Pagi-pagi sekali Arga sudah sampai rumah semenjak mendapati kabar bahwa semalam Luna tidak pulang. Sampai rumah, dia tidak menemukan Luna di sepenjuru rumahnya. Ponselnya masih sama seperti semalam, aktif tapi tidak di angkat. Tentu hal itu membuat Arga meradang.
Tidak seperti biasa Luna bersikap seperti ini dan itu cukup membuatnya resah.
Luna sendiri baru turun dari taxi yang membawanya pulang pukul 10 pagi, setelah adu argumen besar-besaran bersama Galih yang tidak ada ujungnya. Luna segera masuk rumah dan cukup terkejut ketika mendapati mobil Arga terparkir di garasi rumah.
Luna masuk dengan hati-hati. Dia menaiki satu persatu tangga menuju lantai atas dan memasuki kamarnya. Dia melihat Arga tengah berkacak pinggang di tengah-tengah kamar mereka sembari menatapnya tajam. "Darimana semalam?" Tanya Arga penuh penekanan.
Luna meletakkan clutchnya di meja rias miliknya dan tersenyum kecil. "Ada urusan sebentar."
"Dimana?"
"Rumah Firda." Jawabnya asal.
"Firda nggak ada tuh, aku hubungi dia bilang tidur."
Luna tersenyum masam dan menatap suaminya. "Tumben sudah pulang?"
"Lun, jangan ngalihin pembicaraan!"
Arga mendekat, meraih pergelangan tangan Luna dan menarik tubuhnya. Arga mulai menghidu bau tubuh Luna, "Kamu mabuk semalam?"
Luna menyentak tangan Arga dan mundur. "Lun!"
"Apa sih, Mas?" Pekik Luna kesal. "Kamu mabuk?"
"Kalau iya kenapa? Puas?" Teriaknya, lalu Luna berlari memasuki kamar mandi. Arga menyusul setelahnya saat Luna tengah melucuti dress yang di pakainya. "Ada apa lagi?"
"Aku nggak suka sikap kamu seperti ini, Lun!"
"Oh oke."
"Kamu sadar nggak sih Lun?"
Luna menatap datar Arga. "Apa lagi sih Mas? Nggak capek marah terus?"
"LUNA!"
"Aku capek, Mas! Aku di rumah ini sendiri! Kamu bahkan nggak bolehin aku mengandung! Jadi wajar aja aku pengen senang-senang!"
"Aku ke Bandung juga buat kamu, Lun! Aku kerja!"
"Oh kerja?"
Luna tertawa sinis, matanya menyipit, lalu melengos pergi dan mengguyur tubuhnya di bawah shower. Dia tidak peduli lagi Arga. Dia hanya ingin mendinginkan kepalanya.
**
Selesai dia mengganti pakaiannya, dia mendapati Arga tengah menunggunya di kamar. Luna memilih keluar kamar, namun sayang saat dia membuka pintu kamar, pintunya terkunci. Luna membalikkan tubuhnya. Tangannya dia lipat di depan d**a dan matanya memandang Arga malas. "Mau kamu apa sih, Mas?"
"Kamu yang maumu apa, hah?" Bentak Arga yang sejak tadi menahan amarahnya.
"Biasa ajalah, kayak kamu nggak pernah minum!"
PRANG!
Arga membanting lampu tidur di samping ranjang di dinding. Luna memejamkan mata, tubuhnya sedikit bergetar. "Aku nggak suka kamu jadi pembangkang!"
"Dan aku bukan boneka kamu, Mas!" Bentak Luna pada akhirnya. Mata Arga membulat sempurna, emosinya sudah di puncak kepala. Dia mendekati Luna dan menarik tangan Luna sebelum melempar tubuh Luna di atas ranjang.
Luna memandang datar Arga yang tengah melucuti pakaiannya sendiri. "Mau perkosa aku?"
Luna menyingkap rok yang dia pakai dan melepas underwearnya. Kedua kakinya ia buka lebar-lebar di depan Arga. "Ayo masukkan. Perkosa aja aku. Kenapa berhenti?"
Arga menatap tidak percaya pada istrinya. "Kenapa berhenti? Perkosa saja istrimu ini, Mas! Perkosa aja! Percuma kamu jadiin aku istri kalau kamu giniin aku kayak p*****r di luar sana! Ayo masukkan!" Teriak Luna dengan mata berkaca-kaca.
"Ayo masukkan! Sekalian saja hancurkan aku!"
Arga memejamkan mata dan mengusap wajahnya. Pria itu memakai kembali celananya dan merogoh kantongnya untuk mengeluarkan kunci. Arga memutuskan keluar, meninggalkan Luna yang menangis pilu di dalam kamar mereka.
**
Sudah hampir empat hari semenjak kejadian itu, Arga tidak sekalipun menginjakkan kaki di rumah. Mungkin suaminya itu tengah berada di rumah simpanannya. Luna tak ingin ambil pusing dan mulai sibuk mengajar di kampus, dan di waktu dia senggang Luna memilih sebuah cafe untuk tempatnya nongkrong yang dekat dengan kampus karena terlalu malas berada di rumah lebih lama.
Seperti sore ini, ketika tidak ada lagi jam mengajar. Luna sudah duduk manis di temani secangkir latte dan burger, di depannya, menyala sebuah laptop yang ia gunakan untuk mengecek hasil kerja mahasiswanya. Luna begitu sibuk dengan dunianya, sampai dia tidak memperhatikan seseorang menarik kursi tepat di hadapannya. "Sibuk ngapain sih, Darl?" Tanya Galih dengan cengirannya yang terlihat usil di mata Luna.
Luna menatapnya tidak suka, "Untuk apa kamu di sini?" Desis Luna.
"Ngopilah. Lo nggak lihat gue bawa kopi?"
"Ini meja saya! Banyak meja kosong! Kenapa kamu duduk disini!"
"Karena gue suka."
Luna memutar bola matanya, dia beranjak, membawa laptopnya, tapi Galih lebih dulu mencegahnya. "Oke. Gue pindah. Lo tetep di sini."
Galih mengerling genit sebelum beranjak membawa secangkir kopinya. Ia tersenyum sangat lebar sampai-sampai Luna sendiri mau mundah melihatnya.
Di sisa waktu yang di miliki Luna, Luna menyelesaikan pekerjaannya dengan tatapan Galih yang terkunci padanya sejak tadi. Bahkan ketika Luna beranjak ingin pulang dan keluar dari cafe itu, Galih mengekorinya dan mulai membuatnya jengah. Di parkiran cafe itu, Luna memutar badannya dan menatap Galih tajam. "Kamu ngikutin saya?" Tanya Luna keras-keras.
Galih memajukan bibirnya dan mengusap dagunya. "Mobil gue ada di sini, Darl." Tunjuk Galih dengan dagunya, ke sebuah mobil yang terparkir tepat di sebelah kanannya.
Luna mendesis lirih dan segera menuju mobilnya. Dia terlalu malas berurusan dengan orang gila seperti Galih.
**
Setelah mengecek pekerjaannya di kantor cabang, Arga sore itu menginjakkan kaki di rumah yang di tempati Sarah dan Fabian, sudah beberapa hari ini Arga memilih tinggal di sana. Dia terlalu malas pulang ke rumah yang di tempatinya bersama Luna, setelah insiden kemarin.
Saat Arga baru memasuki rumah, dia di sambut dengan Fabian yang tengah merangkak cepat menghampirinya, senyum Arga melebar, pria itu buru-buru berjongkok dan merentangkan tangan meraih tubuh mungil putranya.
Arga menciumi wajah Fabian, membuat bayi yang dua bulan lagi akan berusia satu tahun itu terkekeh geli dan memukuli pipi Arga. "Aduh Nak, Papa kok di pukul."
Fabian terkekeh, lalu Arga mendekati Mbak Riri yang bekerja membantu Sarah mengurus Fabian. "Sarah mana Mbak?"
"Di kamar, Pak. Sejak tadi pagi Nyonya nggak enak badan."
"Kok nggak hubungi saya." Guman Arga, dan dia segera melangkah menuju kamar Sarah bersama Fabian di gendongannya. Benar saja ketika Arga masuk, dilihatnya Sarah tengah berbaring lemah di atas ranjang. "Nggak enak badan kok nggak bilang? Ayo ke dokter."
Sarah menggeleng lemah. "Aku hanya lemas aja, Mas."
"Muntah-muntah nggak?"
Sarah mengangguk. "Tadi pagi aja."
"Kita ke rumah sakiti aja. Takut ada apa-apa sama kamu, kasihan Fabian."
Setelah perdebatan panjang antara Sarah dan Arga, di sinilah mereka berdua. Di sebuah klinik yang tak jauh dari rumah dan Sarah kini tengah di periksa oleh dokter. "Bagaimana dok istri saya?"
Dokter wanita bername tag Anggi itu melepas stetoskopnya dan menatap Arga dengan senyum tipis. "Saya tidak berani asumsikan. Ada baiknya Ibu Sarah di bawa ke spesialis obgyn."
"Kenapa harus ke sana, Dok?" Tanya Arga masih belum paham.
"Ada kemungkinan istri bapak tengah hamil. Tapi saya tidak berani mendiagnosis dahulu. Bapak bisa membawa istrinya untuk USG di spesialis obgyn."
Tubuh Arga mematung setelah mendengar penuturan yang terlontar dari bibir dokter Anggi. Dia dan Sarah yang berada di pinggiran ranjang saling berpandangan dengan sorot mata tak terbaca.
**
Positif. Sarah tidak pernah menyangka bahwa di rahimnya ada sebuah kehidupan. Dia.. tidak pernah memikirkannya. Bahkan Sarah masih ingat dengan jelas ia meminum pil secara rutin sewaktu pertama kali mereka berhubungan badan. Sarah mendesah dan hal itu membuat Arga menoleh menatapnya.
"Jangan berpikiran yang macam-macam."
"Bagaimana nggak berpikir macam-macam, Mas. Kalau aku aja sedang hamil anak kamu di belakang Luna." Sarah menahan napas, fokusnya memandang Arga yang tengah menyetir.
"Lama-lama Luna akan tau. Bagaimana ini, Mas?"
"Lalu mau kamu apa? Kamu mau menggugurkan dia?"
Bola mata membulat. "Enggak!"
"Ya sudah. Jangan berpikir macam-macam. Biar Luna jadi urusan aku."
"Mas, kamu pernah berpikir nggak kita sangat jahat sama Luna!" Pekik Sarah frustasi yang membuat Arga menghela napas kasar. Pria itu segera menepikan mobilnya dan memandang Sarah tajam.
"Kamu mau kita bilang ke Luna sekarang kita nikah? Kalau iya. Ayo. Sekarang aku bawa kamu ke Jakarta dan kita jujur ke Luna!"
"Mas!" Jerit Sarah frustasi. Matanya berkaca-kaca. Arga tidak tahan melihatnya dan lebih memilih memangut bibir Sarah dalam ciumannya yang panjang.
Napas mereka terengah, Arga menyatukan dahi mereka dan kedua tangannya memegang pipi Sarah. "Bulshit aku nggak ngerasa bersalah ke Luna, Sar. Kalau aku bisa memilih antara kamu dan Luna sekarang, tentu saja aku akan memilihmu dan mungkin Luna akan menganggap aku pria b******n. Kamu pasti tau kenapa aku memilihmu dan nekat menikahimu padahal aku punya Luna? Karena aku cinta kamu! Sejak dulu dan sekarang. Apa kamu puas?"