5. Bukan Aji Mumpung

2203 Kata
Erwin tampak susah payah untuk bergeser dari pelukan Vicky. Menurunkan pandangan, ia mendapati kekasihnya itu masih terlelap tidur sambil mengalungkan tangannya pada perut Erwin. Setelah kemarin dikunjungi oleh Vicky, Erwin langsung beranjak dari kantor untuk menghabiskan waktu berdua di apartemen sang kekasih. Dan semalam, pada akhirnya ia memutuskan untuk menginap di sana. Toh, hari ini juga hari libur. Jadi, ia tidak perlu pusing atau buru-buru bangun dan berangkat pergi ke kantor. Gemas melihat Vicky yang tak kunjung bangun, Erwin menarik tubuhnya pelan-pelan. Sedikit bergeser, kemudian menopang kepalanya dengan satu siku. Sedang tangannya yang bebas nampak membelai lembut pipi Vicky. Sesekali pria itu mendaratkan kecupan di kening lalu turun ke kedua pipi wanita cantik tersebut. Hingga akhirnya Vicky terdengar melenguh. Lalu tak lama pelan-pelan membuka mata. "Sayang ... " gumam wanita itu dengan suaranya yang serak khas orang bangun tidur. Perlu Erwin akui, Vicky memang begitu cantik di tiap momen yang ada. Belum lagi sikapnya yang lembut membuat dirinya semakin tergila-gila. Selama mengenal wanita, hanya Vicky yang mampu membuat hatinya bergetar. Belum lagi pengorbanan yang pernah Vicky lakukan dengan menjalani hubungan LDR dengannya. Bahkan, saat ini mau saja kembali diminta untuk menunggu dirinya yang terpaksa menikahi wanita lain. Karena banyaknya pengorbanan yang Vicky lakukan, Erwin bertekad untuk tidak meninggalkan wanita itu. Bahkan, berjanji suatu saat nanti akan menikahi serta hidup bersamanya. "Morning Sweety." Vicky terus mengerjap. Tersenyum, kemudian balik menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher milik Erwin. Menghirup aroma tubuh pria itu dalam-dalam. Lalu tak lama kembali memeluknya dengan sangat erat seolah tidak rela untuk berpisah. "Kamu nggak mau bangun?" Sambil terus memeluk, Vicky menggeleng. "Aku masih ngantuk dan masih pengen kangen-kangenan sama kamu." Erwin tersenyum. Membawa tangannya, lalu membelai lembut rambut Vicky yang tergerai bebas. "Masa masih kurang? Aku bahkan sampai nggak pulang biar bisa temani kamu di sini." Vicky berdecak. Ia tetap saja berat hati melepas kekasihnya itu untuk beranjak pergi dari sisinya. Ingin rasanya terus bersama. Kalau perlu tidak ada boleh satu pun orang yang mengganggu. "Aku pengennya terus sama kamu, Win. Kita bahkan terakhir kali bareng-bareng gini saat kamu honeymoon di Bali. Baru sebulan kemudian kita bisa bersama lagi," rengek Vicky. Yang mana malah membuat Erwin semakin dilema dan tidak tega meninggalkan kekasihnya itu. "Bukannya kalau pas lagi nggak sibuk, aku sering kunjungin kamu?" "Iya, tapi cuma ketemu bentar aja, kan? Nggak pernah yang sampai nginap." Erwin terdiam kemudian menghela napas panjang. Setelah resmi menyandang status sebagai suami Velove, seingat Erwin ia terakhir kali menghabiskan waktu serta berduaan dengan Vicky saat dirinya menjalani bulan madu di Bali. Kala itu, bukannya menikmati liburan dengan Velove, ia malah memilih untuk menghabiskan waktunya bersama Vicky sampai akhirnya kembali ke Jakarta. Setelah kejadian itu, Erwin hanya sebatas bertemu atau jalan bareng saja. Baru semalam ia kembali menghabiskan waktu bersama sampai-sampai memilih menginap. Ini semua ia lakukan atas dasar ingin menebus rasa bersalahnya karena begitu sibuk beberapa hari belakangan. "Kamu mau tungguin aku bentar lagi, kan? Aku janji, setelah keadaannya stabil, aku bakal langsung ceraikan Velove dan segera nikahin kamu." Vicky mengangguk kemudian tersenyum. Ia tidak lupa dengan janji Erwin yang satu ini. "Iya. Aku bakal tungguin kamu sampai kapan pun." "Kalau gitu, sekarang, aku boleh pulang? Sore ini, aku udah terlanjur ada janji sama Kendra untuk ketemu." Vicky mencebik. Masih saja berat hati untuk melepas Erwin pergi. "Please," mohon Erwin sekali lagi. "Aku janji, besok bakal jemput kamu buat makan siang bareng." Pelan-pelan mimik sebal yang tergurat pada wajah Vicky akhirnya memudar. Tergantikan dengan senyum. Wanita itu mencodongkan wajahnya. "Kamu boleh pulang. Tapi ada syaratnya." "Apa syaratnya?" Bukan jawaban yang Vicky beri. Wanita itu malah membawa tangannya, lantas mengangkup wajah Erwin. Menariknya agar mendekat. Kemudian melabuhkan ciuman yang dalam dan penuh akan penuntutan. Sementara bibirnya memagut, sebelah tangan Vicky nampak turun, menyasar pada dadaa bidang milik Erwin. Membelai di sana. Sengaja menggoda. Lalu mengurai sejenak ciumannya, wanita itu berbisik s*****l. "Peluk aku dulu sampai puas baru kamu boleh pulang." Erwin terkekeh geli. Dengan serta merta mengabulkan apa yang Vicky minta. Toh bukan perkara sulit kalau hanya sekedar memeluk sang kekasih sampai puas. Maka detik selanjutnya Erwin merengkuh tubuh Vicky. Menariknya, lalu memeluk wanita itu erat-erat. Bersikap seperti layaknya orang yang tidak ingin sedikit pun berpisah. Menikmati dengan sangat sisa waktu mereka yang sebentar lagi akan habis. *** Puas menemani sang kekasih, Erwin memutuskan untuk pulang ke rumah tepat jam makan siang. Begitu sampai, pria itu sedikit heran. Saat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah, ada mobil mewah lain yang tidak begitu ia kenal terparkir di sana. Penasaran, Erwin gegas masuk. Sesampainya di dalam, dirinya langsung tersentak kaget karena mendapati sang mertua beserta ayahnya nampak berkunjung tiba-tiba. Mereka, bahkan tengah duduk di ruang makan. Mungkin saja sedang bersiap untuk menyantap makan siang. "Hai, Win." Darius Wijaya yang merupakan ayah dari Velove menyadari kedatangan Erwin. Pria paruh baya tersebut dengan serta merta langsung menegur sang menantu yang saat itu berdiri tak jauh dari tangga. Purnomo Salim yang juga berada di sana refleks ikut menoleh. Pun Velove langsung beranjak berdiri. Disusul dengan langkah Erwin yang mau tidak mau menghampiri ke ruang makan. "Papa," sapa Erwin dengan canggung. Ia jadi gugup sendiri, bingung harus menjawab apa karena pasti setelah ini akan di interogasi oleh dua pria yang tak lain ayah dan juga mertuanya. "Kamu sudah makan? Ayo makan siang bareng. Pasti kamu cape banget habis lembur di kantor." Sepersekian detik, Erwin terbengong. Melirik ke arah Velove beberapa saat, lalu kembali menatap sang mertua. "S-saya ----" "Iya," potong Darius. "Kata Velove kamu pagi-pagi banget udah harus ke kantor karena mesti lembur akhir bulan. Papa salut banget sama kinerja kamu yang suka mencontohkan hal baik kepada para karyawan. Walaupun jabatannya adalah pemimpin, tapi nggak segan-segan buat ikutan lembur. Bahkan sampai mengorbankan hari libur untuk ikut menyelesaikan pekerjaan agar bisa terselesaikan dengan baik." Purnomo di sebelah Darius nampak tersenyum. Pria itu turut menyunggingkan senyum. "Harusnya kamu liat dulu dong, Papanya siapa. Erwin jadi panutan gini kan hasil didikanku." Darius menoleh ke arah Purnomo. Balas tersenyum kemudian mengangguk setuju. "Justru itu. Karena tau anaknya bakal punya kepribadian serta tanggung jawab yang sama seperti kamu, makanya aku setuju nikahkan dia sama Velove, putri kesayanganku." Kedua pria paruh baya itu kembali tertawa. Tak lama, mereka berdua sama-sama melempar tatapan ke arah Erwin yang masih saja terdiam bingung. "Ya sudah, sana kamu ganti baju dulu, Win," perintah Purnomo kepada sang putra. "Setelah itu, cepat kembali ke ruang makan. Kita makan siang bareng. Kasian istrimu udah siapkan makanan yang banyak kalau nggak dihabiskan." Erwin mengangguk. Pria itu mengulas senyum walaupun masih saja tampak canggung. "Iya, Pa. Sebentar Erwin ganti pakaian dulu." Detik itu juga Erwin menoleh ke arah Velove. Memberi isyarat agar istrinya itu ikut bersamanya naik ke lantai dua. Paham dengan kode yang diberikan, Velove menurut. Mengekori langkah Erwin untuk segera berjalan menaiki anak tangga. Dan tepat di depan kamar Erwin --ya karena selama ini mereka berdua memang tidur di kamar yang terpisah--, Erwin langsung menarik lengan Velove dengan kasar. Membawa istrinya itu masuk, kemudian mengunci pintu dengan rapat. "Sejak kapan Papamu dan Papaku ada di rumah ini?" selidik pria itu dengan tatapan mata menghunus. Padahal, bertanya baik-baik pun sebenarnya bisa. Erwin memang terlalu arogan atau mungkin saja memang terlalu gengsi untuk sekali saja memperlakukan Velove dengan baik. "Sudah dari jam 10 tadi," sahut Velove sekedarnya. "Dan selama itu kamu nggak sedikit pun ngabarin aku? Kamu sengaja mau mempermalukan aku?" balas Erwin sedikit murka. Emosi pria itu mulai beranjak naik. Bukannya takut apalagi tersinggung, Velove menganggapi dengan santai. Sambil tersenyum, wanita itu menyahut dengan tenang. "Memangnya kalau tadi pagi dihubungi, kamu yakin bakal langsung tanggapin?" Erwin diam saja. Pertanyaan mudah yang Velove ucapkan tidak mampu ia jawab. Sementara Velove kembali menarik sudut bibirnya. Menyeringai, wanita itu melontarkan kalimat lain. "Aku udah coba hububgin kamu. Tapi handphone kamu mati. Mungkin sengaja dimatikan biar aku nggak bisa ganggu kamu yang mungkin aja lagi senang-senang sama selingkuhanmu itu." Erwin seketika itu juga marah. Diraihnya dagu Velove dengan kasar. Dicengkramnya sengaja sampai istrinya itu meringis menahan sakit. "Dia bukan selingkuhanku. Justru kamu yang merusak hubunganku dengan dia! Harusnya kamu sadar diri posisimu itu seperti apa." Senyum kembali terkembang di bibir Velove. Berbeda dari sebelumnya, kali ini tidak sedikit pun takut menghadapi Erwin yang tampak begitu emosi kepada dirinya. "Tapi sekarang statusmu suamiku. Aku yang jadi istri sahmu. Wanita di luar pernikahan kita sama aja dengan pengganggu. Harusnya kamu berterima kasih aku nggak mempermalukan kamu di hadapan Papaku dan juga Papamu. Harusnya, kamu berterima kasih juga karena sampai detik ini selingkuhanmu itu nggak sedikit pun aku sentuh. Padahal, kalau aku mau, aku bisa melakukan itu." Erwin detik itu juga langsung melepas cengkraman tangannya. Baru kali ini juga ia mendengar Velove berani balas berkata ketus kepadanya. "Aku pastikan kamu menyesal kalau sampai berani sentuh dia!" "Nggak usah kebanyakan mengancam," balas Velove segera. "Sekarang, mending kamu persiapkan diri untuk bersikap baik di depan Papamu dan juga Papaku di bawah sana." Sepuluh menit berselang, pria bermata sendu itu kembali turun dan akhirnya ikut bergabung di meja makan. Mengambil posisi duduk tepat di sebelah Velove, Erwin untuk berusaha untuk menampilkan sikap manis. Pria itu mau menerima begitu saja sodoran piring dari sang istri. Bahkan, saat Velove bantu mengambilkan nasi dan juga beberapa lauk makanan, Erwin menurut saja tanpa protes sedikit pun. Mana mungkin juga ia menolak apalagi bersikap sembarangan. Di sana ada Darius yang merupakan ayah dari Velove. Dulu, di awal pernikahan Erwin sempat bersikap cuek dan memilih untuk tidak perduli kalau kedua orang tua Velove atau orang tuanya tahu ia tidak sedikit pun setuju dengan pernikahan ini. Namun, setelah diminta Vicky untuk menjaga sikap agar sang mertua tetap terus memberi bantuan kepada Perusahaan Salim agar segera stabil seperti semula, mau tidak mau Erwin berusaha bersikap serta memperlakukan Velove dengan baik di hadapan mereka semua. Tanpa keraguan sedikit pun, Erwin menyuap makanan di piringnya. Mengunyah pelan. Mencecap segala rasa yang timbul, lalu terdiam sejenak untuk kemudian mengangguk-angguk. Detik ini juga ia baru sadar kalau masakan sang istri tidak seburuk yang ia kira. "Gimana kerjaan kamu, Win?" tanya Purnomo membuka percakapan di atas meja. "Kerjaan Erwin baik, Pa. Berkat bantuan Papa Darius, satu per satu perusahaan cabang sudah mulai kembali beroperasi seperti semula. Ya, walaupun belum 100%, Erwin yakin dalam waktu dekat semuanya bisa kembali normal seperti sedia kala." Darius mengangkat wajahnya. Pria itu tersenyum bangga. Sempat memberi bantuan kepada Salim Group yang terancam mengalami kebangkrutan, Darius tidak menyangka saja kalau progress penormalan perusahaan sahabatnya itu bisa berjalan dengan cepat. Dan itu semua terjadi karena campur tangan sang menantu yang dianggapnya sangat handal. "Kalau proses perbaikan ini selesai, Papa rencananya mau kasih kamu satu perusahaan lain untuk kamu jalankan, Win. Anggap aja ini hadiah pernikahan dari Papa," kata Darius kemudian. "Kebetulan ada satu anak perusahaan Wijaya yaitu Sari Melati yang menjadi induk dari berbagai macam restoran fast food dan sangat butuh pemimpin cekatan seperti kamu. Setelah Papa pikir, kamu yang cocok untuk menjalankan tugas ini." Bukan Erwin, Purnomo yang tersenyum lebar. Senang bukan main sahabatnya itu malah memberi sang putra hadiah yang tidak main-main. "Erwin pasti senang dapat hadiah fantastis seperti ini," sahut Purnomo. "Gimana, Win? Kamu bisa aja, kan?" Erwin tampak menggaruk alisnya yang tidak gatal. Maksud hati ingin lepas dari jeratan sang ayah mertua atau apa pun itu yang berhubungan dengan keluarga Wijaya, ia malah dihadiahi sesuatu yang menyilaukan mata. "Sebenarnya, Erwin ----" "Erwin pasti mau, Pa," potong Velove. Lalu melempar senyum ke arah sang suami. "Apa susahnya memimpin perusahaan seperti itu. Kalau pun nanti kesulitan, biar Velove yang bantu. Bukan begitu, sayang?" tanya Velove sambil melirik kepada Erwin. Erwin mau tidak mau mengangguk. Menolak juga sepertinya tidak mungkin. "Iya, Pa. Erwin bisa saja menjalankan perusahaan tersebut." Darius tersenyum senang. Merasa bahagia karena pemberiannya diterima dengan baik. "Kalau begitu, Lusa kalian berdua jangan lupa juga datang ke acara gala dinner yang diadakan para petinggi Wijaya Group. Di sana, Papa bakal sekalian kenalkan kamu dengan pimpinan lainnya. Lagi pula, kalau Papa udah pensiun, yang mewarisi ini semua kan kamu? Mengingat Velove sendiri nggak punya saudara sama sekali. Jadi, perlu sekali mengenal banyak rekan bisnis agar memiliki koneksi yang luas." Erwin mengangguk saja. Padahal, kalau dirinya gila harta, harusnya senang karena menjadi menantu seorang Darius Wijaya. Perusahaan mereka masuk dalam jajaran top global dengan profit tahunan di atas rata-rata. Apalah artinya Salim Group yang hanya seujung kuku bagi seorang Darius. Itu sebabnya, sang ayah mertua begitu ringan membantu saat ayahnya meminta pertolongan. "Karena Papa dan Papamu sudah lama di sini, sekarang waktunya kami pamit pulang. Jangan lupa untuk datang di acara lusa. Papa tunggu di sana kehadiran kalian berdua." Memastikan ayah dan mertuanya sudah pulang, Erwin kembali menarik Velove untuk segera naik ke lantai dua. Membawa wanita itu masuk ke kamarnya untuk kemudian diajak berbicara. "Maksud kamu apa melakukan ini semua?" Velove mengangkat sebelah alis matanya. Sama seperti sebelumnya, wanita itu menanggapi dengan santai. "Nggak ada maksud apa-apa." "Tapi aku nggak suka cara kamu." "Dari awal kamu emang nggak pernah suka sama aku, kan?" Erwin balas tertawa sinis. Pria itu kemudian mengangguk. "Itu sebabnya, kamu nggak usah berharap banyak dalam pernikahan ini. Cepat atau lambat kita juga bakal berpisah." Velove maju selangkah. Melempar senyum yang sama, wanita itu langsung membalas ucapan sang suami. "Buktikan aja omonganmu nanti." Velove lantas berlalu, kemudian pergi begitu saja. Ia tidak tidak perduli kalau Erwin setelah ini kembali kesal kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN