23

1157 Kata
Saat waktu sudah mulai siang, seorang peserta laki-laki bernama Mahen, tengah berjalan santai mengikuti rute yang diberitahukan peta padanya.trubuhnya sangat lerlah, dengan lengan tangan kanan yang diperban akibat luka dari goresan ujung anak panah peserta lain. Untung saja ia bisa menghindar, ia memang tak ingin mencari urusan dengan peserta yang menggunakan anak panah karena bertemu dengan peserta-peserta itu ia akan merasa sangat di rugikan. Mereka bisa menyerang dari jarang sangat jauh bahkan di balik pohon dan juga menyerang dari dengan dengan perubahan busur. Sedangkan ia yang menggunakan sabit cukup kesulitan, senjatanya hanya akan bekerja jika ia bertarung jarak dekat. Mahen tak merasa pengecut saat lari dari lawannya, hanya ia belum siap melakukan pertarungan lagi, apalagi saat malam hari ia tak bisa tidur, tempat yang seharusnya nyaman untuknya beristirahat malam dipenuhi ular kobra, ia tak bisa tidur dan malam bergelut dengan ular berbisa itu. Kini Mahen berhenti sejenak untuk menarik napas beratnya, bersandar dibawah batang pohon, ia harus tetap terjaga agar tak tertidur, akan membahayakan jika ia tertidur saat dalam keadaan seperti ini, itu sama saja membiarkan musuhnya membunuhnya dengan mudah. Tak berapa lama saat ia bersandar, ia mendnegar sebuah suara langkah kaki dari arah samping kirinya. Mahen terjaga dengan memegang senjatanya erat. Bersembunyi? Sepertinya tak akan semudah itu, karena pepohonan didekatnya memiliki batang yang kecil. Langkah kaki itu semkain mendekat dan terus mendekat kearah Mahen. Mahen bersiap untuk serangan selanjutnya, tapi ia berharap peserta itu bukan lawan yang membawa senjata panah. Semisal pedang atau yang lainnya masih bisa ia hadapi. Dari balik pohon, seorang peserta seusianya dengannya muncul. Pemuda yang membawa senjata kapak lebar dengan gagang tombak. Entah kenapa dalam keadaan seperti itu Mahen malah bernapas lega, padahal itu musuh yang jelas. Memang peserta itu tak menggunakan panah, tapi kapak lebar juga senjata yang cukup kuat jika bertarung dari jarak dekat, dari jarak jauh bahkan bisa melayang dalam radius beberapa meter. Mahen berjaga sambil memasang kuda-kudangnya, jika ia tak siap dalam penyerangan ini, mungkin saja ia bisa terjatuh secepat mungkin, tapi peserta itu juga tak melakukan apapun, hanya terdiam sambil menatap Mahen. Mahen tak ingin menyerang lebih dulu jika peserta itu tak bereaksi apapun. Dilihat dari segi fisik kemungkinan tubuh peserta itu dan Mahen mirip. “Aku lelah, kalau kau ingin menyerang silahkan,” ujar peserta itu menurukan senjatanya. Mendengar ucapan peserta itu Mahen malah bingung sendiri, bagaimana mungkin ada peserta yang menyerah begitu saja. Padahal kalau dilihat dari segi apapun tak ada terlihat bahwa tubuh peserta itu mengalami luka, hanya beberapa bercak darah saja yang mempel di lengan dan dekat lehernya. Mahen tak melakukan reaksi apapun, tapi ia menurukan senjatanya mengikuti apa yang di lakukan peserta itu dan dari manapun sepertinya peserta itu tak akan membohonginya. Setelah melihat Mahen menurukan senjatanya, peserta itu mendekati Mahen perlahan dan duduk di dekat batang pohon yang tadi diduduki Mahen. “Kenapa?” Begitu tanya Mahen saat ia ikuti duduk menghadap peserta itu. “Pagi ini aku sudah bertarung dengan dua peserta, satu berhasil aku bunuh dan satunya kabur setelah berhasil membuatku tak sadar,” ujar peserta itu, “Oh iya, aku Alta dari Provinsi ke-20 kota Tios.” Mendengar perkenalan singkat dari peserta bernama Alta itu Mahen belum bereaksi, tapi Alta terlihat begitru baik meskipun ia baru saja mengatkan telah melawan dua peserta dalam pagi ini. “Aku Mahen, Mahen Dailos provinsi ke-19 kota Lidor,” kata Mahen memperkenal dirinya. Provinsi ke-19 dan ke-20 adalah dua provinsi dalam satu pulau diluar  negara Linkton, dan satu-satunya pulau terbesar berpenghuni. Keduanya adalah pulau paling makmur dengan masing-masing lima kota tanpa memiliki distrik, kedua provinsi itu hanya dihubungkan oleh jalan-jalan, dan tak ada warga desa. “Keluarga Dailos, dokter paling terkenal hampir diseluruh Linkton?” tanya Alta antusias ketika mendengar bahwa Mahen adalah keluarga Dailos yang tak lain anak Martin Dailos. Mendengar pertanyaan Alta, Mahen mengangguk. Semua orang mengenal siapa itu keluarga Dailos, keluarga kaya raya yang terkenal karena memiliki garis keturunan seorang dokter hebat. Buyut, kakek, ayah serta kedua kakak lelaki Mahen adalah seorang dokter dan salah satu anggota menteri kesehatan. Namun, meskipun terkenal sebagai anggota keluarga dokter, Mahen sedikitpun tak berniat mengikuti jejak keluarganya. Ia ingin mewujudkan cita-citanya menjadi seorang arsitrektur, tapi keluarganya tak pernah menerima itu, bahkan ayahnya sangat membenci saat Mahen mulai melukis. Martin ingin Mahen meneruskan tradisi yang selama ini mengakar di keluarganya, yakni menjadi dokter, menurut Martin menjadi dokter adalah sesuatu tanggungjawab yang besar, selain itu dokter juga bisa berguna untuk orang lain. Namun, Mahen tak pernah setuju soal itu. Ia tak menyukai itu, bahkan ia serasa mual jika melihat darah dan jarum suntik, keluarganya kecuali ibunya seakan tak peduli. Dari situlah Mahen ingin seklai membuktikan pada mereka bahwa ia akan berhasil jika suatu saat menjadi arsitek, bahkan ia tak berniat meminta pertolongan pada ayahnya saat hendak mengikuti ujian. Kedua kakak laki-lakinya, Bob dan Gia Dailos dibantu sang ayah agar tak perlu mengikuti ujian, pemerintah setuju karena keduanya anak dari seorang dokter hebat. Tapi, Mahen menolak hal itu, ia yakin bisa lulus ujian itu dengan tangannya sendiri. Bayangan keluarganya membuat Mahen kadang tak nyaman, banyak dari panitia ujian maupun pemerintah yang berada disana kadangan menyindir dan menyayangkan dirinya untuk mengikuti ujian, karena menurut mereka itu adalah pilihan yang salah. Semua orang tahu bahwa mengikuti ujian kelulusan adalah sebuah pilihan untuk mati dan memudahkan ajal untuk menjemputnya. Namun, Mahen tak peduli ia hanya ingin membuktikan  bahwa ia bukan anak cengeng yang hanya bisa bersembunyi di balik ketiak sang ayah. Ia ingin menjadi apa yang ia mau. “Aku belum pernah ke Tios, apa yang ada di sana?” tanya Mahen pada Alta, membalas sikap ramah Alta padanya. Kemudian Alta menjawab pertanyaan Mahen itu menceritakan kota Tios, kota indah dibawah perbukitan dan dekat dengan laut. Mahen mendengar dengan seksama seolah ia terkesima dengan apa yang dikisahkan Alta. Dalam waktu singkat keduanya bisa begitu akrab, seperti sudah kenal cukup lama, padahal tak lebih dari sepuluh menit. Mahen tak pernah sebegitu antusias mendengar seseorang bercerita, karena selama ini ia merasa kurang memiliki teman, ayahnya melarangnya untuk berteman dengan orang asing yang tak memiliki strata yang sama dengan keluarga Dalios. Namun, dibalik rasa bahagia Alta, ia sebenarnya hanya anak seorang duda miskin di kota Tios. Gustaf Rion ayah dari Alta hanyalah seorang pekerja serabutan dengan gaji kecil, sang ibu meninggalkan mereka berdua karena merasa tak bertah hidup miskin, saat itu Alta masih berusia lima tahun. Selama 13 tahun Gustaf menghidupi anaknya sendiri dengan senyum bahagia, tapi dua tahun terakhir Gustaf berada di dalam penjara karena ikut mengedarkan obat-obatan terlarang. Sejak saat itu Alta hidup sendiri dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya juga sendiri. Lalu beberapa bulan sebelum ujian, pemerintah menjanjikan hadiah dan pekerjaan bagi siapa saja yang lulus ujian sekolah nanti. Alta mengikuti ujian itu agar bisa menebus ayahnya yang berada di dalam penjara, karena itu juga alasan Alta masih bertahan sampai saat ini. Namun, beberapa menit lalu ia merasa lelah melakukan semua itu, ia merasa tak nyaman saat melakukan pembunuhan dan penyerangan. Maka dari itu saat bertemu dengan Mahen itu menyerah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN