Kedua tangan Arga mencengkeram kuat pinggulnya, hentakkannya begitu kuat, sampai pelepasannya tiba. Tubuh Luna bergetar ketika cairan Arga memenuhi miliknya. "Jangan lepas," Bisik Arga di belakang tubuhnya, seraya mencengkeram pinggulnya. Luna memutar kepalanya untuk memandang suaminya.
"Aku lelah. Bukankah sudah puas? Sejak tadi kita bercinta."
"Tapi kamu belum pelepasan."
Luna tersenyum tipis. "Nggak masalah."
Luna melepas penyatuan mereka. "Tolong ambilkan tissue."
"Bilas aja."
Luna menurut. Wanita itu turun dari ranjang, lalu ke kamar mandi. Sekembalinya ia, ia bisa melihat Arga tengah berada di balkon kamar mereka. Mungkin sedang menghubungi selingkuhannya. Luna menatap punggung Arga dengan ekspresi datar, lalu duduk di pinggiran ranjang. Dia memainkan tali kimononya sembari menunggu Arga menyelesaikan menelepon selingkuhannya.
"Oh nggak tidur?"
Arga sedikit terkejut menatapnya. Luna tersenyum kecil dan melepas kimononya, lalu dia berbaring. Arga ikut menyusul di sampingnya. Mereka saling beradu pandang. "Nggak pakai baju?"
"Hmm.." Luna hanya menjawab seperti gumanan. Arga mendekat, memeluk tubuhnya, tapi Luna tau kebiasaan Arga. Kalau sudah begini, suaminya itu akan bermain-main dengan gunung kembarnya. "Kamu nggak lelah, Mas?"
"Belum. Kenapa?"
Luna menggeleng dan menggigit bibirnya, ketika Arga menghisap salah satu payudaranya. Tangannya terulur, mengelus rambut suaminya. "Pelan, Mas. Sakit."
Tapi, nikmat.
"Iya."
Luna mengerang, ketika tangan Arga merambat ke daerah kewanitaannya. "Mas! Kok malah turun? Lepas deh, kalau kamu kayak gini mending aku pakai baju."
"Jangan." Jerit Arga melepas kulumannya. Luna menyeringai, dia mendorong Arga sehingga tubuh suaminya itu terlentang, "Hey! Mau apa?"
"Main-main lah."
"Katanya tadi nggak mau!"
"Tanggung."
Luna tersenyum sangat manis, lalu melepas celana yang di pakai Arga dan ya, permainan di mulai. Di sisa malam di hari itu, Luna menggoda Arga mati-matian.
**
Klub, musik dan mabuk tiga hal itu selalu berkaitan. Luna tidak munafik, semasa muda dia pernah beberapa kali datang untuk bersenang-senang, walau selanjutnya Raihan dan Dahlia akan mengendus tabiatnya dan memberinya ceramah dari A sampai Z.
Sekarang, Luna datang lagi dengan dia yang jauh lebih dewasa dan matang. Salah satu alasannya, ya itu, melarikan diri dari berbagai masalah yang menimpanya. Jujur saja, Luna tidak cukup kuat sekarang. Rasa sakitnya sudah membelenggunya sampai ke akar. Jadi alkohol untuk saat ini baik sebagai pelarian dari banyak masalah yang menimpanya.
Entah sudah berapa banyak vodka yang di minum Luna, dia cukup mabuk tapi masih setengah sadar. Dia meninggalkan kursi bar itu dan melangkah tertatih di antara banyak orang yang meliuk-liukkan tubuhnya. Luna juga meliukkan tubuhnya seirama dengan musik yang sedang berputar. Dia bahkan tak memperhatikan sejak tadi ada segerombolan manusia yang menatapnya intens. "Njir! Itu bukannya dosen Statistika itu?" Ujar lelaki bermata coklat itu.
"Mana sih?" Tanya Aldo, pria berambut kriting yang mulai penasaran.
"Itu tuh yang pakai baju kuning, lagi joget. Gila body-nya. Yahud banget. Rambutnya juga ajigilee. Tegang gue." Ujar Candra yang melihat Luna pertama kali.
"Jorok lo!" Sembur Fano melempar kulit kacang ke Candra.
"Nggak usah muna deh. Emang lo nggak tegang selama ini di ajar Si Dosen itu?"
"Luna namanya, g****k!"
Aldo memukul kepala Candra dengan tangannya. Candra mendengus mengusap kepalanya yang di pukul Aldo lalu kembali memperhatikan Luna. "Gue kira dia nggak pernah main di tempat gini."
Candra beranjak, ingin menghampiri. Namun Galih yang sejak tadi memperhatikan mencekal bahunya dengan alis menyorot seakan mengatakan 'dia punya gue'
Candra mendengus karena memang dia akan kalah jika harus bertanding dengan Galih.
Galih menyeringai. Lelaki itu mendekati dancefloor dan mulai mendekati Luna. Dia ikut menari di samping Luna yang seakan punya dunianya sendiri. Galih menyentuh pinggang Luna ketika wanita itu akan jatuh, dan pada saat itu pandangan mereka beradu. "Oh, thanks." Luna menegakkan tubuhnya dan tersenyum tipis.
"Nama lo?" Lelaki muda di depannya itu mengulurkan tangan dan bertanya sedikit keras. Luna mulai berpikir, tidak ada salahnya berkenalan kan? Toh mungkin mereka hanya bertemu sekali.
"Luna. Lo?"
"Galih. Kalau lo mau tau, gue mahasiswa lo semester enam. Senang ketemu lo di sini, Darl. Gue kira lo nggak doyan tempat beginian."
"What the f**k!" Desis Luna lirih dan tidak menyangka bahwa lelaki muda ini salah satu mahasiswanya. Sial!
**
Arga mematikan sambungan teleponnya setelah mendapat kabar dari satpam di rumahnya bahwa Luna belum pulang padahal kini jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Arga berdekacak pinggang sembari meremas ponselnya. Kepalanya terasa mau pecah. Dia mencoba menghubungi lagi Luna untuk kesekian kali, tapi tidak sekalipun wanita itu mengangkatnya.
Arga berdecak dan mulai menghubungi sahabat Luna, Hesti. Tapi, panggilannya pun tidak diangkat wanita itu, lalu berganti Arga menghubungi Firda. Dering ketiga, tersambung. Arga mengucap syukur dalam hati. "Assalamualaikum, Fir. Luna ada sama kamu?"
Di seberang sana Firda menjawabnya ketus, "Mana gue tau. Luna kan bini lu! Ganggu orang tidur aja lu!"
Panggilan itu terputus.
Arga mengurut dadanya dan membatin sabar.
"Luna masih nggak angkat?" Tanya Sarah yang baru memasuki kamar mereka setelah menyusui Fabian di kamar sebelah. "Belum."
Arga duduk di pinggir ranjang dengan gelisah. "Dia tidak biasa seperti ini," Guman pria itu.
Sarah mendekat dan mengusap bahu suaminya, menenangkannya. "Fabian sudah tidur?"
"Sudah."
"Kamu tidur aja dulu. Aku mau nunggu kabar dari Pak Ilman."
Sarah tersenyum tipis dan mengangguk. Dia mulai berbaring, sedangkan Arga menunggu ponselnya berdering dengan cemas.
Masih di klub yang sama, sudah tiga gelas vodka masuk lagi ke perut Luna setelah puas menari. Galih masih setia di sampingnya sesekali menyesap redwine. Lelaki itu sebenarnya cukup tertarik dengan Luna. Maka dari itu, Galih cukup berani mendekatinya sekalipun wanita itu beberapa kali mencoba mengusirnya.
"Lo udah mabuk, aelah." Gerutu Galih meraih gelas vodka yang akan di tegak Luna.
Luna yang sudah mabuk, terkikik lalu berteriak meminta vodkanya kembali. "Balikiinnn."
Galih menjauhkan vodka itu, dan merogoh dompetnya untuk membayar. Tapi Luna lebih dulu mencekal dan berkata, "Gue punya duit sendiri. Nggak perlu bocah ingusan kayak lo bayarin gue."
Luna meraih clutchnya dan meraih beberapa lembar uang dari sana. Galih hanya memperhatikan saja dan memilih membayar minumannya sendiri. "Lo gue anter pulang."
"Nggak perlu. Gue nggak mau pulang."
"Lha terus lo mau kemana, Darl?"
"Kemana aja hik. Pokoknya nggak pulang. Hik."
Luna menyengir dan beranjak turun. Langkahnya sempoyongan bahkan beberapa kali menabrak orang. Galih mengekori di belakangnya. Dia masih cukup tertarik kenapa Luna Si Dosen Cantik yang ia yakin jarang ke tempat seperti ini datang ke tempat ini dan you know. Dia mabuk.
Luna bahkan meracau dalam bahasa aneh menurut Galih. Tapi Galih tau, racauan alias umpatan itu untuk orang bernama Arga dan Sarah. Ah.. sepertinya Luna korban pelakor.
Galih mulai menarik kesimpulan seperti itu dan segera meraih pinggang Luna ketika kaki wanita itu tersandung. "Hik. Aku. Hik. Benci kalian. Hihi. Arga. Sarah. Hik. Kalian harus ngerasain rasa sakit. Hik. Yang aku alami."
Dan detik berikutnya tubuh Luna ambruk. Galih menatap wajah itu seolah terbius.
Cantik. Ya Luna memang cantik. Matanya, bibirnya. Galih suka sejak pertama kali bertemu tahun lalu.
**
Luna terbangun karena sinar matahari membuatnya silau. Matanya mengerjap, memandang sekitar dan sedikit tertegun ketika ia yakin kamarnya tidak bernuansa abu-abu. Luna segera bangkit dan tertegun ketika di sampingnya ada lelaki yang berbaring miring dan memandangnya dengan senyum lebar. "Pagi, Darl. Gue nggak sangka, di lihat dari luar lo tampak cantik. Tapi kalau tidur bisa ngorok juga ya."
"Lo siapa?" Tanya Luna panik. Luna ngintip tubuhnya di balik selimut yang ia pakai."Gue dimana ini? Oh s**t!" Umpat Luna ketika pening di kepala menghantamnya.
"Lo lupa? Gue Galih, mahasiswa lo. Lo sekarang lagi di apartment gue, Darl."