32

1191 Kata
Jika seandainya keluarga besar Samantha Bacori bangkit, mungkin Ludres hanyalah puing kecil dari dunia beladiri. Dan apa yang ia katakan pada Toni itu benar, jika seandainya Toni bertahan mungkin tak akan lama, lagi pula ia sudah kalah saat ini. Bendera sudah menjadi milik Sion, karena itulah Sion memenangkan babak kedua itu dengan 19 peserta lainnya. Saat ini Toni tak bisa melakukan apapun, ia yang berusaha keras menahan rasa sakit itu akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Ia tak pernah menyangka akan gagal dalam ujian ini dalam waktu yang sangat singkat, enam hari. Dan sialnya ia sampai harus bertemu dan berurusan dengan keluarga cabang dari keluarga besar ahli beladiri Samantha Bacori, keluarga yang dikenal bahkan sebelum Linkton terbentuk. Mereka lolos dan membangun kekuasaan di Black Districk, provinsi ke-28. Saat ini Toni tak bisa melakukan apapun, ia merasa lumpuh otak. Ia bisa mendengar semuanya, tapi tak bisa bangkit ataupun membuka mata, badannya benar-benar lelah dan lemas. Di saat yang bersamaan, Sion telah berhasil lolos dari ujian babak kedua, benderanya telah diakumulasikan dengan bendera peserta yang lainnya, kini sampai babak ketiga dimulai, Sion hanya perlu menunggu. Entah berapa lama lagi babak kedua itu akan berakhir, bahkan kalau dilihat bisa lebih dari satu minggu, karena tidak semua peserta langsung mendapat titik koordinat. Mereka hanya dipaksa untuk mengikuti rute peta buta. Sampai babak ketiga akan dimulai, Sion adalah peserta khusus, menyerangnya adalah tindakan yang melanggar ujian dan bisa di diskualifikasi oleh panitia nantinya. Lagi pula siapa yang akan berani menyerang Sion jika tahu ia adalah salah satu anggota cabang Samantah Bacori. Jika ada yang tahu siapa dia sebenarnya, menyerah adalah pilihan yang utama. Seperti seharusnya yang di lakukan oleh Toni, sayangnya Toni malah memilih untuk menyerang dan tanpa peduli apa yang akan terjadi padanya. Sebenarnya Sion hanya melumpuhkan otaknya dengan memutus beberapa sarafnya, ia tidak benar-benar menghancurkan tengkorak kepala Toni, karena jika itu terjadi maka Toni akan mati saat itu juga. Ia melakukan itu hanya untuk teguran bahwa keluarga Ludres bukan satu-satunya ahli beladiri yang ada di Linkton, jurus tanda yang ditinggalkan juga akan keluar besar Ludres menyadari bahwa Silvadis masih ada sampai saat ini, yakni keluarga cabang utama. Keluarga Slivadis tahu bahwa Ludres selama ini merasa bahwa mereka adalah yang paling kuat, mereka selalu mengajari para murid tentang kesombongan dan merasa menjadi bangsawan, menindas para rakyat kecil yang tak bisa merlakukan apapun. *** Hal yang berbeda terjadi pada Andreas. Sejak babak kedua dimulai ia tak mendapat titik koordinat tempat berdera biru itu berada, ia hanya di tunjukkan jalan rute seperti biasanya. Ia pikir hologramnya rusak, tapi nyatanya tidak. Ia berjalan terus sambil menyenggol dedaunan denagn pedang panjangnya itu, lelah sekali ia berjalan sejak tadi. Meskipun ia tak berharap bertemu dengan peserta lainnya, yang ia pikir jika saat ini sudah tertinggal 40 peserta berarti mereka adalah pesert terpilih. Jika Andreas bertemu dengan mereka kemungkinan besar ia harus berhadapan dengan mereka juga, tapi menurut perintah panitia dari hologram yang ada, hanya ada satu  bendera untuk satu peserta. Dua perserta akan memperebutkan satu bendera itu nantinya. Saat Andreas terus berjalan, ia merasa melihat ceceran darah yang menentes di dedaunan kering dirute perjalanannya. Andreas melihat darah itu lalu mengikutinya dengan perlahan, ia mungkin akan menemukan peserta lain yang mungkin kini dalam keadaan mengenaskan. Tapi tak ada salahnya ia melihat hal itu. Tak berapa lama akhirnya ia melihat seorang peserta yang tengah menahan sakit akibat anak panah yang tertancap di paha kanannya. Darah banyak keluar dari sana, membuat peserta itu terus merintih. Andreas mendekati pesert itu, ia tak bisa melihat melihat peserta itu yang merasakan kesakitan. “Apa yang terjadi?” Begitu tanya Andreas, meskipun itu pertanyaan bodoh yang seharusnya tak ia tanyakan saat ini. “Aku terkena anak panah peserta lain saat berebut bendera,” ujar lirih peserta itu pada Andreas. Andreas lalu berpikir keras, ia mungkin bisa melepaskan anak panah yang menancap itu, tapi ia tak yakin peserta di depannya bisa bertahan menahan rasa sakit. “Kau bisa menahankan? Aku akan mencoba mencabut anak panah ini,” ujar Andreas sendiri tidak yakin bisa melakukan hal itu. Peserta itu mengangguk setelah mendengarkan ucapan Andreas. Kemudian Andreas menekan paha peserta itu sekuat tenaga dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berusaha menarik anak panah yang menancap itu, lalu... Teriakan kencang terdengar dari peserta itu, ia merasakan sakit yang teramat di pahanya setelah Andreas mencabut anak panah. Sama seperti peserta itu, Andreas juga merasa lerga karena sudah mencabut anak panah itu. Kini ia memprogram obat dan kain kasa untuk menutup luka peserta itu, agar darah tak terus keluar yang bisa menyebabkan infeksi nantinya. Andreas melap darah di sekita lukanya, kemudian memeberikan obat cair untuk antiseptik lalu menutup lukanya dengan kain penutup. Andreas tak pernah belajar melakukan itu, ia melakukannya karena terpaksa. Setelah selesai mengobati luka peserta itu selesai, Andreas mendudukkannya dan memberikannya minum. “Terima kasih,” ujar peserta itu. “Namaku Astara La Moris.” Mendengar ucapan itu Andreas sedikit kaget, ternyata peserta di depannya adah satu keturunan bangsawan dari kota Digos, provinsi ke-26 yang juga keluarga dari panitia Noris la Moris. “Sama-sama, namaku Peter Andreas, kau bisa memanggil Andreas,” kata Andreas memperkenalkan dirinya. “Aku berhutang budi padamu, Andreas. Terima kasih,” ucap Astara lagi. Astara benar-benar merasa tertolong karena adanya Andreas, jika tanpa Andreas mungkin saat ini ia telah mati meskipun ia telah berhasil mendapatkan bendera biru itu. Musuh Astara adalah seorang pengguna panah, sementara itu ada pengguna cakram bumerang, ia tak begitu pandai menggunakan senjata itu, karena senjata itu sangat langka. Namun, ia diuntungkan adanya senjata itu, untungnya senjata itu bisa menyerang dari jarak yang cukup jauh seperti panah. Satu setengah jam yang lalu, ia mendapatkan titik koordinat di petanya, ia mengikuti rute itu dan mendapati seseorang hampir mendapatkan bendera biru. Astara yang melihat hal itu langsung melemparkan cakram bumerangnya, sayangnya peserta itu menyadari dan menghindarinya. Setelah itu Astara dan peserta itu bertarung dari jarak dekat dan jauh, berulang kali Astara hampir saja terkena anak panah, tapi ia berhasil lolos, kemudian saat-saat terakhir. Anak panah itu mengenai pahanya. Astara yang merasakan kesakitan melemparkan cakram bumerangnya secara acak, lemparan bumerangnya itu mengenai tengkuk belakang lawannya. Saat itu juga lawannya tumbang dan membuat Astara mampu berhatan. Astara dengan tubuh kesakitan mengambil bendera itu. Setelah itu ia mencari tempat aman itru beristirahat, ia tak kuat menarik anak panah itu. Dan tak berapa lama ia melihat seseorang yang tak lain Andreas datang mendekatinya. Andreas menolongnya dan mengambil anak panah itu, rasanya sangat sakit, tapi perlahan rasa sakit itu menghilang akibat obat yang sudah di berikan oleh Andreas. “Kau beristirahatlah dini sendiri, sampai babak kedua selesai mungkin kau bisa pulih lagi,” ujar Andreas pada Astara saat itu. Astara kemudian mengangguk setelah mendengarkan ucapan Andreas, tak berapa lama Andreas berpamitan untuk pergi karena ia harus mengikuti petanya yang masih terus berjalan. Ia tak mungkin menunggu Astara sampai sembuh. Setelah Andreas pergi Astara masih berada di sana sampai ia benar-benar sembuh, tak ada peserta yang bisa menyentuhnya saat ini karena ia sudah lolos kebabak selanjutnya. Ia akan masuk 20 besar sebagai peserta dari babak kedua. Ia akan membuktikan pada keluarganya dan semua orang bahwa seorang anak bangsawan tidak sepenuhnya cengeng, ia juga bisa berdiri sendiri dengan kakinya dan menggapai semuanya dengan tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN