01

1435 Kata
Lebih dari setengah populasi dunia menghilang akibat wabah EP-25. Wabah mematikan yang menyerang manusia maupun hewan dalam waktu hitungan jam, tidak memandang usia dan rentan hidup. Pandemi yang awalnya di anggap sebagai penyakit biasa melumpuhkan segalanya, bertahan hingga dua tahun lamanya. Dunia mengalami krisis pangan dan hampir perekonomian setiap negara di dunia anjlok seketika. Proteksionisme yang awalnya di gadang-gadang menjadi era baru yang bisa membangun setiap negara, nyatanya tidak bisa berbuat apa-apa. Negara kecil harus memutuskan rantai kedaulatannya, menyerahkan diri pada negara adidaya dan besar. Setelah tahun 2030, masa terburuk dunia bagi umat manusia berangsur-anggur malah menjadi kejahatan global yang dianggap biasa, negara mencari kekuasaan untuk sekedar makan dan membutuhkan kehidupan. Penjajahan negara dan perang kembali pecah, setiap negara besar dan kecil ingin menguasai satu sama lain. Amerika, Rusia, China, negara-negara bagian Eropa, perkumpulan negara timur tengah, negara di wilayah timur, saling berebut untuk hidup, perang saudara dan pecah negara menjadi bagian terkecil. Afrika yang hampir setengah negara bagiannya miskin lebih dulu hancur tanpa sisa, akibat black market yang ilegal dan kini daratannya kosong. Sementara negara kecil di lepas laut pasifik hilang karena gelombang akibat bom antara benua yang memecah laut. Tahun 2040 perang perlahan berhenti, banyak yang melakukan genjatan senjata dan menyerahkan diri sebab tak lagi ada pasokan yang mencukupi, baik pangan maupun amunisi senjata. Namun akhir perang bukanlah akhir bahagia layaknya dongeng. Bumi nampak tandus, akibat gempuran senjata, lapisan ozon kotor sebab radiasi dari bom. Mencari makan begitu sulit, banyak manusia yang mati kelaparan. Tanpa pekerjaan dan tak bisa bekerja. 2050, dua puluh tahun setelah perang benar-benar usai. Bumi kembali berbeda, peradaban baru kembali di buka. Sebuah negara adidaya dan terbesar pertama bernama Linkton memulai debutnya. Hanya ada satu negara dengan satu sistem pemerintahan kepresidenan. Dengan empat puluh provinsi. Penduduk Linkton hanya tersisa jutaan, negara melarang penduduk memiliki anak lebih dari satu orang agar krisis tak kembali terjadi. Mereka juga di batasi untuk hidup dan bekerja. Dan untuk menyusutkan penduduk ketahap terkecil game mematikan setiap tahun di mulai. Anak-anak yang berusia delapan belas tahun harus menghadapi ujian kematian untuk mendapatkan pekerjaan dan gaji. Hanya di butuhkan satu orang setiap sekolah persemester dan satu orang perprovinsi pertahun. *** Capital City, Linkton Tahun 30 NE   Peter Andreas keluar dari gedung kantor kependudukan yang berada di pusat kota tak jauh dari tempat tinggalnya. Dengan mata tajam dia terus melihat kartu tanda penduduknya yang baru saat dia dapatkan setelah genap berusia delapan belas tahun. Andreas berulang kali meneguk ludahnya, itu bukan kartu penduduk tapi lebih pada tiket menuju kematian. Dia dan mungkin beberapa anak yang baru saja keluar dari sana, sudah melihat gerbang akhirat serasa terbuka di depan mata. Bagaimana tidak, setelah ini mereka akan melakukan ujian sekolah yang tak biasa hanya untuk mendapatkan pekerjaan dan hidup yang makmur. Setelah lelah menatap kartu menakutkan itu Andreas hendak memasukkannya kedalam satu celana, tapi dari samping seorang bocah gembul dengan kedua temannya tak sengaja menabrak Andreas. Membuat kartu miliknya terlempar jatuh. "Matamu kemana?!" ujar bocah gembul itu sedikit meninggi, hendak membentak Andreas tapi menahannya. "Kau yang menabrakku tadi," ucap Andreas tanpa melihat bocah itu karena sibuk mencari kartunya. Setelah Andreas melihat, dia berniat mengambil tapi kartunya lebih dulu di ambil salah satu teman bocah itu yang memakai topi. "Ken, lihat ini. Anak ini sudah memiliki CP (Card Personal)," kata bocah bertopi itu menunjukkan CP Andreas pada bocah gembul yang di panggil Ken tadi. Ken mengambil kartu milik Andreas dari tangan Toni dengan kasar, di perhatikannya kartu itu melihat dengan detail dari nama dan tempat tinggal, setelah itu bibir kanan Ken mengungging senyum mengejek seolah mendapat permainan baru. "S.t 13 Block Timur, kau anak yatim piatu?" ucap Ken sambil mengejek Andreas, setelah mengetahui bahwa Andreas tinggal di blok timur jalan 13 yang mana di kenal sebagai tempat penampung anak-anak terlantar dan orang miskin. "Berikan kartuku," kata Andreas tak berniat menjawab pertanyaan Ken. "Kau mau kartu ini? Jawab dulu pertanyaaku. Bagaimana anak yatim piatu bisa mendapatkan CP, kau bahkan tak mungkin mampu sekolah?" "Aku sekolah, di Briana High School," setelah mengucapkan itu Andreas menarik kartu miliknya dari tangan Ken, kemudian berjalan berlalu pergi dari hadapan ketiga anak itu. "Hei anak terlantar! Dengarkan! Namaku Ken Amarazi, aku satu sekolah denganmu dan akan menjadi musuh ujianmu!" teriak Ken begitu kencang. Sementara Andreas tak peduli, di tutupnya telinga dan kepalanya dengan penutup kepala dari jaket kulitnya. Hari itu, adalah hari-hari terakhir di musim dingin, musim dingin yang terjadi begitu ekstrim sejak beberapa tahun terakhir, akibat global world yang mencekam. Andreas yang awalnya tak berniat keluar di paksa mengambil kartu, karena jika tak dia ambil dia di anggap tak memiliki bukti kependudukan dan akan di asingkan dari Linkton, sesuatu hal yang paling menakutkan bagi masyarakat Linkton. Andreas berjalan menyusuri jalanan berdebu yang tak begitu terawat, berbaur dengan kendaraan beroda berbahan dasar minyak bumi yang penuh racun. Sejak tiga puluh tahun, sejak awal terbentuknya Linkton tak banyak perubahan dari sisi tekonologi. Pasca-apokaliptik, seperti kembali pada masa manusia belum begitu mengenal peradaban megah. Linkton yang menjadi satu-satunya negara yang berdiri pun hanya seperti sebuah daratan penuh manusia tanpa tersentuh peta, karena sebagian daratannya kosong, hanya ada 40 provinsi miskin yang beberapa saja dari mereka menjadi pusat kota maju, kecuali Capital City sebagai ibukotanya. Andreas berjalan menyusuri gang sempit di blok timur saat masuk jalan 13, di jalan itu banyak rumah kumuh dan tempat bagi anak-anak terlantar, dan di sana Andreas tinggal, di sebuah panti asuhan milik pemerintah yang di kini di pegang seorang perempuan tua berusia antara 50 sampai 60 tahun yang biasa di pinggal mama panti atau mama Aksar. "Andreas pulang," ujar Andreas setelah menutup pintu depan, lalu menaruh pakaiannya di gantungan jaket yang tak jauh drai pintu itu. "Andreas!" teriak beberapa anak panti bersamaan, sekitar enam orang dari mereka yang memiliki usia di bawahnya. "Andreas, bagaiamana? Kau sudah mendapatkan kartumu?" tanya seorang gadis dengan rambut hitam, tahun depan dia juga akan mendapatkan kartu. "Lihat, Jaen," Andreas menunjukkan kartunya yang sempat dia keluarkan dari saku celana. "Aku begitu tampan di kartuku." Andreas membanggakan wajah menawannya terekspos bagus di sana, Jaen gadis itu dan kelima anak lainnya memperhatikannya, setelahnya mata mereka mulai berkaca-kaca karena merasa sedih, sebab setelah mendapatkan kartu itu Andreas di paksa keluar dari panti asuhan. "Andreas!" teriak lirik seorang anak kecil bernama Mark, usianya masih sekitar enam tahun. Mark menangis tersendu sambil memeluk kaki Andreas. "Mark, kenapa kau menangis?" tanya Andreas sambil menggoyangkan pelan kakinya agar Mark menjauh. Tapi, tangis Mark malah semakin kencang. "Bodoh," kata Jean sambil memukul pelan lengan Andreas, hampir saja air mata Jean menetes tapi lebih dulu di tahan dengan bawah telapak tangannya. "Aku berharap ini bukan kartu terakhirmu." "Aku juga berharap begitu," ucap Andreas datar, meskipun sebenarnya ia ikut cemas dengan nasibnya setelah keluar dari panti asuhan ini. "Jean, setelah aku tidak ada nanti biasakan bantu Mama memasak, ya. Rubi dan Rabi (anak kembar) jangan bertengkar, Mark jaga Petis karena dia masih terlalu kecil, dan Ron kamu anak laki-laki paling tua setelah aku keluar nanti, aku berharap kamu biasa jaga semuanya." Anak laki-laki yang di panggil Ron tadi mengangguk, umur Ron masih 14 tahun, dia duduk di bangku SMP. Meskipun lebih muda dari Andreas tapi tubuhnya lebih besar, sebab hobinya yang berolaharaga dan bekerja. "Cukup acara bersedihnya," ucap seorang wanita keluar dari salah satu pintu yang membuat anak-anak terdiam sesaat. "Mama ingin bicara dengan Andreas." "Kalian bermainlah, setelah selesai dengan Mama, aku akan menyusul," ujar Andreas, melepaskan pelukan Mark, lalu berjalan menuju sang mama. Keenam anak itu masih menatap Andreas yang sudah masuk kedalam ruangan sang mama, kemudian Jean menarik satu persatu tubuh adik-adiknya, mengajak mereka bermain untuk melupakan sebentar masalah Andreas yang akan pergi lusa. Sesampainya di taman belakang, beberapa anak panti lainnya di tambah keempat anak tadi sedang asyik bermain dengan sikap anak-anak mereka yang tanpa beban sedikitpun, sementara Ron duduk di pojok sambil termenung. Jean yang melihat Ron mendekati, seolah tahu apa yang sedang di pikirkan adik lelakinya itu. Ron menyadari kehadiran Jean, membiarkannya duduk disebelahnya lalu menatap wajah Jean lekat-lekat. "Apa kau yakin Andreas akan lulus ujian sekolah?" ucap Ron pelan, kini memalingkan wajahnya pada anak-anak yang sedang bermain. "Kenapa? Kau tak yakin dengan kemampuan Andreas?" tanya Jean. Ron mengangguk. "Aku tak tahu harus mengatakan apa, tapi Andreas tak pandai berkelahi, meskipun dia selalu saja menjaga kita." "Ron, kau ingat julukan yang di berikan orang-orang pada Andreas? Dia adalah si anak beruntung, mungkin dia tak pandai berkelahi, tapi keberuntungannya akan membawanya pada nasib baik," ucap Jean. Ron mendengarkan ucapan Jean, meskipun begitu dia tak ingin menanggapi, masih ada perasaan khawatir pada Andreas. Memang di lihat dari segimanapun Andreas selalu beruntung, selain itu dia juga pandai hingga mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk sekolah di sekolah mahal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN