Namun, meskipun terkenal sebagai anggota keluarga dokter, Mahen sedikitpun tak berniat mengikuti jejak keluarganya. Ia ingin mewujudkan cita-citanya menjadi seorang arsitrektur, tapi keluarganya tak pernah menerima itu, bahkan ayahnya sangat membenci saat Mahen mulai melukis.
Martin ingin Mahen meneruskan tradisi yang selama ini mengakar di keluarganya, yakni menjadi dokter, menurut Martin menjadi dokter adalah sesuatu tanggungjawab yang besar, selain itu dokter juga bisa berguna untuk orang lain.
Namun, Mahen tak pernah setuju soal itu. Ia tak menyukai itu, bahkan ia serasa mual jika melihat darah dan jarum suntik, keluarganya kecuali ibunya seakan tak peduli.
Dari situlah Mahen ingin seklai membuktikan pada mereka bahwa ia akan berhasil jika suatu saat menjadi arsitek, bahkan ia tak berniat meminta pertolongan pada ayahnya saat hendak mengikuti ujian.
Kedua kakak laki-lakinya, Bob dan Gia Dailos dibantu sang ayah agar tak perlu mengikuti ujian, pemerintah setuju karena keduanya anak dari seorang dokter hebat. Tapi, Mahen menolak hal itu, ia yakin bisa lulus ujian itu dengan tangannya sendiri.
Bayangan keluarganya membuat Mahen kadang tak nyaman, banyak dari panitia ujian maupun pemerintah yang berada disana kadangan menyindir dan menyayangkan dirinya untuk mengikuti ujian, karena menurut mereka itu adalah pilihan yang salah.
Semua orang tahu bahwa mengikuti ujian kelulusan adalah sebuah pilihan untuk mati dan memudahkan ajal untuk menjemputnya. Namun, Mahen tak peduli ia hanya ingin membuktikan bahwa ia bukan anak cengeng yang hanya bisa bersembunyi di balik ketiak sang ayah.
Ia ingin menjadi apa yang ia mau.
“Aku belum pernah ke Tios, apa yang ada di sana?” tanya Mahen pada Alta, membalas sikap ramah Alta padanya.
Kemudian Alta menjawab pertanyaan Mahen itu menceritakan kota Tios, kota indah dibawah perbukitan dan dekat dengan laut. Mahen mendengar dengan seksama seolah ia terkesima dengan apa yang dikisahkan Alta.
Dalam waktu singkat keduanya bisa begitu akrab, seperti sudah kenal cukup lama, padahal tak lebih dari sepuluh menit.
Mahen tak pernah sebegitu antusias mendengar seseorang bercerita, karena selama ini ia merasa kurang memiliki teman, ayahnya melarangnya untuk berteman dengan orang asing yang tak memiliki strata yang sama dengan keluarga Dalios.
Namun, dibalik rasa bahagia Alta, ia sebenarnya hanya anak seorang duda miskin di kota Tios. Gustaf Rion ayah dari Alta hanyalah seorang pekerja serabutan dengan gaji kecil, sang ibu meninggalkan mereka berdua karena merasa tak bertah hidup miskin, saat itu Alta masih berusia lima tahun.
Selama 13 tahun Gustaf menghidupi anaknya sendiri dengan senyum bahagia, tapi dua tahun terakhir Gustaf berada di dalam penjara karena ikut mengedarkan obat-obatan terlarang. Sejak saat itu Alta hidup sendiri dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya juga sendiri.
Lalu beberapa bulan sebelum ujian, pemerintah menjanjikan hadiah dan pekerjaan bagi siapa saja yang lulus ujian sekolah nanti. Alta mengikuti ujian itu agar bisa menebus ayahnya yang berada di dalam penjara, karena itu juga alasan Alta masih bertahan sampai saat ini.
Namun, beberapa menit lalu ia merasa lelah melakukan semua itu, ia merasa tak nyaman saat melakukan pembunuhan dan penyerangan. Maka dari itu saat bertemu dengan Mahen itu menyerah.
Empat hari ia sudah banyak melukai orang, ada peserta laki-laki maupun perempuan. Ia seperti seorang pembunuh handal yang berbakat, padahal sang ayah melarang melakukan kekerasan pada siapapun. Tapi ia tak bisa menolak.
“Aku tak ingin melakukan pembunuhan lagi,” ujar Alta setelah lama terdiam.
“Kenapa?” tanya Mahen seperti reaksinya tadi.
“Aku merasa seperti seorang pembunuh berantai,” kata Alta.
“Tapi, jika kau tak membunuh kau akan dibunuh, Alta,”
“Kau mau membunuhku? Jika iya lakukan saja saat ini,” mendengar ucapan dari Alta itu Mahen hanya menggelengkan kepalanya.
Mahen tak tahu harus bereaksi apa, sebenarnya ia juga sudah lelah dengan permainan mengerikan yang bertema ujian sekolah ini.
Setelah berdiam lama, akhirnya keduanya memutuskan untuk menjalani ujian itu bersama. Dengan rute peta yang sama. Hal itu tak melanggar aturan ujian karena akhirnya hanya akan dipilih satu peserta saja yang lulus dan mendaptak pemenangnya. Dialah pemilik lencana naga.
***
Ketika Mahen membuat tim bersama Alta, Luis masih berjalan seorang diri. Sudah satu hari dari pertemuannya dengan pemuda bernama Jagur yang ia kalahkan itu. Memang tidak mudah mengalahkan Jagur, tapi juga tidak begitu sulit.
Luis awalnya berpikir bahwa mungkin seorang anak dari provinsi miskin memiliki hidup yang keras, tapi ternyata tidak begitu. Jagur bertarung sekuat tenaga entah karena memang sebelumnya ia kelelahan atau bagaimana.
Luis juga tak banyak berlatih, ataupun memiliki ilmu beladiri yang baik, ia hanya belajar otodidak dari apa yang pernah ia lihat dan dengar, bahkan selama dua minggu di asrama teman satu asramanya mengajarinya.
Begitu juga dengan Andreas, Andreas malah terlihat tak bisa melakukan apapun, pemuda itu begitu pasif ketika berlatrih dan karantina, selalu mengalah dan diam. Luis berharap bisa bertemu dengan Andreas kini.
Andreas sudah sangat dekat dengan Luis, ingin rasanya mereka membentuk satu tim dan mealkukan perjalanan bersama. Sayangnya, mereka tak pernah dipertemukan.
Saat Luis memikirkan hal itu, seseorang melempar kepalannya dengan ranting kayu dari atas, Luis memang kepalanya lalu menoleh kearah atas dimana si melepar itu melakukannya. Kini Luis melihat seorang pemuda yang memiliki usia sama dengannya tengah duduk di dahan pohon yang cukup besar, sambil menatap mengejk kearah Luis.
Luis geram melihat ting pemuda itu.
“Turun kau! Kurang ajar!” seru Luis pada pemuda itu yang masih duduk begitu nyaman diatas sana.
“Namaku Toni Ludres, aku sedang bosan saat ini, hibur aku sedikit,” ujar pemuda yang mengaku bernama Toni.
“Menghiburmu? Aku bukan badut sirkus atau pelawak televisi,” kata Luis.
Kemudian Toni melompat dari dahan pohon tinggi itu tepat berada di depan Luis, Luis sedikit kaget dan mundur kebelakang. Kini Troni yang memegang pedang di atas pundaknya itu menatap Luis masih dengan tatapan menjengkelkan.
“Kalau kau tak bisa menghiburku kenapa kau berada di sini?!” seru Toni sambil mengarahkan pedangnya kini kehadapan Luis.
Luis bersiap, kini ia mengeluarkan sticknya dan menunggu reaksi Toni selanjutnya. Jika saat ini Toni bisa menghilangkan rasa bosannya seperti yang juga Toni inginkan mungkin itu lebih mudah.
“Aku bisa menghiburmu, tapi bertarunglah denganku dulu,” ujar Luis menantang seolah ia yakin dengan apa yang ia katakan, ia yakin bisa menang melawan anak sombong itu.
“Kau menantangku? Sudah lebih dari enam orang peserta yang aku bunuh, jika kau tak kenal keluar Ludres dari kota Ciandis maka cari tahu lah!” setelah mengucapkan itu Toni kemudian menyerang Luis dengan pedangnya secara terarah dan presisi.