19

1128 Kata
Sejak kecil Jagur hidup dijalanan yang keras, di kota Sigil Provinsi ke-33. Ia tak tahu siapa dan dimana orangtuanya, yang ia ingat ia hanya hidup sebagai gelandang dan menjadi pencopet anak-anak. Ia dan satukan dengan anak-anak gelandangan lain yang memiliki nasib sama sepertinya, lalu ia paksa mencari uang dan mengumpul sesuai target setiap harinya. Ia terus melakukan hal itu, bahkan kadang sering menjadi bulan-bulanan dengan di hajar dan dipukul masa. Namun ia tak kapok, jika ia berhenti nasib jauh lebih buruk akan datang padanya. Bos, orang dewasa yang mengumpulkan dirinya dan anak-anak lain akan menyiksanya, seperti esok tak akan ada siksaan lagi. Bahkan berulang kali juga ia ditangkap pihak keamanan, hingga yang terakhir ketika berusia delapan tahun Jagur dibawa ke panti rebah dan berakhir di panti asuhan. Dipanti asuhan kota Sigil pun tidak enak, pemilik panti asuhan memperlakukan 30 anak yatim piatu layaknya barang, jika tak bisa mencari uang maka akan dijual pada orang-orang kaya. Jagur dan 29 anak lainnya layaknya barang yang siap dibeli kapanpun. Jagur tak ingin di jual. Ia lebih memilih mencari uang tanpa terkekang di rumah. Karena tak ingin dijual, terpaksa Jagur melukan sebelah pipinya hingga menimbulkan luka abadi tanpa bisa hilang. Melihat kelakuan Jagur itu, pemilik panti asuhan mulai melakukan siksaan, iksaan pemilik panti juga sangat menyakitkan bahkan membekaskan luka di punggung Jagur. Tak berapa lama sejak masuk panti asuhan, Jagur dipaksa masuk sekolah dan berpendidikan, tapi karena sifatnya yang keras kepala ia sering memberontak dimanapun. Ia begitu nakal dan selalu berbuat onar, bahkan rasanya ia tak pernah bisa berlaku normal layaknya anak-anak seusianya. Bahkan kelakuan itu tak bisa hilang meskipun ia sudah mulai tumbuh remaja. Suatu ketika ia jatuh hati saat kelas dua sekolah menengah atas dengan seorang perempuan bernama Clara. Clara tak peduli bagaimana sikap dan kelakuan Jagur, ia juga menyukai Jagur sejak Jagur menolongnya dari kawanan laki-laki nakal ketika tengah sendirian. Mereka jatuh cinta dan merasa bahwa dunia milik berdua. Namun, Clara yang lebih dulu mengikuti ujian harus mati saat mengikut ujian kelulusan. Sejak saat itu ia berniat berubah dan membalaskan kematian Clara untuk menjadi pemenang dan membangun kuburan yang indah untuk Clara. Ia juga ingin punya hidup layaknya manusia pada umumnya, bukan gelandangan, anak panti asuhan atau sampah masyarakat lain. Dari kota Sigil, ia terpilih mengikuti ujian dari sekolahnya, pejalanan dari kota Sigil menuju tempat ujian cukup jauh, tak ada yang mau menolongnya. Jagur bertekad mencari uang dan pergi sendiri. Ketika sampai di tempat karantina, ia mulai berkenalan dan menemukan orang yang selama 18 tahun tak pernah ia temui. Orang-orang baik yang seakan sudah mengenalnya cukup lama. Selama dua minggu ia merasakan sebuah kebebasan, tapi ketika sampai di tempat ujian ia teringat Clara dan apa tujuannya masuk ketempat itu. Berbekal tujuan itu ia mencoba membunuh semua yang berusaha menghalanginya. Entah sudah berapa nyawa yang ia bunuh, mungkin lebih dari tiga selama tiga hari setelah ujian mematikan dimulai. Terakhir sebelum melanjutkan perjalanan ia membunuh pemuda berkacamata yang berambisi. Setelah ia melihat tanda pengenalnya bernama Bastian, dari kota Origon Provinsi ke-7. Kota indah yang tertata, tapi menurut sebagian orang di penuhi orang-orang sombong dan arogan yang mengatas namakan kasta. Kebanyakan dari penduduk kota adalah petinggi militer dan juga abdi negara dengan banyak pangkat. Melihat hal itu Jagur semakin muak, karena saat penangkapan dulu sebelum di bebaskan, pihak keamanan selalu memukulnya secara berlebihan padahal ia masih anak-anak berusia tujuh tahun. Setelah menyerang Bastian secara brutal dan begitu Bastian, kini Bastian yang tak bisa melakukan apapun, bahkan hanya bisa bersandar di pohon. Jagur kemudian mengambil busur dan anak panah Bastian ditanah. Lalu melesatakan anak panah itu tepat di d**a kiri bawah Bastian. Membuat Bastian mati saat itu juga. Setelah melancarkan serangan terakhir dengan senjata milik Bastian, Jagur melemparkan senjata itu sembarangan. Dan meinggalkan mayat Bastian sendirian di sana. Jagur tak menyesal melakukan itu, jika ia merasa kasihan maka ia yang akan mati saat ini. Prinsip ujian itu adalah membunuh atau dibunuh. Secara jelas ia paham prinsip itu bahkan tanpa ditutup-tutupi hal yang lainnya. Sebenarnya besar dijalanan membuat Jagur terbiasa melakukan perkelahian, tubuhnya tak perlu dilatih untuk bertarung, bahkan di sekolah ia terkenal berandal bertengkar dengan murid-murid pria lain seperti makanan setiap hari. Namun, banyak dari peserta yang pandai bertarung juga bahkan mereka terlatih menggunakan banyak senjata. Sejauh ini yang ia tahu mereka menggunakan, pedang, panah dan juga sabit. Bertemu dengan ketika pengguna senjata itu bukan hal yang mudah, mereka mahir dalam jarak dekat, bahkan pengguna panah bisa menyentuhnya dalam keadaan jauh. Jika ia tak berhati-hati dalam bertarung mungkin luka tubuhnya akan semakin banyak. Bahkan jika saja Bastian tak meleset karena keberuntungan dirinya menunduk mungkin ia juga ia sudah mati saat ini. Jagur yang tak pernah berdoa pada Tuhan seakan bersyukur masih bisa selamat. Kini dari peta di tangan ia mengikuti rute yang ditunjukkan, menuju arah barat. Ia tak tahu apa yang akan ia temui lagi di depan nantinya. Ia hanya berharap tak bertemu pengguna panah lainnya. Pengguna panah bisa bersembunyi dengan mudah, lalu membidik tubuhnya dari kejauhan tempat yang tak bisa di jangkau cakram bumerangnya. Awal mendapatkan senjata itu ia bingung harus ia apakan, tapi setelah demonstrasi dari panitia pelatihnya ia bisa menggunakannya bahkan jauh kata mahir, yakni terlatih. Tak banyak waktu untuk mengembangkan banyaknya menggunakan senjata dua cakram itu, ia sebisa mungkin harus menguasainya, karena sampai ia sebelum mati ia harus bertahan bagaimanapun caranya. Setelah meninggalkan mayat Bastian disana sendirian, hingga terasa tengah hari ia tak menemukan apapun. Ia belum berjumpa dengan peserta lainnya, meskipun begitu ia tak bisa bersantai duduk tenang, ia harus tetap berjalan. Namun, tak berapa lama ia seperti melihat bayangan seseorang. Ia bersembunyi dibalik pohon untuk mengamatinya dari jauh. Jagur menajamkan matanya, berusaha melihat seorang pemuda yang tengah menikmati sebuah buah berwarna merah muda, pir. Jagur tak habis pikir, dalam keadaan seperti itu masih ada orang yang bersantai. Ia terus melihat orang itu, di lehernya nampak triple stick berwarna coklat yang di kalungkannya. Dari tempat itu Jagur tidak bisa meleparkan cakram bumerangnya karena tertutup batang-batang pohon. Jagur berusaha lebih mendekat dan mengintai lewat balik pohon, ia terkejut saat beradu pandang dengan peserta itu. Lalu peserta yang tak lain Luis itu melempar setengah buah yang sudah dimakannya. Jagur kaget dan berusaha bersiap untuk menyerang, ia tak mungkin terus bersembunyi. Dari sana ia bisa meleparkan cakram bumerangnya. Di lemparkannya sekuat tenaga, tapi Luis berhasil menangkapnya dengan rantai sticknya. Melihat hal itu Jagur menelan salivanya, musuhnya nampak lebih kuat dari sebelumnya. Bahkan ia sampai tak tahu harus melakukan apa jika hanya menggunakan satu senjata. "Aku kembalikan," ujar Luis melempar sembarangan cakram bumerangnya milik Jagur. Untung saja terjatuh di dekat Jagur. "Kau mau kita bertarung atau aku akan pergi karena kau terus disana?" Mendengar ucapan Luis yang memancing Jagur, Jagur pun akhirnya keluar. Lagi pula jika jarang jauh ia bisa diuntungkan karena menggunakan bumerang, kalau lebih dekat mungkin ia akan sediki kerepotan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN