9. Hadiah Luar Biasa

2954 Kata
Pagi ini, Velove menikmati sarapannya seorang diri. Sudah hampir 30 menit duduk, ia tidak kunjung mendapati Erwin keluar dari kamar. Biasanya, setiap ia selesai menyantap sarapan atau setiap jam 7.30 pagi, Erwin pasti terlihat keluar kamar. Tapi, ini sudah hampir jam 8 dan pria itu tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Karena penasaran, Velove berinisiatif untuk bertanya. Kebetulan ada Reni di ruang makan yang saat ini tengah menyusun piring dan gelas bersih ke dalam draw partition. "Mbak Reni, Erwin udah keluar dari kamar atau belum? Kok saya nggak lihat dia dari tadi." Reni yang tadinya sibuk menyusun piring langsung menghentikan kegiatannya. Memutuskan untuk menghampiri Velove, kemudian menjawab pertanyaan majikannya itu. "Bapak sudah berangkat kerja dari pagi-pagi banget, Non. Kalau nggak salah dari jam setengah tujuh udah keluar. Kayaknya emang buru-buru. Sarapannya aja nggak disentuh sama sekali." Velove mengangguk paham. Pikirnya, mungkin sang suami hari ini ada jadwal pertemuan atau rapat pagi-pagi sekali sehingga turun kerja lebih awal dari biasanya. Hanya saja, Velove merasa kasihan. Suaminya itu sampai tidak sempat sarapan atau sekedar meminum susuu yang sudah disediakan khusus untuknya. "Ya udah, Mbak Reni, tolong bantu ambilin saya lunch box yang ukuran agak besar. Biar makanan yang sudah dimasak saya bekalkan aja untuk Erwin." "Maksudnya Non Velove mau anterin makanan ini ke kantor bapak?" Velove mengangguk. "Dari pada nggak ada yang makan. Lagian, ini nasi kuning ayam bumbu menu sarapan kesukaan dia, kan?" "Iya, Non. Pak Erwin suka banget dengan yang namanya nasi kuning. Tapi omong-omong bawain bekal, kenapa nggak sekalian non Velove bawaian bapak kue ulang tahun?" Kening Velove langsung berkerut. Ia bertanya-tanya, untuk apa asisten rumah tangganya itu menyarankan dirinya membawa kue ulang tahun segala macam. "Kue ulang tahun? Buat apa, Mbak?" "Loh, Non Velove nggak tau? Kan hari ini hari ulang tahunnya Pak Erwin." Velove sempat terbengong sepersekian detik, hingga akhirnya mengangguk paham. Ia benar-benar tidak tahu menahu kalau ternyata Erwin berulang tahun hari ini. "Sumpah saya nggak tau kalau Erwin ulang tahun hari ini, Mbak." "Ya makanya ini saya kasih tau ke Non Velove. Dari pada cuma bawain makanan, sekalian aja belikan kue ulang tahun yang bagus." Velove mengangguk. Ia setuju dengan saran yang baru saja Reni sampaikan. "Oke, sebelum ke kantor Erwin, saya bakal singgah dulu ke toko kue. Terus, nanti saya juga sekalian pesanin makanan prasmanan, mbak Reni tolong bantu terima dan hidang ya. Biar makanannya bisa kita semua makan rame-rame nanti malam sebagai pesta kecil-kecilan atas ulang tahun Erwin." "Setuju, Non. Nanti biar saya yang atur di rumah gimana. Non Velove nggak usah khawatir." Selesai menyusun makanan ke dalam lunch box, Velove gegas berangkat. Seperti yang sudah direncanakan, ia meminta supir untuk mengantarnya terlebih dahulu ke satu toko kue yang selama ini menjadi langgananannya. Mencari kue terbaik untuk ia berikan kepada Erwin saat mengantar makanan nantinya. Walaupun yakin sang suami pasti menolak apa yang ia berikan, paling tidak pria itu harus tahu niatan Velove yang begitu tulus kepadanya. Sampai di gedung Salim Group, Velove langsung diarahkan oleh resepsionis untuk menuju lantai 10. Sambil membawa box di tangannya, Velove melangkah dengan ringan menuju ruangan sang suami. Senyum terus saja ia sunggingkan setiap berpapasan dengan siapa pun yang menegurnya. Namun, senyum manis itu seketika sirna berubah menjadi kesedihan. Awalnya, saat sampai di depan ruangan, Velove sengaja membuka pintu dengan perlahan dengan maksud ingin memberi Erwin kejutan. Tapi, bukannya sang suami, malah Velove yang dibuat terkejut. Dari matanya sendiri, ia tanpa sengaja melihat pemandangan yang begitu menyakitkan hati. Di mana dengan jelas Velove melihat Erwin tengah bersama seorang wanita yang disinyalir adalah kekasih pria itu. Erwin bersama wanita itu dengan santainya bermesraan. Berpelukan bahkan saling berciuman. Velove yang menyaksikan jelas hal ini tanpa terasa menitihkan air mata. Merasa kesal, marah, bercampur sedih karena suaminya itu semakin terang-terangan menunjukkan perbuatannya. "Kamu emang perlu diberi pelajaran, Win. Kamu emang nggak bisa didiamkan terus-terusan seperti sekarang," lirihnya sembari menutup pintu dengan sangat pelan. Kemudian memutar arah untuk segera pergi menjauh. Kini di benak dan pikiran Velove hanyalah satu. Berpikir bagaimana caranya agar dapat segera membalas perbuatan Erwin yang makin hari makin kertelaluan. "Kamu liat aja, apa yang bakal aku lakuin ke kamu, Win!" *** Keluar dari gedung Salim Group, Velove memutuskan untuk langsung pergi. Sepanjang perjalanan sambil mengusap air mata, ia berpikir. Cara apa yang harus dilakukan untuk membalas semua perbuatan yang Erwin lakukan kepadanya selama ini. Dalam hati, Velove terus menguatkan tekad. Ia tidak boleh diam saja apalagi pasrah ketika harga dirinya diinjak-injak seperti sekarang. Itu sebabnya, alih-alih memilih untuk segera sampai ke gedung Carribean, Velove malah meminta supir untuk mengantarkannya menemui sang ayah. Beruntung begitu dihampiri, Darius masih berada di dalam ruangan. Pria paruh baya itu tampak sibuk membahas pekerjaan bersama sang asisten. "Pa, Velove bisa ngobrol sebentar? Ada hal penting yang mau Velove tanya dan bahas." Darius mendongak. Jelas sekali pria itu terkesiap. Mungkin heran saja melihat sang putri singgah tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Darius pun meyakini pasti ada sesuatu hal penting yang ingin putri kesayangannya itu bahas sampai repot-repot singgah seperti sekarang. "Sure," sahut Darius kemudian memberi kode kepada asistennya agar segera keluar dari ruangan. Memberikan dirinya waktu agar bisa berbincang empat mata dengan sang putri. "Velove mau ngomong apa sama Papa?" tanya pria itu seraya melambaikan tangan. Meminta sang putri agar mendekat, untuk duduk di hadapannya. Velove melangkah maju. Menarik kursi tepat di depan sang ayah, untuk kemudian mulai bercerita. Ia rasa, peran sang ayah sangat dirinya butuhkan saat ini. "Pa, sebelumnya, Velove mau tanya. Kemarin, saat Papa bantu Salim Group, apakah Papa hanya sebatas memberi suntikan dana segar atau ikut membeli saham mereka yang anjlok?" "Papa lakukan keduanya," sahut Darius dengan mantap. "Karena tau setelah memberi bantuan, kamu bakal Papa nikahkan dengan putranya Purnomo, Papa pikir nggak ada salahnya membeli saham mereka sekalian atas nama kamu. Toh, nanti saat Purnomo pensiun yang menjadi pewaris utama juga Erwin, suamimu, kan?" "Bentar," sela Velove. "Itu artinya Velove punya andil di Salim Group, kan?" Darius mengangguk. "Ya, bisa dikatakan begitu. Ada beberapa persen saham kamu miliki di sana." "Bisa nggak seluruh saham Velove yang miliki?" Darius sempat keheranan mendengar pertanyaan sang putri. Lantas tak berapa lama, pria itu menggeleng. "Nggak bisa, Sayang. Pembagian saham itu ada alurnya. 50% nya milik gabungan dari para petinggi lain. 30% milik Purnomo sendiri, sisanya punya kamu." "Tapi, bisa nggak, Pa? Yang punya Om Purnomo Papa beli semua?" "Untuk apa?" tanya Darius semakin heran. "Perusahaan yang kamu pegang saat ini masih kurang? Kalau mau tambah, kamu bisa ambil anak perusahaan papa yang lain." "Bukan gitu," geleng Velove. "Velove tertarik aja sama Salim Group." "Tapi kalau dimiliki semua, emang nggak bisa, nak. Purnomo pasti nggak mau." "Paling nggak, Velove mau punya saham lebih banyak dari Om Purnomo. Atau coba deh Papa tawar besarannya. Misal, Velove 40%, sisanya 10% tetap milik Om Purnomo. Lagian, perusahaan itu juga bakal jadi milik Erwin juga." Darius berpikir sejenak. Pria itu nampak menimbang permintaan yang baru saja putrinya ajukan. Demi melihat wajah Velove yang seolah memohon, seperti biasa Darius akhirnya luluh. "Ok, Papa bakal lobby Purnomo hari ini juga. Tapi sebenarnya buat apa?" "Ya buat Velove miliki aja, Pa. Terus, satu lagi permintaan Velove. Papa tolong kabulin." "Apa lagi, sayang?" tanya pria itu. "Velove mau, Papa izinin untuk sementara waktu kerja di Salim Group." Kening Darius langsung berkerut dalam. Ia semakin dibuat bingung dengan permintaan tidak biasa sang putri sedari tadi. "Sebenarnya ini ada apa? Kamu kenapa tiba-tiba aneh begini? Jadi exited banget sama Salim Group?" Velove menghela napas. Berpikir cepat harus memberi jawaban masuk akal seperti apa kepada sang ayah. Tidak mungkin ia menceritakan kalau selama ini Erwin terang-terangan berkhianat dan sekarang, giliran dirinya yang ingin memberikan pelajaran. Hingga tak lama, Velove terpikirkan sesuatu. Ia akhirnya menemukan alasan tepat untuk kemudian disampaikan. "Setelah Velove lihat-lihat, Salim Group saat ini kembali melesat naik setelah di pimpin oleh Erwin. Dari sini, Velove penasaran sekaligus tertantang untuk ikut coba mengembangkan usaha di bidang pertambangan seperti yang Salim Group lakukan selama ini. Siapa tahu kedepannya Velove bisa buka perusahaan tambang sendiri. Dari pada belajar sama orang lain, mending belajar sama suami sendiri, kan? Lagi pula perusahaannya juga sudah ada. Jadi, nggak perlu cape merintis dari bawah untuk melakukan praktik." Darius mendengarkan dengan seksama untuk kemudian menelaah maksud dari keinginnan yang baru saja diucapan sang putri. Lantas tak lama setelahnya mengangguk setuju. Kalau dipikir-pikir, apa yang Velove sampaikan ada benarnya. Di samping sektor pertambangan memang sangat menjanjikan, tidak ada salahnya kalau sang putri ingin belajar untuk kemudian melebarkan sayap. Apa pun itu, untuk kebaikan putri semata wayangnya, Darius pasti akan setuju. "Memangnya, kamu mau mulai kapan coba pindah ke kantor Erwin?" "Kalau bisa secepatnya, Pa. Besok juga nggak masalah," sahut Velove dengan sangat yakin. "Baik. Setelah ini, papa bakal langsung urus sama mertuamu. Tapi, ada syaratnya." Velove mendesah. Padahal, tadinya ia sudah senang mendengar sang ayah menyetujui permintaannya. Namun, mendengar ayahnya itu mengucapkan kata syarat, tiba-tiba saja perasaannya langsung tidak enak. Ia kepikiran sendiri soal embel-embel yang mungkin malah membuatnya sulit sendiri. "Ya ampun, Pa. Pakai syarat segala." "Ini perlu, nak," sahut Darius cepat. "Kalau nggak mau, ya kamu nggak usah aja pindah ke Salim Group." Velove cemberut. Sambil manyun, wanita itu bertanya dengan pasrah. "Ya sudah, emangnya papa mau kasih syarat apa?" "Kamu boleh pindah ke Salim Group dengan syarat bawa serta Nathanael ke sana." Velove sampai tersedak. Benar dugaannya, syarat yang diberi sang ayah pasti menyusahkannya. "T-tapi, Pa. Kenapa harus bawa Nathanael segala?" "Kan dia tanggung jawab kamu di sini. Kamu ditugaskan untuk dampingi dia selama di Indonesia, kan? Kalau Nathan kamu tinggal sendiri di Carribean, terus siapa yang bantu dia? Ya kalau kamu keberatan, Papa nggak bakal izinkan kamu pindah ke Salim Group. Lagi pula, biar Nathan sekalian belajar di sana bareng kamu." Mendengar ucapan syarat perintah yang Darius sampaikan, Velove hanya bisa mengangguk pasrah. Toh, tidak ada cara lain untuknya segera pindah selain menuruti permintaan sang ayah. "Oke, deal. Velove setuju bawa Nathanael. Tapi, Velove minta mulai besok sudah bisa bekerja di Salim Group gimana pun caranya." Darius mengangguk. Bukan perkara sulit baginya mengabulkan apa yang putrinya pinta. *** Erwin sampai di kediamannya tepat pada pukul 9 malam. Melangkah masuk, bermaksud untuk menaiki tangga, netranya tanpa sengaja menangkap pemandangan tidak biasa di ruang makan. Merubah arah langkah, Erwin memilih untuk singgah sejenak. Dari matanya, ia melihat begitu banyak menu makanan terhidang di meja. Lengkap dengan beberapa kue dan juga buah-buahan yang disusun sedemikian rupa seperti hendak merayakan pesta. Kebetulan, Reni saat itu lewat. Erwin yang melihat keberadaan sang asisten pun, langsung memanggil, meminta untuk mendekat. "Mbak Reni, ini ada apa? Kok banyak makanan di meja?" tanyanya karena benar-benar tidak tahu apa yang tengah terjadi. "Bapak ini gimana, sih," decak Reni. "Kan hari ini ulang tahun bapak." "Ya terus? Ini Mbak Reni yang masak terus sediain?" "Ya iyalah," sahut Reni cepat. "Ini semuanya saya yang hidang dan rapikan. Tapi, kalau masak emang bukan saya, sih. Itu non Velove yang pesan dan belikan. Tadinya, non Velove berencana rayain ultah bapak bareng sama seluruh pekerja yang ada di rumah," jelas Reni panjang lebar. "Velove? Rayain ultah saya. Tau dari mana? Mbak Reni yang kasih tau?" Reni pun mengangguk. Tidak membantah sedikit pun. "Iya, saya yang kasih tau. Malahan, tadi pagi pas bu Velove siapin makanan bekal buat Pak Erwin, dia sempat ngomong mau singgah kantor bapak terus bawain kue ulang tahun juga. Emangnya bapak nggak ketemu bu Velove di kantor?" Erwin mendengarkan dengan seksama ucapan Reni. Alih-alih menjawab pertanyaan sang asisten, ia malah melempar pertanyaan baru. "Terus, Velove nya mana? Udah pulang belum? Ini kenapa udah jam segini nggak disantap aja makanannya?" "Bu Velove udah di kamarnya, Pak. Dari tadi sore sepulang kerja, sampai saat ini nggak ada keluar-keluar lagi. Saya panggil untuk ingetin makan juga nggak dijawab." Erwin malas mengambil pusing. Pikirnya, Velove sudah dewasa. Untuk apa merasa khawatir atau repot apakah sang istri sudah makan atau belum. "Ya udah biarin aja. Mungkin dia mau istirahat. Terus itu makanannya di makan aja. Panggil yang lain buat makan bareng-bareng." "Lah, terus bapak gimana? Nggak ikut makan?" "Saya udah kenyang. Mau buru-buru ke kamar juga. Ada banyak kerjaan yang mau saya selesaikan." Erwin lantas berlalu tanpa beban. Sesampainya di kamar, ia buru-buru membersihkan diri. Seperti apa yang ia katakan, sekeluarnya dari kamar mandi, dirinya langsung berkutat dengan berkas-berkas. Mengerjakan dengan segera agar setelahnya bisa langsung beristirahat. Ke esokan harinya, Erwin bersikap sama. Pria itu berangkat lebih awal tanpa menyantap sarapan karena ingin kembali menjemput Vicky di apartemennya. Wanita itu meminta Erwin untuk kembali membawanya ke gedung Salim Group agar pagi ini bisa menikmati sarapan bersama-sama. Lama, Vicky berada di ruangan Erwin. Ada banyak juga hal-hal yang mereka bahas dan saling ceritakan. "Ini kalau tiap hari aku main-main ke sini, kamu nggak marah atau kerepotan, kan?" tanya Vicky dengan manja. Keduanya kini tengah duduk berdua di sofa tamu. Erwin langsung menggeleng. Mana bisa ia marah dengan orang yang begitu dicintainya. "Kenapa harus marah? Aku malah senang bisa ketemu kamu tiap hari. Kerja jadi semakin semangat. Kalau perlu, temani aja aku tiap hari dari pagi sampai sore." "Enak aja!" delik Vicky. "Tapi, kamu nggak takut apa? Kalau orang-orang lihat kita berdua bermesraan, terus dijadiin gosip yang nggak enak." Erwin tersenyum. "Kenapa takut? Selama ini, kita berdua selalu bermesraan di tempat tertutup. Bukan di tempat umum atau areal public juga, kan? Lagian? Selama berada di luar, sikap kita biasa aja layaknya teman. Jadi, aku yakin nggak bakal ada yang gosipin kita berdua macam-macam." Vicky mengangguk. Setelah menikah dan memutuskan untuk kembali menjalin hubungan, Erwin memang menintanya untuk sedikit menahan diri dengan bersikap layaknya teman biasa bila berada di luar atau areal public. Ini semua dilakukan untuk menghindari gosip miring yang beredar. Itu sebabnya, kalau ingin bermesraan, Vicky selalu mengajak Erwin ke apartemennya terh dahulu. "Tapi, kalau mesra-mesraan di ruangan kamu seperti sekarang, nggak masalah, kan?" goda Vicky. Wanita itu lantas mendekat. Sengaja mengikis jarak antara dirinya dan Erwin. Mengalungkan kedua tangan pada tengkuk leher sang suami, untuk kemudian mencium pria itu. Semuanya terasa melenakan. Erwin dan Vicky menikmati sekali ciuman mereka yang teramat intens. Sampai-sampai keduanya tidak menyadari, ada sosok Velove yang pelan-pelan masuk ruang kerja Erwin untuk kemudian berdiri begitu dekat guna menonton adegan perselingkuhan di depan matanya. "Jadi gini kelakuan kamu di kantor?" Erwin dan Vicky yang terkejut langsung melepas tautan bibir mereka. Detik itu juga keduanya refleks menoleh. Pun Erwin langsung melempar tatapan tidak suka seperti biasa. "Mau ngapain kamu di sini?" Velove tertawa kecil. Melipat kedua tangan di depan dadaa, wanita itu menyahut dengan alis mata terangkat tinggi. "Aku? Ngapain?" tanyanya sambil menunjuk diri sendiri. Lalu tak lama berbicara lagi. "Tentu aja lagi berkeliling kantor menyapa para staff sebelum memulai pekerjaan di sini." Kedua belah alis mata Erwin saling bertaut. Ia yakin tidak salah mendengar apa yang baru saja istrinya katakan. "Sebelum mulai bekerja di sini? Maksud kamu apa?" Sudut bibir Velove terangkat tinggi. Wanita itu menyeringai. Dengan anggun memberikan penjelasan. "Ya, karena aku pemilik saham tertinggi di Salim Group, aku putuskan beberapa waktu ke depan akan mulai kerja di sini. Suka nggak suka kamu harus terima kenyataan itu." "Nggak mungkin," geleng Erwin tidak terima. "Memang begitu kenyataannya. Silakan kamu konfirmasi dengan Papamu gimana kedudukan aku sekarang. Dan perlu kamu tau juga, sebagai salah satu pemilik, aku nggak suka ada skandal atau perselingkuhan di areal perusahaan yang aku punya. Jadi, aku minta dengan baik-baik, silakan suruh wanita murahann ini keluar sebelum aku yang usir," ucap Velove terang-terangan sembari menunjuk ke arah Vicky yang sudah berdiri tak jauh darinya. Erwin menatap nyalang. Ia murka mendengarkan setiap kalimat yang terlontar dari bibir Velove. Tentu saja ia tidak terima dengan segala ucapan yang baru saja istrinya sampaikan. Lebih-lebih Velove merendahkan Vicky di depannya. "Jangan gila! Kamu pikir, kamu siapa?" "Aku?" tanya Velove kembali. "Aku pemilik perusahaan ini dan juga istri sah kamu." Erwin tertawa sinis. Ia tidak sedikit pun perduli dengan apa yang Velove katakan kepadanya. "Lantas dengan begitu kamu pikir berhak mengusir Vicky dari sini?" "Tentu," sahut Velove dengan cepat. "Atau kamu mau aku yang usir sendiri?" "Silahkan kalau bisa!" Velove mengangguk. Tersenyum sesaat. Kemudian wanita itu maju beberapa langkah, dan tanpa terduga meraih rambut Vicky yang tergerai kemudian meraihnya. Meraup, kemudian menarik untuk mengikuti langkahnya menuju luar. "Erwin! Tolong aku. Ini sakit!" rengek Vicky kesakitan saat Velove tampak menarik rambutnya tanpa belas kasih. Sedang Erwin yang terkejut langsung berjalan mendekat. Berusaha untuk bantu melerai, memisahkan Velove dan Vicky yang sudah meringis kesakitan. "Velove, hentikan!" teriak Erwin. Velove menoleh. Wanita itu menggeleng. "Kamu suruh aku usir dia, kan? Kalau kamu mau, sekarang pun aku bisa seret dia keluar untuk kemudian dipamerkan dengan semua orang, semua karyawan yang ada di gedung ini. Kamu kamu?!" tegas wanita itu tidak main-main. Erwin bahkan begitu terkejut karena baru pertama kali ini melihat sorot penuh amarah di wajah Velove yang biasanya terlihat sendu. "Oke ... oke ... " ucap Erwin. "Fine! Vicky bakal pergi. Tapi, tolong, lepasin dia sekarang juga." Velove mengangguk. Lalu melepaskan genggaman tangannya dari rambut panjang Vicky. Membiarkan wanita itu menangis untuk kemudian mendekat ke arah Erwin. "Sekarang, suruh perempuan itu keluar. Atau aku bakal lakuin hal lebih dari pada ini." Erwin menarik napasnya. Berusaha menahan emosi untuk kemudian beralih pada Vicky. "Kamu kembali sekarang, ya. Aku minta maaf. Nanti, aku bakal temuin kamu." Vicky mengangguk. Kemudian menurut untuk segera pergi dari ruangan. Meninggalkan Velove dan Erwin yang masih saja saling menatap satu sama lain. "Kamu keterlaluan!" "Kalau aku keterlaluan, terus kelakuanmu selama ini apa, hah? Kamu pikir aku diam, aku nggak bisa balas apa yang selama ini kamu lakukan?" Velove tersenyum sinis. Tidak sedikit pun ada raut sedih atau takut yang biasa wanita itu tunjukkan. "Ini nggak seberapa, Win. Kamu tau benar Papaku punya kekuasaan, kan? Kalau mau, aku bisa lakukan lebih dari ini ke kamu dan juga selingkuhanmu itu." Velove kemudian keluar dari ruangan. Meninggalkan Erwin yang saat itu tampak begitu marah karena tidak mampu melakukan apa-apa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN