28

1469 Kata
Ketika malam tiba, Luis berada di sebuah bantaran sungai yang kecil dengan luas sekitar 10n meter. Ia berhenti disana untuk menikmati udara sungai malam hari. Ia menarik napas perlahan setelah kabur dari Toni tadi. Luis duduk di dekat sungai setelah membasuh wajah dan tangannya, ingin rasanya ia mandi tapi ia urungkan. Luka cedera akibat jegalan kaki Toni masih terasa nyeri baginya, tulang kakinya terasa terkilir, untung saja ia bisa lolos dalam keadaan seperti itru, jika tidak mungkin saat ini ia sudah mati terbujur kaku dengan darah dari bekas pedang Toni. Pemuda itu memang sangat gila, kekuataanya setara dengan pria dewasa, kata-katanya tak main-main, padahal Luis pikir Toni hanya menggertak saja tapi ternyata tidak. Toni memang pandai bertarung, bahkan jika Toni tak menggunakan senjata mungkin akan dengan mudah ia mengalahkan Luis. Luis yang awalnya menganggap remeh Toni malah serasa dipermalukan, rasanya kesal juga sakit. Kini Luis membuka celananya sampai batas lutut dan memprogram obat krim untuk kulitnya, setelah selesai ia mengurut dan memijit perlahan luka dalam itu, berharap akan cepat sembuh dalam waktu dekat. Memang esok ia bisa beristirahat karena waktu jeda, tapi ia tak ingin teurs-terusan bersada di sana, bagaiaman jika sampai Toni sadar dan mencarinya? Pasti ia tak segan-segan membunuh Luis. “Ternyata ada orang di sini,” ujar sebuah suara dari arah belakang, Lusi menoleh dan mendapati seorang perempuan berambut pendek dengan senjata sebuah panah. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Luis begitu melihat orang lain di sana, ia kemudian menutup pakaiannya dan bersiap mengambil sticknya. Perempuan yang tak lain Shin itu berjalan menuju Luis, ia tak merespon gerakan aneh Luis yang terlihat bingung serta ketakutan. “Aku hanya sedang lewat saja, dan aku lihat ada sungai,” kata Shin yang saat ini berada tak jauh dari Luis. Shin mengambil beberapa air untuk membasuh mukanya. “Aku tak akan menyerang, lagi pula sekarang waktu jeda jika kita bertarung kita bisa di diskualifikasi.” Mendengar ucapan Shin itu akhirnya Luis menurunkan senjatanya dan kemudian menaruh tempatnya lagi, kakinya tiba-tiba saja terasa sakit. Lalu ia kembali duduk dan memberikan obat dengan pijitan perlahan. Ketika Shin melihat Luis terluka, Shin mengingat Andreas, di dekat sungai juga ia bertemu dengannya, tapi kini ia tak tahu kenapa Andreas pergi. “Kau terluka?” tanya Shin, mendengar pertanyaan dari Shin Luis hanya melihat sesaat. “Baik lah. Namaku Shin, namamu?” Setelah selesai memijit kakinya, Luis merespon Shin perlahan. “Aku Luis,” kata Luis singkat, tumben sekali ia terlihat cuek dengan seorang perempuan, biasanya ia begitu dan tebar pesona. “Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini malam-malam?” “Aku sedang mencari tempat beristirah, tak sengaja melihat sungai,” ujar Shin. “Melihatmu aku teringat seorang peserta pria yang ia juga terluka di sungai, mungkin aliran dari sungai ini.” “Oh iya, siapa nama peserta itu?” “Kalau tidak salah Andreas dari Capital City,” kata Shin. “Apa Andreas?!” seru Luis begitu antusias setelah mendengarkan nama Andreas, akhirnya ia bisa mendengar nama itu setelah sekian lama. “I... iya, apa kau mengenalnya?” “Dia temanku, satu asrama. Ceritakan padaku apa yang terjadi padanya.” Luis semakin antusias. Mendengar keinginan Luis itu kemudian Shin menceritakan apa yang terjadi, saat pertama kali ia bertemu dengan Andreas saat itu ia terluka akibatr bertarung dengan harimau besar, lalu ketika pertemuan kedunya Andreas membunuh seorang peserta lainnya. “Ternyata dia sehebat itu,” kata Lusi memotong pembicaraan Shin. Shin mengangangguk, setelah selesai membersihkan diri Shin mengatakan akan pergi dari sana dan meninggalkan Luis sendiri. Setelah Shin pergi, Luis masih memikirkan tentang Andreas, ternyata Andreas bisa bertahan dengan melakukan hal yang selama ini terlihat tak bisa ia lakukan. Setelah mengetahui kabar Andreas, kini Luis berharap juga yang terbaik untuk Alisa, ia ingin melihatr Alisa bebas dan lulus ujian itu. *** Pagi hari berlangsung lebih tenang, para peserta tak tergesa-gesa melihat peta untuk rute selanjutnya. Hari kelima mereka terlihat lebih damai dari biasanya, tak seperti hari-hari biasanya. Mahen dan Alta juga sudah bangun saat itu, Mahen melihat jam yang berada di tanda pengenalnya, seharusnya saat itu matahri sudah mulai terik, tapi kenapa tak sedikitpun cahayanya menembus masuk goa yang mereka tinggali. “Al bangun, Alta!” seru Mahen pada Alta yang masih tertidur. Alta mencoba mendengarkan seruan Mahen, lalu membangunkan dirinya. Ia duduk sambil seseklai menguap dan mengucek matanya dengan jari-jari tangan. “Kenapa? Sudah siang ya?” tanya Alta sambil merentangkan otot-otot tubuhnya yang kaku akibat tidur diatas batuan goa. “Seharusnya sudah, tapi kamu lihat tak da cahaya matahari yang masuk kedalam pintu gua,” ujar Mahen masih penasaran. “Padahal tadi malam cahaya bulan saja terlihat.” “Mungkin diluar batas mendung.” Begitu kata Alta lalu ia membereskan dirinya sendiri. Mendengar ucapan Alta, Mahen hanya bisa mengangguk sesaat. Mungkin benar di luar batas sedang mendung jadi membuat cahaya maatahari tak bisa masuk. Sesaat kemudian Alta telah selesai membereskan dirinya, lalu keduanya mulai berjalan keluar dari goa untuk melanjutkan perjalanan, meskipun rute peta belum dimulai karena hari itu waktu jeda. Ketika berada ditempat yang seharsunya terang, tapi mereka tak merasakan itu. Semakin keluar mulut goa ternyata tetap gelap, hingga mereka sadar bahwa pintu keluar tertutup reruntuhan batu. Tak ada jalan keluar dari sana, pntu goa benar-benar tertutup dengan ramat. “Pintu goa tertutup, Al!” seru Mahen lagi memberitahu Alta, padahal Alta juga tahu hal itu. “Aku tak sadar ada reruntuhan tadi malam,” ujar Alta sambil menggaruk kepalanya. “Gimana ini? Kita akan lama keluar dari sini, apalagi kalau menunggu panitia mengeluarkan kita,” kata Mahen bingung. “Itupun jika panitia mau mengeluarkan kita,” ucap Alta kemudian sambil berusaha membongkar satu persatu batu yang menutupi pintu goa. “Ayo bantu aku.” Mendengar Alta meminta bantuan, Mahen hanya mengangguk lalu membantu, mereka bahu-membahu untuk bisa keluar dari goa itu. Mahen tak pernah berpikir ia kana terjebak dalam situasi seperti ini. Apalagi bersama Alta. Tidak, ia tidak menyesal hanya saja ia tak ingin merepotkan orang lain. Saat Alta sibuk mengeluarkan batu-batu itu, Mahen sesekali melihatnya. Pemuda rajin yang penuh semangat, mungkin jika hanya dia yang berada di posisi itu ia akan pasrah menunggu bantuan, karena berada di arena ini saja sudah membuatnya lelah, apalagi harus terjebak di sana seorang diri. Keduanya bersama-sama membuka jalan keluar dari goa dari tumpukan batu-batu, memang tidak besar, tapi cukup berat jika hanya dilakukan berdua saja. Apalagi itu batuan kapur dari atap goa. Sudah hampir sejam mereka memindahkan batu-batu itu dari mulut goa, sudah nampak sedikit cahaya dari sana, tapi tak bisa untuk pintu keluar karena masih terlalu kecil. “Istirahat sebentar aku lelah,” ujar Alta, kemudian duduk sembarang di atas batu. Mahen mengikuti ucapan Alta. Mahen menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan, ia juga merasa lelah sejak tadi mencoba memindahkan tumpukan batu itu. “Aku ingin bertanya sesuatu,” kata Mahen kemudian pada Alta. “Apa?” tanya Alta sambil menyeka keringatnya yang terasa meleleh dikulit leher dan dahinya. “Saat pertama kali kita bertemu, kau mengatakan bahwa pasrah aku bunuh, kenapa?” kini Mahen yang bertanya pada Alta. Kenapa? Alta menggaris bawahi pertanyaan Mahen itu. Memang saat bertemu dengan Mahen pertama kali ia mengatakan bahwa Mahen jika Mahen ingin membunuhnya saat itu juga, padahal sebelumnya dan mungkin saat ini juga ia masih berpikir untuk memenangkan ujian, karena ada ayahnya yang mungkin saat ini menunggu untuk bebas. Namun, saat itu ia tengah merasa kalut dan lelah, ia sudah berulang kali bertemu musuh, hampir mati berulang kali. Bahka sebelum bertemu dengan Mahen har itu Alta berhadapan dengan dua musuh yang kesemuanya tidak mudah ia lawan. Salah satunya seorang perempuan dari provinsi ke-5, kota Tua Ignos. Memang tidak sekuat yang lainnyal, tapi karena perempuan itu Alta mendapatkan luka di lengan kiri akibat goresan anak panah. Satunya lagi laki-laki dari provinsi yang sama, kota Limbodri, laki-laki itu berhasil membuat Alta tak sadarkan diri akibat. Laki-laki itu pergi saat yakin bahwa Alta telah mati, padahal Alta hanya tak sadarkan diri, beberapa saat kemudian Alta terbangun. Luka diperutnya akibat pukulan cukup sakit, begitu juga bibirnya, tapi masih bisa membuatnya bertahan. Saat dalam keadaan seperti itulah ia bertemu dengan Mahen, ia sudah tak berpikir apapun tentang Mahen, karena ia yakin Mahen akan melakukan hal yang sama seperti peserta lainnya. Tapi nyatanya tidak. Mahen begitu baik dan malah membentuk satu tim bersamanya, padahal ia tahu tahu bahwa Mahen adalah anak dari keluarga Dailos yang terkenal kaya dan sombong. “Malah diam, sudahlah kalau tak mau menjawab, tak ada,” sambung Mahen saat melihat Alta yang ditanya malah melamun saja. Setelah itu Mahen kembali memindahkan batu-batu dan masih membiarkan Alta beristirahat, karena Alta sudah lelah bekerja. Mahen terus memindahkan batuan itu, saat tiba-tiba saja batu-batu berguncang hebat dan akhirnya runtuh membuka jalan keluar goa. Mahen dan Alta yang melihat itu menarik napasnya leganya, akhirnya setelah lebih dari dua jam mereka bisa keluar dari goa itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN