"Pak, kalau diperhatikan sekali lagi, grafik penjualan perusahaan kita makin lama makin naik dan mulai stabil serta berkembang. Saya optimis dalam waktu nggak sampai satu tahun, semuanya bisa kembali melonjak seperti semula atau bahkan melesat naik lebih dari sekarang."
Erwin nampak mendengarkan dengan seksama kala project manager dan juga beberapa staff ahli satu per satu mempresentasikan hasil kerja mereka dalam rapat penting hari ini. Kesemuanya memberikan laporan baik yang mana membuat Erwin merasa semakin puas.
Sebenarnya, Salim Group sudah dalam keadaan stabil dan juga normal semenjak Darius Wijaya memberikan uluran tangan kepada Purnomo. Hanya saja, Erwin ingin perusahaan ayahnya itu semakin maju dan kalau bisa semakin berkembang pesat.
Hal ini bertujuan agar ia bisa segera mengembalikan seluruh uang, serta bantuan yang Darius berikan agar Salim Group tidak dianggap hutang budi. Dengan begitu, ia bisa sesegera mungkin mengakhiri pernikahan bersama Velove tanpa beban.
"Kalau gitu, terus lakukan pengembangan. Jangan lupa untuk selalu melakukan evaluasi setiap minggunya. Penting juga untuk melakukan terobosan baru agar barang yang kita ekspor ke luar langsung disambut antusias oleh konsumen atau investor besar."
Selesai membedah sekaligus membahas segala hal penting berikut agenda kerja ke depannya, Erwin akhirnya menutup rapat. Melangkah keluar, pria itu bermaksud untuk kembali ke ruang kerjanya.
Baru saja keluar dari lift, dari kejauhan ia sudah menangkap keberadaan Kendra yang tengah duduk di depan ruangannya. Menghampiri, Erwin lantas menegur sang sepupu yang tampak sibuk bermain handphone tersebut.
"Ken."
Pria bermata sipit yang hari ini memakai setelan jas berwarna abu-abu itu medongak. Melihat orang yang dicari sudah di depan mata, Kendra lantas memutuskan untuk bangkit kemudian balas menyapa.
"Rapatmu udah selesai?"
Erwin mengangguk.
"Udah. Kamu sendiri udah lama sampai di sini?"
Kali ini Kendra terlihat menggeleng.
"Nggak juga. Baru sekitar 10 menit sampai."
"Ya udah kalau gitu. Terus kita jadi makan siang bareng?" tanya Erwin sambil memutar badan bersiap untuk melangkah menuju ruangannya.
"Jadi, dong. Aku udah nungguin dari tadi. Mana udah laper juga."
Erwin tersenyum. Pria itu lantas berbicara sembari melangkah.
"Kalau gitu, kamu tunggu di sini bentar. Aku taruh berkas dulu."
Begitu selesai menaruh seluruh berkas-berkas yang tadinya ia pegang, Erwin langsung mengajak Kendra menuju mobil. Keduanya lantas pergi untuk menyantap makan siang di salah satu restoran Jepang yang ada di pusat kota.
Sampai di lokasi, seperti biasa setelah memesan makanan, keduanya menghabiskan waktu dengan membahas hal pribadi sekaligus pekerjaan. Acara makan siang mereka berdua hari ini memang sedikit hambar karena Randa tidak bisa ikut dikarenakan sedang tugas di luar kota.
"Besok kamu ulang tahun, kan?" tanya Kendra sambil menyuap sushi di piringnya.
Erwin mengangguk. Ia yang juga saat ini sedang makan menanggapi pertanyaan sepupunya itu.
"Iya, emang kenapa? Kamu mau kasih kado?"
"Mau kado apa? Nanti aku kasih. Asal jangan minta belikan pulau aja."
"Alah, banyakan gaya, Ken."
"Loh, aku serius. Emang kamu apa? Terus acaranya dirayakan nggak? Kalau dirayakan, nanti aku kasi tau Luna buat besok ikutan datang."
Erwin terkekah. Sambil menikmati makan siangnya pria itu menggeleng. Lagi pula ia sudah terlalu dewasa untuk merayakan ulang tahun segala macam.
"Nggak, ah. Males banget pake dirayain segala. Paling juga cuma pergi makan malam aja."
"Sama Velove?"
"Ya sama Vicky, lah," delik Erwin seolah tidak terima kala sang sepupu malah menyebut nama istrinya.
Kendra menggeleng tidak habis pikir. Entah apa yang ada di otak Erwin sampai detik ini masih saja belum mau belajar membuka hati untuk sang istri.
Padahal, seperti yang pernah Randa katakan, Velove itu mendekati sempurna. Di samping kaya raya, tampangnya juga sangat cantik. Belum lagi pintar dan juga mandiri. Lalu? Apa lagi yang harus dipertimbangkan?
"Mau sampai kapan kamu gini, Win?" tanya Kendra terang-terangan. "Padahal, kalau boleh jujur, ketimbang Vicky, aku pikir Velove lebih baik. Auranya bahkan terasa begitu positif."
"Kamu nggak kenal siapa Vicky, Ken."
"Aku juga nggak kenal dekat siapa Velove sebenarnya. Tapi feelingku mengatakan dia memang wanita yang lebih baik dari Vicky."
"Itu cuma perasaanmu," tukas Erwin buru-buru. Tidak terima kalau kekasihnya sampai direndahkan oleh orang lain. "Aku akui, kalau soal fisik, emang jauh cantik Velove. Tapi, di sini yang aku cari kenyamanan. Dan aku sudah sangat nyaman dengan Vicky."
Kendra mengangguk. Ia tidak memungkiri hal itu. Dalam menjalin hubungan, kalau ingin bertahan lama atau terus langgeng, memang harus ada rasa nyaman, saling cocok, dan saling memiliki satu sama lain.
"Masalahnya, selama ini kamu nggak pernah mau coba, kan?" tebak Kendra tanpa basa-basi. "Coba berkaca dari kasusku dan Luna. Dulu, bisa dikatakan aku sangat nyaman dengan Viola. Kalau nggak merasa nyaman, mana mungkin kami bisa menjalin hubungan sampai bertahun-tahun. Tapi, setelah bertemu Luna dan berusaha untuk menyesuaikan diri, pada akhirnya aku merasa nyaman bahkan sampai sekarang. Artinya apa? Rasa nyaman itu bisa kamu dapatkan asal kamu sendiri punya niat dan tekad. Kalau belum coba tapi udah underestimate, gimana hubungannya mau maju?"
Panjang lebar Kendra berbicara. Berusaha sekali untuk terus memberi nasihat serta pencerahan agar Erwin tidak terus-terusan melakukan hal yang salah. Kendra pikir, kasihan juga kalau Velove di khianati seperti ini. Karena mau bagaimana pun, Erwin tidak berhak memperlakukan istrinya semena-mena seperti sekarang.
"Udahlah, Ken. Nggak usah ceramah. Bosan banget tiap ketemu kamu pasti belain Velove."
"Bukan ngebela," sanggah Kendra. "Aku cuma ngomong apa adanya aja. Kalau salah ya salah. Kalau benar, pasti aku dukung, Win."
Erwin berdecak. Memastikan makanan di meja sudah habis disantap, ia lantas memanggil waitress untuk kemudian membayar. Setelahnya, mereka berdua gegas bersiap menuju mobil untuk segera kembali ke kantor.
Namun, saat melewati salah satu meja, netra Erwin menangkap sosok Velove yang ternyata juga berada di sana. Awalnya, ia bermaksud untuk cuek dengan memilih untuk berpura-pura tidak melihat.
Celakanya, Kendra malah tidak bisa diajak kerja sama. Sepupunya itu tanpa dosa malah menegur, memanggil nama Velove dengan penuh percaya diri.
"Velove."
Mendengar namanya dipanggil, Velove refleks menoleh. Dari sorot matanya, ia sempat terkejut karena mendapati sang suami dan sepupunya ternyata berada di tempat yang sama dengan dirinya.
"Erwin."
Bukannya membalas teguran Kendra, Velove malah memanggil nama sang suami. Ia dan Erwin sempat saling bersitatap sampai akhirnya Kendra yang kembali terdengar berdeham kemudian berbicara.
"Kamu udah lama di sini?"
Velove tersadar, wanita itu kemudian menoleh ke arah Kendra.
"I-iya. Eh, nggak. Aku baru aja sampai kok."
Kendra mengangguk.
"Berdua aja?" tanya pria bermata sipit itu sambil menunjuk ke arah rekan yang sedang duduk di depan Velove.
"Iya, aku berdua aja. Sekalian kenalkan, dia teman kerja aku."
Kendra tersenyum ramah. Pria itu dengan sopan menyodorkan tangan ke arah pria yang duduk di depan Velove.
"Artakendra Prawira."
"Nathanael Chandrawinata. Senang berkenalan dengan Pak Kendra."
"Sama-sama."
"Pak Kendra sama Pak Erwin sudah makan? Atau kita makan siang bareng aja?" ajak Nathan dengan ramah. Berusaha sekali akrab kepada dua pria di depannya.
Kendra menggeleng. Penuh sopan pria itu menolak tawaran yang baru saja Nathanael sampaikan. Lagi pula, ia juga harus buru-buru setelah ini.
"Nggak, terima kasih, Pak Nathan. Saya dan Erwin baru aja selesai makan siang."
Sementara Kendra asyik berbicara dengan Nathan, Erwin yang juga berada di sana, sejenak terlihat diam saja. Memerhatikan sekilas, lalu pada akhirnya menegur Velove, bermaksud untuk berpamitan.
"Kamu lanjutin aja makan siangnya bareng temanmu. Aku sama Kendra mau balik dulu karena setelah ini aku ada rapat lagi yang harus aku hadiri."
Velove mengangguk. Mempersilakan Erwin untuk beranjak pergi.
"Iya. Kalau gitu kamu hati-hati. Sampai jumpa nanti malam di rumah," balas Velove tak kalah ramah. Memang begini sikapnya dan Erwin bila berada di luar rumah. Berusaha untuk terlihat mesra di hadapan orang lain, layaknya pasangan suami istri pada umumnya.
Meninggalkan Velove dan rekannya, Erwin dan Kendra sama-sama melangkah masuk menuju mobil. Begitu kendaraan tersebut mulai melaju, Kendra detik itu juga langsung mengajak Erwin untuk berbincang.
"Kamu kenal cowok yang bareng istrimu tadi?" tanya Kendra penasaran.
Sambil fokus mengemudikan mobil, Erwin mengedikkan bahunya.
"Aslinya sih nggak kenal. Setauku dia staff ahli yang di datangkan dari luar negeri."
"Pantas aja."
"Pantas apaan?" selidik Erwin jadi ikut penasaran.
"Dari tampangnya keliatan orang pintar dan berwibawa. Mana ganteng pula. Aku yang cowok aja mengakui tampangnya oke punya," cerocos Kendra tanpa beban. Pria itu menyampaikan apa yang tengah ia rasakan. Lagi pula, kalau dilihat secara Visual, Nathanael memang memiliki tampang yang tidak boleh diremehkan.
"Kamu nggak cemburu liat istrimu sama cowok ganteng? Nggak takut gitu kalau Velove kepincut?" tanya pria itu kemudian.
Erwin tertawa. Sambil menyetir, Kendra dapat melihat jelas bagaimana sepupunya itu berulang kali menggelengkan kepala.
"Ya ampun, Ken. Aku cemburu sama Velove? Aku nggak salah dengar, kan?"
"Nggak lah."
"Ngapain aku cemburu. Kalau Velove mau jalan sama cowok atau pacarnya sekali pun, aku nggak perduli, Ken. Suka-suka dia aja."
"Yakin?"
Erwin mengangguk. "100% yakin."
"Jangan sampai besok-besok kamu nyesel, Win. Awas aja sampai suatu hari aku dengar kamu curhat atau cerita terus merengekek karena Velove."
Erwin semakin terkikik geli. Menoleh, pria itu membalas ucapan Kendra dengan raut penuh yakin
"Itu nggak bakalan terjadi. Kamu bisa pegang omonganku."
***
Vicky : Sayang, selamat ulang tahun. Semoga di umur yang sekarang, kamu makin sukses. Semoga semua keinginan dan yang semua kamu cita-cita bisa segera tercapai. Makin sayang dan cinta sama aku. Dan yang paling penting, dalam waktu dekat kita bisa segera menikah. Dari aku, yang setia dan selalu mencintai kamu, Vicky Ayudya Salim.
Senyum Erwin langsung terkembang, kala pagi ini membuka mata, ia mendapati kiriman pesan singkat dari sang kekasih, Vicky. Rupanya, wanita pujaan hatinya itu sudah mengirimi pesan berisi ucapan selamat ulang tahun sejak tengah malam tadi.
Menegakkan tubuh, Erwin lantas mencari kontak Vicky di handphone-nya. Menghubungi segera kekasihnya itu untuk memberikan ucapan terima kasih atas doa-doa yang sudah Vicky panjatkan kepadanya.
"Morning, Baby."
Begitu panggilan tersambung, di seberang sana terdengar Vicky menyahut dengan manja. Suaranya yang lembut membuat Erwin semakin tergila-gila pagi ini.
"Morning, Love. Kamu udah lama bangun?"
"Tentu. Aku udah bangun dari jam empat tadi."
Kening Erwin berkerut. Ia penasaran kenapa kekasihnya itu sampai harus bangun sepagi itu.
"Kenapa subuh sekali? Kamu nggak bisa tidur seperti biasa?"
"Bukan," bantah Vicky. "Aku sengaja bangun lebih awal karena siapin kamu kue ulang tahun spesial. Walaupun bisa beli, aku pengennya kamu makan kue buatan aku sendiri. Ini buatnya pakai perasaan dan cinta."
Sambil memegangi handphone-nya, Erwin mengulum senyum. Hatinya semakin berbunga-bunga setelah mendengar apa yang Vicky katakan. Ia terharu sekaligus senang bukan main karena kekasihnya itu sampai mau repot-repot menyiapkan kue spesial sendiri untuk merayakan ulang tahunnya.
"Kamu sweet banget, sih," ungkap Erwin.
"Iya, dong. Pacarnya siapa dulu?"
"Erwin Pranata Salim, lah. Siapa lagi."
"Tapi, hari ini aku beneran bisa ketemu kamu, kan?"
Erwin merotasi bola matanya. Berpikir sejenak sembari mengingat-ngingat jadwal dan agenda kegiatannya hari ini apa saja.
"Hari ini, aku ada meeting di luar kantor sekitar jam sembilan atau setengah sepuluh gitu. Terus dilanjut habis makan siang ada pertemuan di Bandung. Tapi pulang hari, sih. Mungkin malam sudah sampai di Jakarta."
"Yah, jadinya nggak bisa ketemu dong?" rengek Vicky dengan nada terdengar manja bercampur sebal. Mungkin merasa sia-sia karena kue yang sudah susah payah ia siapkan, terancam tidak diterima oleh kekasihnya itu.
"Nggak, kita tetap bisa ketemu kok," sahut Erwin buru-buru. Berusaha menenangkan Vicky secepat mungkin. Mana tega ia menyakiti hati kekasihnya itu.
"Kapan ketemunya?"
"Pagi ini aja gimana? Sebelum kamu berangkat kerja, singgah aja ke kantorku. Atau mau aku jemput? Terus kita makan bareng di ruangan sebelum aku berangkat meeting."
"Boleh," sahut Vicky dengan antusias. Senang bukan main karena Erwin tetap mengusahakan agar hari ini mereka bisa saling bertemu. "Kamu yang jemput aku aja, ya? Terus kita ke kantor kamu bareng. Tapi, nanti sebelum berangkat meeting, kamu anterin aku ke kantor juga."
"Boleh Tuan Putri. Aku jemput kamu jam 7 gimana? Biar bisa sampai kantorku lebih cepat dan waktu buat sama-samanya lebih lama."
"Setuju," sahut Vicky di seberang sana dengan girang. "Kalau gitu, aku mandi dulu terus siap-siap. Kamu juga ya, buruan mandi terus jemput aku."
Begitu panggilan telpon terputus, buru-buru Erwin membersihkan diri. Bersiap-siap, untuk kemudian gegas menjemput Vicky yang sudah menunggu di apartemennya. Bahkan, sangking bersemangatnya pagi ini ingin bertemu, Erwin sampai mengabaikan sarapan serta minuman yang sudah asisten rumah tangganya sediakan.
Di pikirannya hanyalah satu. Ingin segera bertemu agar bisa bersama-sama menghabiskan waktu. Menikmati hari bertambahnya usia bersama orang yang ia cintai.
"Maaf kalau aku agak telat," ucap Erwin saat Vicky yang sudah ia jemput kini masuk ke mobilnya.
"Nggak, sayang. Kamu nggak telat, kok. Ini udah pas banget."
"Kalau gitu, kita bisa berangkat sekarang?"
"Bisa dong."
Erwin lantas kembali memacu mobil yang ia kendarai. Mengarahkannya untuk segera sampai di gedung Salim Group.
Karena masih teramat pagi, di kantor belum terlihat siapa-siapa yang datang terkecuali security atau office boy yang bertugas untuk bersih-bersih.
Sesampainya di ruangan, Erwin langsung membawa sang kekasih untuk segera duduk di sofa. Keduanya pun sempat terlibat perbincangan sebelum akhirnya menyantap kue yang sudah Vicky buatkan secara spesial.
"Kamu emang nggak pernah gagal kalau buat kue-kue begini," puji Erwin.
"Enak, kan?"
Erwin mengangguk.
"Enak banget. Pasti seru kalau nikah sama kamu, setiap ada waktu senggang dibuatin kue atau cemilan seperti ini."
Vicky tersenyum. Bangkit dari duduknya, wanita itu mendekati posisi Erwin yang ada di pojok sofa.
"Kalau kamu mau, aku bisa buatin tiap hari. Nanti aku anterin setiap hari juga biar sekalian bisa ketemu kamu."
Erwin tersenyum. Ditariknya Vicky untuk kemudian ia pangku. Dipeluknya erat pinggul wanita itu. Lalu tak lama Erwin mengulas senyum.
"Nggak usah tiap hari juga, sayang. Nanti kamu cape."
"Aku beneran nggak apa-apa. Yang penting kamu senang. Kalau perkara pengen makan kue mesti nunggu nikah, kelamaan, Win."
"Bentar lagi," ralat Erwin buru-buru. "Aku janji tahun depan kita udah nikah dan hidup sama-sama. Jadi, kamu tunggu aku bentar lagi. Setelah itu, kita bakal hidup bahagai."
Vicky mengangguk. Menurunkan wajah, lantas melabuhkan ciuman yang dalam. Dengan bibir yang terbuka, wanita itu memagut. Tak lupa pula memagut serta mengecup setiap sudut bagian bibir Erwin. Mengigit kecil di sana. Yang tak lama langsung mendapat balasan tak kalah panas dari pria yang sedang memangkunya.
Sedang dari balik pintu, keduanya tidak sadar sedikit pun. Ada seorang wanita yang memerhatikan dalam diam. Mengepalkan tangan begitu erat dengan mata berkaca-kaca. Bersumpah dalam hati akan membalas seluruh rasa sakit yang ia rasakan saat ini.