Sekeluarnya dari kamar Erwin, Velove langsung berjalan cepat menuju kamarnya sendiri. Mengunci pintu dengan rapat sambil memegangi dadanya yang naik turun karena berdebar sangat kencang.
Ini kali pertama setelah satu bulan pernikahan, dirinya bersikap berani. Velove, bahkan berusaha menjawab hampir semua ucapan yang terlontar dari bibir sang suami.
Dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Begitu di manja karena merupakan anak semata wayang, Velove seumur hidupnya mana pernah diperlakukan kasar atau semena-mena oleh orang lain. Walaupun dari keluarga terpandang dan memiliki segalanya, Velove juga tidak pernah diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk meremehkan orang lain, bersikap kasar atau tidak sopan.
Namun, mengingat kembali ucapan Deasy, Velove berpikir dirinya memang tidak boleh terlalu lemah atau pasrah kalau harga dirinya diinjak-injak. Lagi pula, ia sama sekali tidak salah di sini. Pernikahan antara dirinya dan Erwin murni perjodohan yang memang tidak mampu dihindari. Itu sebabnya, Erwin tidak berhak menjadikannya objek pelampiasan atas kekesalan yang pria itu rasakan.
Sementara itu, Erwin di kamarnya nampak sangat marah. Hampir semua barang yang ada di atas nakas dan meja ia hambur sampai berserakan di lantai. Dirinya kesal sekali, karena Velove sudah berani mengatai Vicky sebagai selingkuhannya. Belum lagi sang istri juga menjeratnya untuk semakin masuk ke dalam lingkaran bisnis yang sebenarnya tidak ia inginkan.
Kalau Erwin mengambil atau menerima project yang Darius beri, sudah dipastikan ia akan semakin sulit untuk lepas atau menceraikan Velove. Belum lagi sang ayah juga tampak kegirangan karena sahabatnya itu memberikan keluarga Salim, terkhusus dirinya sendiri sebuah perusahaan baru yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di sampinng itu, Darius juga sempat menyinggung soal penerus perusahaan. Dengan percaya diri mertuanya tersebut berniat untuk menurunkan tahta kepemimpinan Wijaya Group kepada dirinya. Hal ini akan semakin membuat Purnomo Salim tidak akan membiarkan sang putra menolak apalagi sampai berniat untuk menceraikan Velove yang seperti tambang emas untuk keluarga mereka.
Larut dalam kekesalan, ponsel Erwin terdengar berdering. Menghela napas berulang kali, ia meraih benda pintar yang tergeletak di atas ranjang tersebut. Memeriksa segera. Lalu mendapati nama Kendra yang terpampang jelas dilayar tengah melakukan panggilan kepadanya.
"Halo."
"Win, kamu jadi ke arena berkuda, kan? Aku sama Randa sudah nungguin dari tadi."
Erwin menarik napas sekali lagi. Hampir saja ia melupkan janji sore ini untuk pergi berkuda bersama kedua sepupunya.
"Iya, aku ingat. Sebentar lagi aku otw."
Panggilan terputus. Erwin pun gegas untuk berganti pakaian. Mengambil tas ransel lalu memasukkan segala keperluannya. Kemudian pergi begitu saja tanpa perlu izin atau pamit kepada Velove yang saat ini masih saja mendekam di kamarnya.
Sampai di arena berkuda, dari kejauhan Erwin bisa melihat keberadaan sang sepupu. Kendra dan Randa saat itu terlihat tengah mengitari lapangan dengan kuda-kuda pilihan mereka.
Tak ingin ketinggalan, Erwin langsung menyusul. Ketiganya sempat bermain polo kuda sekitar satu jam lebih. Sampai akhirnya Kendra yang sudah mulai kelelehan, memutuskan untuk beristirahat lalu menepi.
"Ken? Kenapa berhenti?" tegur Randa. Pria itu masih setia duduk di atas kuda sambil memainkan stik polo di tangannya. "Tanggung. Kebiasaan kalau kalah pasti berhenti tiba-tiba."
"Udah ... udah ... aku cape," keluh pria bermata sipit itu kemudian.
"Payah banget! Kamu sih kebanyakan olah raga di atas tempat tidur. Giliran dibawa ke lapangan malah loyo sendiri."
Kendra langsung melempar tatapan sebal. Seenaknya saja sepupunya itu berbicara.
"Bukan gitu. Cuacananya nggak asik banget. Ini udah jam lima. Tapi mataharinya masih kerasa terik. Aku nggak tahan lama-lama di bawah matahari."
"Emangnya kenapa?"
"Kulit aku kebakar. Nanti cakepku bisa luntur, Ran."
Randa berdecak. Melihat kedua sepupunya sudah turun dari kuda dan memilih untuk duduk beristirahat, mau tidak mau ia ikut turun. Menghampiri, kemudian duduk bergabung.
"Namanya juga main di arena outdoor yang pasti kena matahari," kata Randa kemudian. Lalu buru-buru menyesap air mineral botol yang sudah tersedia di meja.
"Tapi ada kok matahari yang nggak panas," sahut Erwin ikut berbicara.
"Nggak mungkin. Di mana-mana, namanya matahari itu pasti panas."
"Ada," bantah Erwin. "Matahari yang di mall dingin. Pakai ac pula."
"Itu toko baju, Gembel!" Randa berdecak kesal. Sedang dirinya tengah serius, kedua sepupunya malah mengajak untuk bercanda. "Lagian, ya. Dikasih panas ngeluh, dikasih hujan juga ngeluh. Emang paling bener tuh dikasih duit banyak. Yakin pasti nggak ngeluh."
Ketiganya terus saja berbincang. Entah apa-apa yang Randa bahas, hingga sore lama kelamaan berganti menjadi malam.
Kendra perhatikan dari awal, gelagat Erwin tidak seperti biasanya. Sepupunya itu kentara sekali terlihat banyak diam. Seperti ada suatu masalah yang mungkin tengah di hadapi.
"Kamu kenapa, sih?" tegur Kendra saat mendapati Erwin yang terdiam.
Randa ikutan menoleh. Rupanya ikut merasakan hal yang sama kalau ada sesuatu yang lain dari sepupunya itu. Pun ia akhirnya ikut juga bertanya.
"Iya, macam banyak pikiran aja. Lagi stress atau gimana?"
Erwin mendongak, lalu bergantian menatap kedua sepupu yang duduk di hadapannya.
"Aku cuma lagi lelah aja."
"Lelah?" ulang Kendra. "Lelah sama kerjaan?"
"Atau sama permainan barusan?" Randa ikut menimpali.
Erwin menggeleng. Pria itu tersenyum hambar. Selama ini, memang Kendra dan Randa yang menjadi tempatnya untuk berkeluh kesah. Kedua sepupunya itu juga yang tahu perasaan serta isi hatinya tanpa terkecuali.
"Aku cape sama pernikahanku, Ken. Aku cape pura-pura. Aku juga cape harus tinggal dengan orang yang sama sekali nggak aku cinta."
Kendra dan Randa saling tatap untuk beberapa saat. Lalu keduanya kembali fokus kepada Erwin yang kini hanya duduk tersandar sembari menatap lurus ke arah kuda-kuda yang sedang berlarian di lapangan.
"Gini banget nasib aku. Kenapa juga kayak yang sulit banget bersatu sama orang yang aku cinta."
"Tapi, kamu kan udah punya istri, Win. Kalau kata aku, mending kamu belajar terima dia. Memang kurangnya Velove itu apa? Bukannya dia cantik terus mapan? Belum lagi berasal dari keluarga yang jelas latar belakangnya. Bahkan dia mandiri dan juga pintar. Aku rasa, Om Purnomo udah tepat pilihin dia jadi istrimu," ucap Randa panjang lebar.
Erwin kembali tersenyum remeh. Ia tidak setuju dengan apa yang baru saja Randa sampaikan.
"Mentang-mentang kamu teman satu kampusnya dulu, terus kamu bela dia?"
Randa refleks menggeleng.
"Nggak gitu. Aku menilai ini semua secara objektif. Kalau dia emang baik, aku bilang baik. Kalau dia jelek, ya aku bakal bilang jelek. Buat apa juga menutupi sesuatu yang nggak baik? Apalagi kamu sepupuku. Nggak mungkin aku menjerumuskan kamu."
"Randa benar," tambah Kendra. Pria itu ikut bersuara. Mengomentari apa yang sedari tadi ia dengarkan. "Jauh, sebelum Velove jadi istrimu, aku pribadi bahkan beberapa kali terlibat kerja sama dengannya. Secara umum, dia wanita yang baik bahkan cukup cekatan dalam menjalankan bisnis. Harusnya, kalian berdua bisa jadi partner yang baik."
"Tetap aja aku nggak suka," sergah Erwin.
"Ya terus gimana? Kamu mau ceraikan dia? Lalu membiarkan Salim Group kembali terpuruk?" cecar Kendra. Ia menunggu alasan apa yang kali ini akan Erwin sampaikan kepadanya. Lagi pula, ini bukan kali pertama sepupunya itu mengeluh soal pernikahan.
"Kamu tau sendiri kalau aku nggak bisa ceraikan dia saat ini."
Erwin kembali tertawa kecut. Mungkin sudah takdirnya harus hidup menyedihkan seperti ini. Bertahun-tahun memadu kasih dengan wanita yang dicinta. Bukannya dapat dengan leluasa melangkah ke jenjang pernikahan, sang ayah malah menghapus impian yang ia pupuk dengan menikahkan dirinya dengan wanita lain.
"Karena itulah, kenapa nggak coba buat terima dia? Belajar untuk menjadikan Velove istri yang sebenarnya?"
"Aku bukan kamu Kendra! Aku bukan orang yang dengan gampangnya membuka hati untuk orang baru. Kita memang beda."
"Apa salahnya mencoba, Win?" Kendra menyahut lagi. "Bisa jadi yang kamu benci dengan sangat adalah yang terbaik. Bisa jadi, Velove adalah wanita tepat yang sudah om Purnomo persiapkan untuk menjadi pasanganmu. Kamu nggak pernah tau karena dari awal nggak mau mencoba, kan?"
Erwin diam saja. Bergeming karena sudah kehabisan pembendaharaan kata. Rasa-rasanya memang tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain menerima dan menjalani takdir yang entah sampai kapan berakhirnya.
***
Velove nampak memerhatikan sekali lagi dari balik cermin tatapan make up di wajahnya. Pun begitu berdiri, ia langsung memutar tubuhnya sekali demi memastikan gaun pesta yang tengah dipakai.
Sesuai jadwal, malam ini ia akan menghadiri pesta makan malam yang diadakan para petinggi Wijaya Group. Meyakini penampilannya sudah sangat sempurna, ia lantas keluar kamar dan bermaksud untuk turun ke lantai satu.
Melewati ruang tengah, Velove mendapati Erwin sudah duduk di sofa. Pria itu terlihat begitu tampan dan rapi mengenakan stelan jas yang biasa dipakai untuk menghadiri pesta atau pertemuan.
Tanpa banyak berbicara atau basa-basi, keduanya sama-sama menuju mobil. Gegas pergi menuju tempat acara yang berlangsung di salah satu hotel ternama.
Sampai di sana, begitu turun dari mobil, Velove lantas meraih lengan Erwin. Mengapitnya mesra. Menunjukkan kepada semua orang yang ada di sana kalau dirinya dan Erwin adalah pasangan suami istri yang berbahagia.
Pun Erwin tidak sedikit pun menolak. Ia tahu harus melakukan ini demi menjaga nama baik. Dijalaninya saja peran yang sedang ia mainkan. Bahkan ketika berpapasan dengan siapa pun yang Velove tegur dan ajak bicara, Erwin juga tak segan-segan balas memperlakukan Velove layaknya istri yang begitu ia cinta.
"Akting kamu boleh juga," bisik Velove saat keduanya tengah menepi tak jauh dari meja yang menghidangkan banyak minuman. "Kalau jadi aktor, pasti udah dapat piala citra."
Erwin berdecak. Menjaga air mukanya, pria itu tersenyum tipis menanggapi ucapan sang istri yang nyata-nyata menyindirnya.
"Biar kamu senang," balas pria itu. "Bukannya ini yang kamu harapkan? Menjadi sosok suami sempurna? Suami yang begitu mesra bahkan mencintai istrinya?"
"Tentu," angguk Velove dengan senyum terkembang di bibirnya.
Walaupun disatukan karena perjodohan, dari awal Velove menganggap serius status pernikahannya. Berusaha menjadi istri yang baik serta menjalankan segala tugas serta kewajibannya semaksimal mungkin.
Hanya saja, Erwin yang sampai detik ini belum mau menerima bahkan selalu menatap jijik ke arahnya. Tidak sedikit pun memberikan harapan atau kesempatan kepadanya untuk masuk ke dalam hati atau kehidupan pria itu.
"Cepat atau lambat perlakuan ini mungkin bakal aku terima secara permanen tanpa sedikit pun adanya keterpaksaan," lanjut Velove. "Lagi pula, nggak ada yang pernah tau nasib pernikahan kita ke depannya seperti apa, kan?"
Erwin tertawa kecil. Melirik, pria itu berbisik.
"Jangan kebanyakan mimpi, Velove Ariana Wijaya. Aku pastikan itu nggak akan pernah terjadi. Kecuali, di masa depan aku hilang ingatan atau tiba-tiba aja nggak waras."
"Kalau begitu, aku bakal buat kamu nggak waras. Kita lihat aja nanti ke depannya bakal gimana."
Erwin ingin menyahut lagi. Namun, mendapati Darius Wijaya yang tiba-tiba menghampiri, ia menelan kembali kata-kata yang hampir terlontar. Berganti senyum ramah penuh kepalsuan yang biasa ia tunjukkan.
"Velove, Erwin," sapa Darius. Pria itu lantas mendekat. Mengikis jarak di antara mereka. "Kalian sudah berkeliling menyapa para petinggi dan dewan komisaris yang hadir? Malam ini semuanya lengkap. Jadi, kesempatan buat Erwin untuk berkenalan dengan mereka semua."
Velove mengangguk. Sedari awal datang, ia sudah melakukan hal yang ayahnya perintahkan.Mengajak sang suami berkeliling sekaligus memperkenalkan kepada mereka siapa sosok Erwin.
"Sudah, Pa. Velove dan Erwin sudah menyapa bahkan mengajak beberapa dari mereka untuk mengobrol."
"Bagus kalau begitu. Malam ini Papa juga mau sekalian kenalkan kamu sama salah satu tim ahli yang baru aja didatangkan dari luar. Papa mau, kamu mendampinginya beberapa waktu ke depan karena dia bakal ditempatkan di Carribean, bareng kamu."
Velove mendengarkan dengan seksama. Tidak sedikit pun keberatan dengan tugas yang baru saja ayahnya berikan. Ia memang sudah terbiasa mendampingi para manager baru atau staff ahli yang biasanya memang dibawa dari luar negeri.
"Memangnya siapa yang kali ini bakal Velove dampingi?" tanya wanita itu penasaran.
Darius lantas menengok sejenak, melambaikan tangan, seolah memanggil seseorang. Hingga tak lama, datang sesosok pria bertubuh tinggi semampai menghampiri. Yang mana kehadirannya malah membuat Velove tersentak kaget.
"Velove, Erwin, ini Nathanael Candrawinata. Dia tim ahli yang Papa ceritakan barusan."
Pria bermata teduh itu melempar senyum ramah. Menyodorkan tangan tanpa ragu, mengajak Velove untuk bersalaman.
"Selamat malam, Velove. Senang bisa ketemu kamu lagi setelah sekian lama."
Velove terdiam membeku. Sementara Erwin dapat melihat jelas bagaimana istrinya itu menatap dalam pria di depannya dengan tatapan tidak biasa. Seolah-olah ada sesuatu yang tengah disembunyikan.