“Mama memang khawatir, tapi Mama yakin kamu akan lulus ujian itu, mendapatkan pekerjaan dan membuat adik-adikmu bangga.”
Begitu yang Andreas ingat saat sang mama memanggilnya untuk berbincang tadi, mama Aksar banyak memberikannya pemahaman tentang permainan itu, selain itu sang mama juga memberikannya obat-obatan jika Andreas membutuhkannya nanti.
Kini Andreas sudah berada di kamar tidur pantinya yang tediri dari lima ranjang tersusun. Membereskan pakaiannya untuk dia masukkan kedalam tas yang akan dia bawa saat pergi karantina dua minggu sebelum ujian nanti.
“Andreas, kau belum tidur?” tanya Ron sambil mengusap matanya karena begitu mengantuk, saat tidur itulah telinganya terganggu oleh suara yang ditimbulkan Andreas.
“Ron, kenapa kau terbangun? Apa aku menganggumu?” tanya balik Andreas menyadari bahwa Ron kini duduk di atas ranjangnya.
“Sedikit. Badanku sedang tidak enak, jadi aku terus terbangun,” ucap Ron.
“Kau sakit? Aku ambilkan obat dulu, mungkin kau terlalu banyak bekerja. Maaf aku sibuk sekolah, hingga lupa membantumu.”
“Ehm..” Ron menggumam sambil menggeleng. “ Tidak perlu obat. Aku sakit karena khawatir, sebab kau akan pergi besok lusa.”
“Tenang Ron, aku pasti akan baik-baik saja dan bisa lulus ujian nanti,” ujar Andreas berusah membuat Ron tenang. “Jika aku lulus dan bisa bekerja di kantor pemerintahan, aku janji akan buat panti asuhan ini jadi lebih baik.”
“Aku tunggu janjimu, jikapun kau lulus dan tak menepatinya, aku akan mencarimu dan akan menghajarmu.” Ron menyulas senyum sambil menepuk pelan lengan kiri Andreas, mereka tidur bersebelahan.
Kemudian Ron merebahkan tubuhnya kembali lalu menarik selimut, mencoba memejamkan matanya, meskipun sangat sulit.
Bayang-bayang akan kehilangan Andreas membuatnya khawatir serta takut jika Andreas tak lulus ujian itu. Andreas sejak kecil selalu menjadi idolanya dalam banyak hal, terkecuali olahraga, karena Andreas sedikit payah dalam hal itu.
Berulang kali Ron memperhatikan Andreas yang kini sudah memejamkan matanya, meskipun Jean bilang bahwa dia yakin Andreas tetap menjadi anak beruntung, tapi keburuntungan Andreas itu malah bisa menjadi petaka buruk nantinya.
Ron tahu, Jean juga sebenarnya khawatir dan tak ingin Andreas pergi, karena Jean menyukai Andreas secara diam-diam, hanya saja Jean tak pernah mengungkapkannya. Andreas hanya menganggap Jean sebagai adik yang sama-sama tumbuh di panti asuhan, tanpa memendam perasaan apapun.
Andreas terlalu sibuk memikirkan sekolah dan kehidupan adik-adiknya sampai tak ingat bawah dia seorang remaja yang mulai tumbuh dan seharusnya mengenal apa itu cinta, perasaan yang layak di miliki anak seusianya. Tapi, Andreas berbeda. Dia tak acuh dengan apa yang dilakukan teman-temannya.
Ron pernah bertanya, apa Andreas tak ingin memiliki kekasih? Andreas mengatakan bahwa dia anak paling pendiam di kelas, bahkan dia tak tahu nama temannya yang duduk di bangku depannya. Karena itulah dia tak begitu mengenal perempuan.
Disamping rasa khawatir yang terus menakutkan, Ron sesekali teringat hal-hal lucu bersama Andreas, sikap Andreas yang nampak dewasa, selalu membuat suasana panti terlihat damai dan tenang, tapi saat mereka berada di luar panti, Andreas bisa berubah menjadi kakak yang benar-benar peduli tapi juga pendiam.
Dimalam yang sama, di sebuah rumah yang berada di jalan 12, tepat di samping kantor pemerintahan, Ken mengendap-endap masuk kedalam rumahnya. Pelan sekali dia menginjak lantai kayu itu, dia tak ingin menimbulan suara apapun.
Namun, saat dia hampir menaiki tangga kamarnya, seseorang keluar dari kamar bawah. Ayahnya menyalakan lampu, menatap Ken yang juga menatapnya, lalu mendekati Ken setengah berburu.
Ken meneguk air liru berulang kali, berusaha pergi secepat mungkin, tapi tangannya sudah di raih sang ayah. Dibantingnya tubu gembul Ken kelantai, lalu ditariknya bagian rahang bawah.
“Anak tak tahu diri, dari mana kau semalam ini?!” ucap sang ayah sedikit meninggi, bau alkohol menyeruak, masuk kedalam lubang pernapasan Ken. Ayahnya baru saja selesai mabuk di kamar. Ken tak ingin menjawab, karena seperti apapun jawabannya dalam keadaan itu sang ayah akan tetap menghajarnya. “Jawab aku anak sialan!”
Cengkaram tangan ayahnya mengendur, lalu dengan perlahan tubuh sang ayah jatuh kebelakangan, jatuh pingsan. Melihat hal itu Ken bergegas naik kekamarnya, mengambil pakaiannya dan memasukkannya kedalam tas.
Setelah Ken merasa cukup, Ken kembali berjalan keluar kamar, ayahnya masih di tempat yang sama tak bergerak seperti orang mati. Dia keluar rumah itu, tujuannya menginap di rumah Toni ataupun Reka.
Sejak kematian ibunya, sang ayah menjadi pecandu alkohol padahal hidup mereka susah. Jika dalam keadaan mabuk, dia sering sekali melampiasan kekesalan pada Ken, membuat Ken mengenal rasa sakit sejak kecil.
Kini Ken sudah berada di luar, menyusuri jalanan Capital City yang penuh dengan lampu-lampu terang dari gedung pencakar langit di pusat pemerintahan. Ken harus cepat sampai kerumah salah satu temannya, karena semakin malam jalanan kota tak baik untuknya.
***
Rasanya baru beberapa jam lalu Andreas mendapatkan kartu penduduknya, kini dia sudah berada di dalam kereta selepas melambaikan tangan pada sang mama dan adik-adiknya di panti asuhan.
Perjalanan menuju tempat karantina yang berada di ujung provinsi tidaklah jauh, tapi jika dia berjalan kaki itu tidak mungkin. Ada tiga puluh menit sebelum kereta berhenti di salah satu stasiun, lalu dia harus berjalan dari stasiun ketempat karantina.
“Tempat ini kosong?” tanya salah seorang remaja seusianya menunjuk kursi yang berada di depan Andreas.
“Iya, tempat itu kosong,”ucap Andreas pada remaja itu, setelah itu si remaja duduk di depan Andreas, Andreas kembali terdiam.
Remaja jangkung itu terus memperhatikan Andreas dari ujung-keujung tubuhnya, sementara Andreas menatap deretan rumah yang terlewati kereta.
“Kau mau pergi ke karantina?” tanya remaja itu lagi, Andreas merespon lalu mengangguk. “Aku Tufa, dari Bones (Bons) City.”
Andreas meraih tangan Tufa saat mencoba berkenalan. “Aku Andreas, tak jauh tinggal disini. Kau kenapa naik kereta ini?”
“Di Bones tak ada kereta, dan stasiun terdekat hanya ada disini. Kau dari sekolah apa? Kenapa tak memakai seragammu?”
“Aku dari Briana High School. Aku sengaja menyimpan seragamku di dalam tas.”
Tufa mengangguk, tak kembali mengajak Andreas berbicara. Tufa merasa canggung saat tahu Andreas bersekolah di Briana yang tak lain sekolah para orang terhormat, Tufa berpikir Andreas salah satu dari mereka.
Tak berapa lama kereta itu berhenti di salah satu stasiun tak jauh dari tempat karantina, Andreas tak lagi melihat Tufa saat sampai di luar kereta. Setelah itu Andreas berjalan, dari rute yang dia dapatkan, tempat karantika hanya beberapa ratus meter dari sana. Karena tak ingin membuang uangnya untuk menggunakan taksi terpaksa Andreas berjalan kaki.
Sambil menikmati suasana ujung kota, Andreas mengambil gambar dari sebuah kamera yang diberikan Jean padanya. Jean meminta agar Andreas menghadiahkannya banyak gambar saat mengunjungi panti nanti.
Kini dari ujung matanya, tak jauh di seberang jalan terlihat gedung karantina, setelah menyusuri jalan, Andreas ikut mengantri pada anak-anak yang sudah ada disana lebih dulu. Mereka akan mendapatkan nomor dan tanda pengenal selama masa karantina.
Andreas memperhatikan ada banyak sekali anak-anak yang mungkin ada sekitar lebih dari 60 orang, dari masing-masing sekolah. Provinsinya memang memiliki sedikit sekolah, hal itu yang membuat ujian tahun ini tak banyak diikuti peserta.
“Kartumu,” ujar seorang lelaki dengan seragamnya militernya pada Andreas saat sampai gilirannya.
Andreas mengeluarkan kartunya, lalu laki-laki itu menyalin cip milik Andreas dan memberikannya nomor hologram. Andreas mendapatkan 24 ruangan B, di gedung dua lantai tiga.