aku tempuh selesai, aku bakal kembali untuk lamar dan nikahi kamu." "Kenapa harus kuliah di luar negeri? Kamu sengaja mau tinggalin aku?" tanya Velove saat itu tidak rela. Melihat mata sang kekasih berkaca-kaca. Nathan merengkuh tubuh wanita cantik di depannya. Mengecup keningnya dengan sayang sembari melempar senyuman yang meneduhkan. "Siapa yang mau tinggalin kamu? Aku ke luar negeri cuman sebentar karena harus ambil beasiswa sekaligus selesaikan study yang sudah aku pilih. Lagi pula, cuma ini cara satu-satunya untuk menarik perhatian serta hati Papa kamu. Ingat! Aku cuma yatim piatu yang nggak punya apa-apa. Gimana caranya aku bisa dapat kerjaan bonafit atau jabatan yang bagus kalau cuma diam di sini menerima nasib." Velove tidak bisa membantah. Apa yang Nathan ucapkan 100% benar. Selama ini, sang ayah memang membebaskannya memilih kekasih. Dengan catatan harus berasal dari keluarga terpandang. Paling tidak memiliki pendidikan tinggi, skill, atau jabatan yang mumpuni. Sedang selama ini saja, Nathan dan Velove sampai harus menjalani hubungan secara diam-diam. Ini semua sengaja dilakukan agar Darius tidak memisahkan mereka berdua. "Aku mohon kamu mau tunggu aku. Apa pun aku lakukan buat wujudkan impian kita berdua." Sambil meremas pergelangan tangan Nathan, Velove mengangguk. Walaupun berat, ia harus merelakan kekasihnya itu untuk pergi melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Toh program S2 hanya memakan waktu kurang lebih dua tahun. Velove pikir, bukan perkara sulit untuk menunggu sang kekasih dua tahun lamanya. Lagi pula, ia juga harus fokus menjalankan tugas serta pekerjaan yang baru saja diberikan oleh sang ayah. Velove yakin, sekembalinya Nathan ke Indonesia nanti, mereka berdua sudah menyelesaikan tugas masing-masing. Dan setelahnya, bisa melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Di tahun-tahun pertama, semua berjalan sesuai rencana. Tidak ada sedikit pun kendala yang mereka rasakan selain perbedaan jarak dan waktu. Namun, semua harapan tiba-tiba sirna kala tanpa terduga, Darius menjodohkan Velove dengan anak sahabat lamanya. Ia sempat menolak. Memberikan berbagai macam argumen. Tapi, tetap saja, Darius tidak terbantahkan. "Velove sudah punya calon sendiri, Pa. Velove nggak mau menikah sama pria yang nggak Velove cinta." "Siapa calonmu? Bawa dia ke sini. Suruh dia lamar kamu secara langsung kalau memang benar ada." Velove menggeleng. Mana mungkin bisa ia membawa Nathan saat itu juga ke hadapan sang ayah. "Dia lagi kuliah dia luar negeri. Tapi, setelah program S2 nya selesai, dia janji bakal langsung lamar dan nikahin Velove." Darius tertawa. Ia menyangsikan apa yang putrinya ucapkan. "Ya ampun, nak. Belum tentu juga dia pulang dan langsung nikahin kamu. Bisa jadi di sana, di tempat dia menempuh pendidikan malah ketemu perempuan lain. Who's know? Apa kamu yakin dia selama ini dia setia? Tolong jalin hubungan yang pasti-pasti aja. Lagi pula, calon yang papa siapkan ini sudah jelas bibit, bebet, bobotnya seperti apa. Dan Papa yakin, dia pantas mendampingmu." "Tapi, Pa ----" "Velove!" Darius menggeleng. Mengangkat tangan, pria itu memberi isyarat agar sang putri berhenti membantah ucapannya. "25 tahun kamu hidup, apa Papa pernah minta sesuatu? Atau menuntutmu untuk melakukan sesuatu yang nggak kamu suka?" Velove terdiam. Mengingat dengan baik kalau selama ini sang ayah memang tidak pernah meminta atau menuntutnya macam-macam. Diberikannya kebebasan, tapi tetap terkontrol dengan tujuan memilah, serta memilih mana yang paling baik untuknya. "Papa memang nggak pernah minta macam-macam sama Velove," gumam wanita cantik itu dengan lirih. "Itu sebabnya, apa Papa nggak boleh sekali ini aja minta sesuatu sama kamu? Papa cuma minta kamu setuju buat nikah dengan pria pilihan Papa. Ini juga demi kebaikan kamu, Nak." Melihat bagaimana sorot penuh mohon yang tampak di wajah sang ayah, pada akhirnya Velove tidak mampu membantah apalagi menolak. Karena hal ini, ia akhirnya setuju untuk mengakhiri hubungan dengan Nathan dan setelahnya menikah dengan Erwin. "Jadi, kamu telpon aku malam-malam begini karena mau akhiri hubungan yang sudah lama kita jalin?" Pada suatu malam, Velove terpaksa menghubungi Nathan yang berada jauh di sana. Ia berusaha untuk memberi tahu kekasihnya persoalan yang tengah terjadi sekaligus menyampaikan permohonan maaf karena harus mengakhiri hubungan mereka. "Aku minta maaf. Aku benar-benar nggak bisa bantah perintah dan permintaan Papa." "Iya, aku tau. Aku juga nggak berhak sedikit pun untuk larang atau tahan kamu." "Nathan ---" "It's, ok, Ve. Aku nggak apa-apa. Ini emang risiko yang dari awal harusnya aku perhitungkan." "Tapi aku cintanya sama kamu, Nathan." "Percuma, aku juga nggak mungkin sekarang bawa kamu pergi. Aku kalah dalam segala hal, Ve." "Jadi kamu relakan aku menikah dengan orang lain?" "Mungkin saat ini, iya. Tapi suatu saat nanti, aku pastikan bakal hadir dan kembali membawamu pulang ke sisiku." Teringat ucapan Nathan di masa lalu, Velove kepikiran. Ia saja benar-benar tidak menyangka kembali dipertemukan dengan kekasihnya itu. Apakah sekarang adalah waktu yang dipilih Nathan untuk kembali hadir serta membuktikan ucapannya di masa lalu? Setelah hampir satu jam lamanya larut dalam pikiran serta kenangan masa lalu, Velove bangkit duduk. Menyambar Kelly Bag hitam miliknya, wanita itu gegas keluar kamar. Menuruni anak tangga dengan perlahan, ia arahkan kakinya sejenak menuju ruang makan. Mengecek sekali lagi hidangan di atas meja, kemudian memilih untuk segera menuju mobil. "Non Velove nggak sarapan dulu?" tegur Reni saat berpapasan dengan Velove di teras depan. "Nggak. Saya buru-buru. Biar nanti saya makan di kantor aja. Mbak Reni tolong pastikan Pak Erwin sarapan, ya. Seingat saya nanti siang dia ada agenda rapat." Reni mengangguk. Lalu mempersilakan Velove untuk segera masuk ke mobil. Membiarkan istri majikannya itu berangkat kerja, sementara dirinya kembali melanjutkan kerja. Memasuki rumah, 15 menit berselang, giliran Erwin yang turun dari lantai dua. Pria itu langsung berjalan menuju ruang makan. Menarik kursi, kemudian mendudukkan dirinya di sana demi dapat menyantap sarapan yang sudah terhidang. Dalam diam, Erwin menikmati makanan di piringnya. Biasanya, Erwin lebih senang menyantap roti gandum atau roti dengan berbagai macam isian. Entah kenapa, pagi ini seleranya tergugah setelah melihat nasi uduk terhidang di atas meja. Mencobanya, ternyata makanan tersebut sesuai ekspekstasi. Enak dan rasanya pas di lidah. Ia bahkan sampai menghabiskan satu piring penuh lengkap dengan ayam goreng dan juga telur dadar. "Minumnya, Pak," ucap Reni sembari menyodorkan dua gelas minuman berisi teh hangat dan juga air putih gelas besar. Ketimbang kopi, Erwin memang lebih menyukai teh hangat. "Makasih, Mba Reni. By the way, nasi uduknya enak. Tumben rasanya pas di lidah saya." Reni tersenyum. Sambil merapikan piring bekas makan Erwin, ia menanggapi. "Jadi, masakan saya biasanya nggak enak nih, Pak?" "Bukan nggak enak. Rasanya enak aja. Cuman, pagi ini pas banget di lidah saya." "Bapak, suka?" Erwin tanpa ragu mengangguk. "Suka. Saya bahkan habis satu piring penuh." "Ya udah, nanti saya kasih tau bu Velove buat masakin bapak lagi untuk besok pagi." Erwin tersedak. Reni sampai menyodorkan gelas berisi air putih karena panik melihat majikannya itu batuk dan tidak berhenti. "Bapak baik-baik aja?" Erwin mengangguk. Lalu tak lama pria itu melempar tatapan ke arah asistennya. "Bentar ... bentar ... jadi, yang masak sarapan ini bukan kamu?" Reni balas menggeleng. "Bukan, lah. Ini bu Velove yang masak dan siapin untuk bapak. Yang tempo hari masak waktu Pak Purnomo datang juga bu Velove. Enak kan Pak masakannya? Bapak sih dari kemarin-kemarin tiap di sediakan nggak mau dicoba dulu." "Saya males," sahutnya dengan cuek. "Tapi, Pak," lanjut Reni. "Bu Velove itu keren banget, loh. Udah cantik, mandiri, wanita karier, pintar masak pula." "Kamu dibayar berapa muji-muji dia di depan saya?" Reni tertawa. Ia tidak sedikit pun tersinggung mendengar ucapan Erwin. Sebagai orang yang sudah lama mengabdi. Ia hapal benar tabiat bosnya tersebut. "Nggak dibayar lah, Pak. Ini tuh ucapan tulus dari dalam hati. Wong Bu Velove emang seperti itu. Bapak juga nggak usah malu-malu mengakui. Bu Velove udah nggak ada di rumah, jadi aman kalau mau muji." Erwin merotasi bola matanya. Malas mendengar sang asisten mengoceh, ia lantas bangkit dari tempat duduk. Menyambar jas yang ia sampirkan sebelumnya di kursi, bersiap untuk pergi. "Memangnya Velove ke mana? Kok jam segini udah nggak ada di rumah?" "Cieee, bapak nyariin, ya?" goda Reni dengan sengaja. "Ck, apaan, sih, mbak. Kan katanya Velove nggak ada. Ini baru jam 7 lewat. Tumben aja dia udah nggak ada di rumah," ucap Erwin berkilah. Reni tertawa. Ia suka sekali melihat majikannya itu sebal dan salah tingkah sendiri setelah digodanya. "Biar kata bener nyariin juga nggak apa-apa, Pak. Istri sendiri ini. Bu Velove sendiri emang udah berangkat duluan dari tadi. Keliatannya juga buru-buru. Mungkin ada pekerjaan yang mendesak dan harus segera di selesaikan." Erwin mengangguk saja. Melihat sejenak Vacheron Constantin yang melingkar di tangannya, pria itu gegas melanjutkan langkah. Masuk ke mobil untuk kemudian segera pergi menuju kantor. *** "Apa kabar, Velove?" Velove terdiam membeku kala sampai di kantor, dirinya sudah mendapati Nathanael yang menunggu di depan ruangan. Tanpa canggung pria itu mendekat, kemudian menyapa. Bersikap ramah seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu atau masalah di antara mereka berdua. "A-aku baik-baik aja seperti yang kamu liat." Nathan mengangguk. Pria itu semakin mendekat. Berusaha sekali mengikis jarak di antara mereka berdua. Lantas meraih pergelangan tangan Velove, lalu membawanya untuk segera masuk ke ruangan wanita itu. Begitu pintu tertutup, tanpa basa-basi, tanpa banyak bicara, pria itu mendekat kemudian merengkuh, memeluk erat tubuh Velove. Melampiaskan segala kerinduan yang selama ini ia pendam begitu lama. "Aku kangen kamu," bisik pria itu. Meregangkan sedikit pelukan, menarik dagu Velove demi dapat meraih bibir mantan kekasihnya itu. Melabuhkan ciuman dalam, memagut bibir atas dan bawah wanita itu bergantian. Sampai akhirnya Velove yang merasa tidak nyaman memberanikan diri untuk mendorong dadaa Nathan hingga tautan bibir mereka terlepas paksa. "Nathan, kita nggak boleh melakukan ini. Aku sudah menikah." Sial! Nathan mengumpat. Tak lama pria itu terdengar mendesah. Ia hampir saja lepas kontrol karena terlalu mendramatisir suasana. "Ve, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf karena udah hilang kontrol. Demi Tuhan aku begini karena rindu banget sama kamu." Velove hanya mampu menghela napas. Berpindah posisi, wanita itu memilih untuk melangkah menuju sofa kemudian duduk di sana. Di detik yang sama, Nathan menyusul, pria itu ikut duduk tak jauh dari posisi si pemilik ruangan. "Aku nggak tau harus ngomong apa sekarang. Tapi, kenapa kamu bisa tiba-tiba ada di sini? Bahkan bersama Papa?" Velove menggeleng tidak percaya. Ia tentu terkejut Nathan berhasil membuktikan ucapannya untuk menjadi bagian Wijaya Group yang dari dulu ia idam-idamkan. Bahkan, sekarang sang ayah yang merekomendasikan pria itu untuk mejadi tenaga ahli, yang artinya memiliki kemampuan spesial atau di atas rata-rata. "Karena aku mau membuktikan ucapanku. Kamu pasti nggak lupa dengan janjiku terakhir kali sebelum kita berpisah, kan?" Velove mendesah. Ia benar-benar hampir dibuat gila oleh kehadiran Nathan yang tidak terduga. "Nathan ... " sela Velove. "Please, aku udah nikah. Kamu bahkan sudah bertemu dengan suamiku semalam." "Ya terus kenapa? Kamu udah nggak cinta sama aku? Segampang itukah kamu hapus nama aku dari hatimu?" Mata Velove memejam. Di hatinya yang terdalam tentu masih ada cinta untuk sosok Nathanael. Hanya saja, Velove tidak mungkin mengkhianati ikatan pernikahannya. Walaupun Erwin tidak sedikitpun menaruh rasa cinta, ia sudah bertekad untuk tetap setia dan menjalani rumah tangga mereka dengan sebaik-baiknya. Terdengar naif memang. Tapi, ia sudah berjanji pada diri sendiri bahwa tidak akan main-main dalam ikatan suci pernikahan. "Nathan, please. Jangan gini. Kamu udah buat aku nggak nyaman. Kalau tujuan kamu ke kantor ini cuma mau menggangguku, lebih baik cari staf lain yang bisa mendampingimu selama berada di kantor ini." Melihat sikap Velove yang benar-benar menjaga jarak, Nathanael jadi merasa tidak enak. Karena tidak ingin mantan kekasihnya itu menjauh, ia akhirnya menurut dengan mengontrol sikapnya agar lebih profesional. "Oke aku minta maaf. Aku bakal profesional di sini." Detik kemudian Velove bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah meja kerja untuk menaruh terlebih dahulu tasnya. Lalu melangkah menuju pintu, bersiap untuk keluar. "Aku ajak kamu keliling gedung dulu. Setelah itu, aku bakal tunjukin di mana ruanganmu dan tugas mana aja yang bakal kamu kerjakan." Nathan mengangguk setuju. Kemudian mengekor langkah Velove yang membawanya untuk pelan-pelan berkeliling hampir ke seluruh ruangan divisi utama. Memperkenalkan dengan beberapa staff ahli yang ada di sana. Lebih dari dua jam lamanya Velove mengajak Nathan untuk berkeliling. Lalu menuntun pria itu menuju ruang kerjanya yang terletak tak jauh dari ruangan Velove sendiri. "Selama di Indonesia, ruanganmu di sini. Semua pekerjaan akan diberikan oleh staff yang nantinya bertugas sebagai asisten atau sekretaris. Kalau ada kesulitan, kamu bisa tanya atau konsultasi sama aku." "Oke, aku ngerti. Terima kasih atas bantuannya." Velove mengangguk saja. Merasa dirinya sudah menjalankan tugas yang diberikan sang ayah, ia berniat untuk segera kembali ke ruangan. Namun, baru beberapa langkah maju, Nathan kembali menganggil. Meminta Velove untuk menghentikan langkahnya. "Tunggu sebentar." Velove menoleh. Berbalik badan, wanita itu bertanya, "Ada yang kamu butuhkan lagi?" Nathan melangkah maju. Pria itu mendekati posisi di mana Velove tengah berdiri. Melirik sejenak jam yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian berbicara. "Sebentar lagi waktunya istirahat. Apa kamu bersedia makan siang dengan aku, please?" Dari mata Nathan, ada gelagat Velove ingin menolak. Namun, sebelum wanita itu memberikan jawaban, buru-buru dirinya kembali berbicara. "Sekali ini aja, Velove. Setelah itu, aku janji nggak akan ganggu kamu lagi. Selama di kantor, aku bakal bersikap profesional." Velove nampak terus menimbang sembari menatap lekat wajah pria di depannya. Berusaha untuk menyelami manik sehitam jelaga itu, untuk kemudian menarik sebuah keputusan. "Oke, aku setuju. 30 menit lagi, kamu bisa jemput aku di ruangan." Nathan tersenyum lebar. Ketika tiba waktunya untuk keluar makan siang, ia langsung menjemput Velove di ruangannya. Lalu membawa wanita itu untuk pergi ke salah satu restoran yang sering mereka datangi saat masih menjalin hubungan. "Sampai detik ini kamu masih suka sushi, kan?" tanya Nathan sambil fokus mengarahkan mobilnya menuju restoran yang akan mereka kunjungi. "Masih. Sampai saat ini, selera makanku nggak sedikit pun berubah." Nathan tersenyum. Begitu sampai tempat tujuan, ia buru-buru keluar lebih dulu demi dapat bantu membukakan pintu untuk Velove. Keduanya lantas melangkah bersama-sama memasuki restoran sembari mengikuti langkah waitress yang menuntun mereka menuju meja kosong yang ada di sudut ruangan. "Kamu nggak lupa tempat ini, kan?" tanya Nathanael membuka percakapan. Velove mengangguk. Mana mungkin ia melupakan tempat bersejarah di mana dulu Nathan pertama kali menyatakan cinta kepadanya. "Perempuan itu punya ingatan yang sangat baik, Nathan." Nathanael tersenyum simpul. Senang karena Velove tidak sedikit pun lupa dengan kenangan-kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama. "Aku harap semua kenangan yang pernah kita lalui nggak sedikit pun kamu lupakan walaupun saat ini sudah menikah." Velove melirik ke arah lawan bicaranya. Belum lagi sempat menyahut, dari arah lain terdengar seseorang menegurnya. "Velove ... " Mendengar namanya dipanggil, Velove menoleh. Detik itu juga ia terkesiap karena mendapati sesosok pria yang begitu ia kenal kini sudah berdiri di hadapannya. "Erwin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN