PART 5 Kepingan Puzzle

1122 Kata
Luna menjadi jauh lebih pendiam sejak beberapa hari yang lalu, bahkan yang biasanya selalu menggodanya pun kini memilih diam seribu bahasa. Arga menghela napasnya dan mulai melahap kembali sarapannya. "Kita sudah lama nggak menginap di rumah Papi." Arga menghentikan gerak sendoknya dan menatap Luna. "Kamu mau menginap di sana?" Luna mengangguk. "Oke, nanti malam kita menginap." Arga melanjutkan makannya, sesekali melirik Luna yang sepertinya tidak berselera memakan sarapannya. Arga pun menghela napasnya. "Jangan mainan makanan Lun, di luar sana masih ada yang tidak seberuntung kamu." Luna meletakkan sendoknya, menegak minumnya. Tangannya terlipat, memandang Arga. "Aku mau lepas kontrasepsi hari ini." Arga memandang Luna tajam, hilang sudah nafsu makannya. "Lun, kita sudah sepakat." "Sekarang aku sudah siap. Kenapa kamu berubah pikiran? Kamu nggak mau punya anak denganku, Mas?" Amarah Arga rasanya berkobar, namun detik berikutnya pria itu menghela napas. "Oke. Silahkan lepas kontrasepsi kamu." Arga memakan suapan terakhir sarapannya sebelum beranjak, meraih jas juga tas kerjanya, meninggalkan Luna yang duduk dengan mata berkaca-kaca dan kedua tangan terkepal kuat. ** Arga menghentikan mobilnya di halaman rumah keluarganya. Dia mematikan mesin, melirik sebentar Luna yang tengah membenarkan rambutnya. Arga menyentuh lengannya, membuat Luna menoleh dan menatapnya. "Kamu jadi lepas ko—" "Enggak." Luna melepas cekalan Arga di lengannya, lalu turun. Arga menghela napasnya dan menyusul turun sebelum mengekor Luna memasuki rumah. Di ruang tamu Dian yang merupakan Mami Arga menyambut, wanita paruh baya itu merentangkan tangannya dan memeluk menantunya. "Bagaimana kabar Mami?" "Baik, Cah Ayu. Kamu?" "Alhamdulillah baik, Mi." Dian tersenyum dan merangkul Luna menuju meja makan yang terletak di bagian belakang rumah. Luna cukup tertegun ketika mendapati Sarah tengah berada di meja makan dan tengah berbincang dengan Burhan, Ayah mertuanya. "Sarah di sini?" Sarah yang melihat kedatangan Luna segera beranjak dan memeluk Luna. "Sejak kapan?" "Sabtu. Kabar kamu bagaimana?" "Baik." Luna memaksa senyumnya, walau di dalam hatinya ia merasa keganjilan. "Sampai siang apa malam?" "Oh malam." Luna bisa melihat Sarah melirik Arga. "Bareng Arga, soalnya Papi sama Mami rindu Bian." "Oh.." Luna mendekati Ayah mertuanya. Berbincang sedikit, lalu makan malam bersama. Makan malam yang menurut Luna di penuhi aura kecanggungan dan kebohongan. Luna menghela nafas dan menunduk. Memakan lagi makanannya. ** Luna terbangun dari tidurnya karena merasa haus. Namun dia terkejut ketika menyadari bahwa Arga tidak ada di sampingnya. Luna tertawa getir menyadari sampai kapan dia harus memendam segalanya. Kebohongan itu, faktanya perlahan-lahan sudah terbuka. Terutama tentang kenyataan bahwa lima hari lalu, ia datang ke Bandung dan tidak menemui Sarah di rumahnya. Seharusnya Sarah ada disana, tapi rumahnya di biarkan kosong dan tak berpenghuni. Lalu, pengakuannya tadi yang mengatakan bahwa baru tiga hari lalu dia datang kemari bersama Arga. Bukankah sangat aneh? Lalu dimana Sarah ketika Luna dan teman-temannya datang. Dan kenapa Arga tidak sekalipun menyinggung keberadaan Sarah di kediaman kedua orang tuanya? Daripada terus memikirkan dan menyatukan kepingan puzzle. Luna berencana mencari tahu keberadaan Arga yang menghilang entah kemana. Luna pun turun dari ranjang. Dia keluar dari kamar Arga semasa muda dan memutuskan berkeliling di lantai dua rumah itu. Tapi, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana. Lalu, Luna turun ke lantai bawah. Dia pun mulai mendengar suara percakapan, dari pintu ruang kerja Ayah mertuanya yang terbuka. Luna lebih memilih menyembunyikan tubuhnya di tempat yang menurutnya aman dan mulai menguping. "Sejauh ini apa Luna mulai curiga?" Itu suara Burhan, mertuanya. "Semoga tidak." Itu suara Arga. "Dan sejauh apa hubungan kalian sebagai pasangan suami istri?" Bola mata Luna membulat. Tangannya segera menutup mulutnya mencegah suara yang akan keluar dari sana. Siapa? Suami istri siapa yang di maksud mertuanya? Arga dan Luna? "Papi bukannya tidak mau menambah cucu. Tapi ada kalanya kalian menundanya." Jantung Luna berdetak kencang. Menunda? Kenapa? "Kalian tau, kalian hanya menikah siri dan pernikahan kalian di sembunyikan. Jika Sarah hamil, lambat laun kebohongan kalian akan terbongkar." Deg. Deg. Menikah siri? Siapa? Luna menjadi linglung, karena seingatnya Agra dan Sarah menikah resmi. Dan—Luna membungkam mulutnya ketika mendengar suara Arga. "Kami hati-hati, Pi. Iya kan, Sar?" Jatuh sudah pertahanan tubuh Luna. Luna jatuh terduduk dengan tubuh bergetar. "Iya, Pi. Sekar juga rutin meminum pil." Jadi selama ini? Luna ingin berteriak dan menghampiri mereka. Tapi, dia masih menahannya sekalipun amarahnya cukup berkobar. Kenapa mereka jahat menyembunyikan ini semua? Salah Luna apa sampai Arga tega seperti ini padanya? Dengan tubuh bergetar, Luna mencoba berdiri. Dia memaksakan diri menaiki satu persatu tangga menuju kamar Arga di lantai atas. Luna kali ini tidak akan menangisi hidupnya setelah di bohongi besar-besaran. Luna pikir semua yang ada di rumah ini baik hatinya, namun ternyata mereka sama busuknya untuk membuatnya hancur. Luna menyeringai dalam kepedihannya. Baiklah. Mereka yang memulai. Kenapa Luna tidak memulai juga? Mungkin dengan kejutan kecil? Sayangnya, mereka salah bermain-main dengan Luna. ** Luna duduk di kantin sebuah rumah sakit bersama Hesti yang memang bekerja sebagai dokter umum di instalasi gawat darurat di sana. Luna meneguk air mineralnya dan menatap sahabatnya. "Lo yakin lepas kontrasepsi Lun?" "Kenapa enggak. Gue mau bikin kejutan buat suami gue." Hesti menghela napasnya dan mengangguk. Luna sendiri tidak bercerita tentang masalahnya, toh dia tidak ingin teman-temannya terlibat dan mengetahui betapa bobrok rumah tangganya. "Jadi nggak nih ke salon?" "Jadi dong.." "Kenapa sih? Tumben. Biasanya lo perawatan rambut sendiri di rumah." "Gue mau potong pendek rambut gue." "Hah? Bukannya Arga nggak suka? Lo pernah cerita gue kalau A—" "Karena gue bosan. Sudah yuk, keburu sore." Luna menatap jam yang ada di pergelangan tangannya dan beranjak pergi setelah meraih tasnya dari sana. Dia berjalan bersisian dengan Hesti sampai ke parkiran rumah sakit. ** Arga merenggangkan ototnya yang terasa kaku dan tetap melanjutkan langkahnya memasuki kamarnya bersama Luna. Arga tidak mendapati Luna di kamar mereka. Arga pun memilih meletakkan tasnya di sofa yang ada di kamarnya dan mengganti bajunya. Saat dia ingin ke kamar mandi, dia cukup tertegun memandang Luna dari belakang. "Kamu potong rambut?" Luna yang tengah menyikat gigi menghentikan gerakannya dan berbalik, mereka saling berpandangan. "Bosan rambut panjang." Arga mendekat berdiri tepat di samping Luna. "Aku nggak suka kamu potong rambut tanpa izin ke aku." Luna berkumur dan meletakkan sikat gigi di tempatnya. "Aku nggak mau ribut gara-gara rambut." "Lun—" Arga menarik lengan Luna yang akan berbalik. "Kamu janji nggak akan potong rambut tanpa izin aku." Luna tertawa kecil dan mendesah. "Ayolah, Mas. Karena rambutku, kamu jadi semarah ini." Luna maju selangkah, tangannya terulur menyentuh d**a Arga. "Daripada marah-marah. Bukankah lebih baik kita senang-senang?" Luna mundur selangkah. Tali kimononya ia lepas, membuat kimono itu terjatuh dan menampakkan ia tanpa balutan apa pun di tubuhnya. "Bercinta di kamar mandi nggak buruk. Ayo coba lagi." Luna mendorong tubuh Arga ke dinding dan mencumbunya. Malam itu Luna seolah menjadi wanita binal, karena dia sudah berjanji akan membalas rasa sakit hati dan pengkhianatan Arga. Namun, secara perlahan. Ya perlahan agar Arga bisa merasakan rasa sakit di hatinya. **          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN