Elian pernah bilang kan, kalau cowok itu punya kadar kepercayaan yang tinggi. Dan sampai sekarang pun tak berubah. Hanya karena Elian memanggilnya Kak, pikiran cowok itu melayang kemana-mana.
"Panggilan itu ngingetin aku waktu pertama kita ketemu, El. Kamu inget nggak? Kita ketemu di kantin dan kamu manggil aku Kak Raken." Raken mengacak-acak atas kepala Elian. "Kamu nggak berubah deh. Jangan-jangan, perasaanmu ke aku juga nggak berubah, ya?" kata cowok itu.
Elian tentu saja ingin menendang s**********n cowok itu. Memukul perutnya dan menjambak rambutnya. Tapi ia tak melakukannya, karena bisa saja ia kena kasus pidana karena kekerasan di lingkungan kampus. Elian hanya memasang wajah datar. Berharap cowok itu segera tahu kalau omongannya tidak lucu.
Sama sekali tidak lucu.
"Kenapa kamu diam?" tanya Raken saat Elian hanya diam di depannya.
"Terus gue harus ketawa?" Elian menarik Keisha ke depan. "Udah ketemu asistenmu ini kan, Kei? Kalo gitu gue balik dulu," kata Elian.
Keisha menahan tangan Elian. "Ntar dulu..." ucapnya.
"Kenapa?"
"Tungguin gue."
Elian mengangkat alisnya dan Keisha berkata, "Gue mau nebeng pulang," katanya dengan senyum lebar.
Elian memutar matanya. "Cepetan ya, gue tunggu di sana," kata Elian sambil menunjuk kursi di depan studio akhir.
Keisha mengangguk dan Elian segera menyingkir dari sekitar Raken. Cewek itu memperhatikan Raken yang tengah mengoreksi laporan Keisha. Terlihat sangat serius hingga beberapa kali menaikkan kacamatanya. Elian tahu mata cowok itu memang minus, meskipun tak terlalu tinggi.
"Makasih, Kak. Nanti aku kirim revisinya lewat email," kata Keisha sambil memasukkan laporannya ke tasnya.
Raken melirik Elian yang duduk tak jauh darinya. Lalu mendekati Keisha dan berbisik pada temannya itu. Cowok itu melakukannya dengan sengaja agar Elian tak mendengar perkataannya. Tanpa sadar, Elian mengepalkan tangannya. Apa sih yang mereka bicarakan?
Elian berdiri ketika Keisha mendekatinya. "Udah selesai?" tanya Elian.
"Sebentar gue ke toilet dulu. Tunggu di sini jangan pergi!" ujar Keisha tiba-tiba sambil melempar tasnya pada Elian.
Elian sedikit terkejut dan bersiap pergi ketika Raken berjalan mendekatinya. Sialan, pasti Keisha sengaja pergi biar Elian berduaan sama cowok itu. Elian memaki Keisha dalam hati.
"Eh, kamu masih di sini?" tanya Raken dengan senyun kecil.
"Ini gue mau pergi. Tenang aja gue bukannya nungguin lo, kok. Gue bukan cewek bodoh yang selalu nungguin lo setiap pulang sekolah seperti dulu." Elian berbalik tanpa menatap Raken. "Gue nggak akan melakukan hal yang lo nggak suka lagi. Jadi jangan khawatir, Berengsek!" kata Elian.
"Elian, tunggu.." ujar Raken sambil menahan tangan Elian.
Elian segera berbalik. "Ada apa?" tanya Elian.
"Aku mau minta maaf. Kalo kamu masih membenciku karena kejadian dulu, aku minta maaf. Rupa-rupanya aku belom pernah minta maaf dengan bener ke kamu," kata Raken dengan serius.
"Gue nggak butuh kata maaf lo."
"Nggak masalah kalo kamu belom maafin aku. Tapi aku ingin kamu tahu kalo aku menyesal. Aku akui, aku emang kekanak-kanakan dulu."
"Lo nggak kekanak-kanakan, lo itu berengsek, dan sekarang pun nggak berubah." Elian memandang rendah Raken. "Gue nggak butuh kata maaf lo, gue cuma nggak suka dengan kehadiran lo. Jadi lebih baik kita saling menghindar di kampus. Nggak susah, kan? Lagian lo bentar lagi lulus," kata Elian.
"Oke."
Elian terkejut dengan jawaban Raken yang begitu cepat. Seperti menunjukkan bahwa cowok itu memang ingin menjauh darinya.
"Kalo gitu, lepasin tangan gue dong," kata Elian sambil menyentak tangannya yang masih di genggam Raken.
Raken mengangkat tangannya. "Oiya, maaf."
Elian berniat pergi ketika Raken kembali berkata. "Aku nggak masalah kalo kamu nggak mau bertemu aku lagi, tapi aku mau ngasih tau kamu satu hal, Elian." Raken berdiri di hadapan Elian dengan wajah serius. "Pacar kamu yang sekarang, bukan cowok yang baik. Kamu udah setengah tahun pacaran sama dia, kamu nggak ngerasa ada yang aneh?" tanya Raken.
Kening Elian berkerut tajam. Apakah Elian pernah merasa aneh pada Nandika?
Tidak juga.
Kecuali, mungkin Nandika yang sering mengajak Elian ke rumah dan bertemu orang tuanya. Juga pertanyaan yang tak pernah dijawab oleh Nandika, yaitu kenapa cowok itu memilih tinggal di kos, padahal rumahnya tak begitu jauh dengan kampus.Tapi selain itu, tak ada yang aneh dengan pacarnya itu. Dan pastinya keanehan itu tak sebanding dengan yang dilakukan Raken sekarang.
Kenapa cowok di depannya ini sok peduli padanya? Lalu kenapa kalau Nandika bukan cowok baik? Lagian alasan Elian berpacaran sama Nandika bukan karena dia baik. Dan semua itu sama sekali bukan urusan laki-laki itu.
"Nggak tuh. Nggak ada yang lebih aneh dari lo yang sekarang sok khawatir sama gue." Elian menyampirkan tas Keisha ke bahunya. "Dan meskipun Nandika bukan cowok baik-baik, gue bisa menjaga diri dan dia nggak bakal bisa ngapa-ngapain gue. Gue bukan lagi cewek bodoh yang nggak sadar saat dipermainkan sama cowok berengsek kayak lo lagi, Raken," kata Elian.
"Kamu tau bukan itu maksudku, El. Aku cuma khawatir kalo kamu kenapa-kenapa," kata Raken.
"Emangnya apa yang bisa Nandika lakukan? Kemungkinannya nggak bakal lebih buruk dari yang lo lakukan ke gue dulu, Raken. Jangan sok jadi cowok baik kayak gini. Lo bener-bener nggak pantes," kata Elian dengan tajam.
Wajah Raken yang semulai santai, kini berubah menjadi serius. Elian bisa merasakan cowok itu marah karena ucapannya. Tapi Elian tak menyesal sama sekali. Raken harus sadar kalau Elian sudah no respect padanya.
"Aku cuma ngasih tau. Terserah kamu percaya atau nggak," kata Raken.
Tiba-tiba pintu studio akhir terbuka dengan kuat dan hampir membentur kepala Elian. Secepat kilat, Raken menyadari itu dan memeluk Elian untuk melindungi kepalanya. Elian terkejut - bukan karena pintu yang hampir menabraknya, tapi karena pelukan Raken yang masih memberi efek seperti tiga tahun yang lalu. Elian mematung, jantungnya berdebar keras. Dan Elian benci itu, menyadari Raken masih memberikan pengaruh sebesar itu padanya.
Raken melepas pelukannya. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Raken yang tampak khawatir.
Elian mengira cowok di depannya itu sedang berakting, mengerjainya, dan mempermainkan hatinya seperti dulu lalu menertawainya. Raken tak pernah mengkhawatirkannya selama ini. Bahkan ia mempermalukannya di depan banyak orang tanpa merasa bersalah ataupun menyesal. Di mata Elian, Raken adalah cowok yang seperti itu. Dan ia tak akan jatuh pada kebodohan yang sama.
Tidak akan.
Seorang laki-laki angkatan 2016 yang Elian tak tahu namanya, muncul dari balik pintu. "Sorry, gue nggak tau kalo ada orang."
Laki-laki itu melihat Raken dan menatapnya dengan rasa bersalah. "Sorry, Ken," katanya.
"Santai aja," balas Raken.
Laki-laki jangkung itu meminta maaf juga pada Elian lalu memakai sepatunya. Laki-laki itu pergi meninggalkan Elian berdua dengan Raken. Elian melihat Keisha dari kejauhan dan perempuan itu langsung berlari mendekati Keisha. Meninggalkan Raken yang masih berdiri di tempatnya.
"Sialan lo ya! Lo sengaja ninggalin gue biar bisa berduaan sama k*****t itu, kan?" Elian melempar tas Keisha ke pemiliknya dengan kasar. "Pulang sendiri, gue ogah nganterin lo," kata Elian.
Keisha tertawa di belakang Elian. "Gue juga udah nyuruh kakak gue buat jemput. Gue tau lo bakal ngamuk."
Keisha berhenti melangkah ketika Elian berbalik menatapnya tajam. "Gue nggak ada pilihan lain. Si Raken itu bilang minta waktu berduaan sama lo atau dia nggak akan ngesahin laporan gue, El. Gue nggak bisa menolak, dong," kata Keisha.
"Lo emang bodoh atau pura-pura bodoh, sih? Ancaman kayak gitu dan lo percaya, Kei? Dia kan asisten lo, mana mungkin dia nggak ngesahin laporan lo. Yang ada dia yang bakal dihukum Bu Sperisa," kata Elian.
Keisha tersenyum kecil, "Yah, ketauan."
"Apa?" tanya Elian.
"Gue emang sengaja ninggalin kalian berdua. Soalnya Raken keliatan pengen bicara sama lo, sih."
Keisha menyusul Elian dan berdiri di depannya. "Ngomong-ngomong, apa yang lo bicarain sama dia? Dia ngomong apa ke lo, El? Jujur gue kok merasa tuh cowok masih suka sama lo ya, El?" kata Keisha.
"Masih? Dia nggak pernah suka sama gue. Dia cuma mainin gue. Lo liat sendiri dulu dia jadiin gue barang taruhan. Hanya untuk sebuah ponsel murahan, Kei!" ujar Elian dengan wajah marah.
"Iya sih, tapi tetap aja -"
"Gue bener-bener benci dia. Jadi jangan sekali lagi ninggalin gue buat berduaan sama dia kayak tadi," kata Elian.
Keisha mengangguk," Oke."
Elian membuka pintu mobilnya. "Lo beneran dijemput kakak lo?" tanyanya.
Keisha membuka ponselnya. "Dia baru ngasih tau kalo masih ada rapat di FEB," kata Keisha.
"Ya udah sini gue anterin aja. Tau juga kakak lo sibuk setelah dilantik jadi Ketua BEM FEB, masih aja lo suruh jemput-jemput." Elian masuk ke mobilnya diikuti oleh Keisha. "Mending lo cari kesibukan biar nggak pulang-pulang terus. Ikut organisasi kek, apa ikut lomba-lomba gitu. Lo kan jiwa kompetitif banget. Kenapa sekarang diem-diem aja?" lanjut Elian setelah mereka masuk mobil.
"Gue nggak nyangka denger nasehat ini dari orang kayak lo. Seharusnya lo yang cari kesibukan, El. Biar hidup lo nggak kuliah-kencan kuliah-kencan aja." Keisha tersenyum lebar pada Elian. "Ngomong-ngomong, gue bakal ikut PKM taun ini. Lo tau PKM kan? Jangan bilang lo nggak tau!" kata Keisha.
Elian menggeleng dengan wajah polosnya dan Keisha mendesah panjang. "Kan kaprodi kita baru aja ngasih sosialisasi kemarin, El. Lo juga ikut, kan? Jelas-jelas lo duduk di samping gue! Masa lo nggak dengerin mereka sama sekali, sih?" tanya Keisha dengan gemas.
"Kan gue nggak tertarik," jawab Elian.
"Okelah. Gue jelasin dikit ya. PKM itu program kreativitas mahasiswa, jadi kayak lomba gitu yang diadakan Menristekdikti. Ada beberapa cabang, tapi gue mau ikut yang riset - sesuai sama jurusan kita, kan. Sebenernya kemarin Pak Haidar nawarin anak di kelas gue buat ikut bimbingan dia. Lo tau berapa orang yang angkat tangan?" tanya Keisha.
"Satu? Lo doang?" ujar Elian.
"Hampir setengah kelas, El. Bayangin, kita masih semester 3, tapi banyak yang udah mau ikut lomba kayak gitu. Mungkin gara-gara dibimbing sama Pak Haidar kali, ya." Keisha tersenyum bangga ke arah Elian. "Pokoknya, Pak Haidar milih anak yang nilainya paling tinggi di antara mereka yang angkat tangan. Dan gue yang kepilih," kata Keisha sambil tertawa lebar.
"Dasar dosen gila nilai," sahut Elian yang masih fokus menyetir.
"Intinya, gue seneng banget dibimbing sama Pak Haidar. Kayaknya gue bisa lihat wajahnya tiap hari, deh. Gue ditunjuk sebagai ketua tim dan dia nyuruh gue cari tiga anggota lain." Keisha melirik Elian. "Lo tertarik ikut?" tanyanya.
Elian mengerem mobilnya mendadak saat lampu merah. "Nggak. Gue sama sekali nggak tertarik," kata Elian.
"Gue tau lo nggak bakal berguna saat penelitian atau penyusunan laporan nanti. Tapi lo berguna untuk bantu desain sama presentasi. Nanti bakal ada lomba poster juga, jadi gue mau cari orang yang jago desain. Dan gue mau banget lo gabung tim gue, El," kata Keisha.
"Nggak mau. Gue nggak mau desain buat poster ilmiah. Itu sama sekali nggak menarik, apalagi penelitian. Lo kayak nggak kenal gue aja, Kei! Lagian gue nggak mau ya dapet dosen pembimbing Pak Haidar," kata Elian dengan kesal.
"El, bantuin gue kali ini aja lah. Ini juga buat kebaikan lo. Biar lo ada kerjaan juga selain kuliah." Keisha menatap Elian dengan penuh permohonan. "Oiya, gue denger juga kalau kita berhasil menjadi juara, katanya kita bisa dibebaskan dari tugas akhir. Katanya lomba ini bakal gantiin SKS tugas akhir. Ini kesempatan langka, El."
Elian membalas tatapan Keisha. Terlihat sedikit tertarik mendengar pembebasan tugas akhir itu. Elian tergoda dengan penawaran Keisha, tapi ia tersadar sesuatu.
"Tapi itu kan kalo kita menang. Nggak ada jaminan juga kita bakal menang. Gue tetap nggak mau," kata Elian akhirnya.
"Kalo gue bisa jamin kita menang?"
Mata Keisha berbinar dan terlihat sangat bersemangat. "Lo tau gue, kan? Gue selalu totalitas kalo ikut lomba. Lo juga liat berapa piala sama medali di rumah gue. Dan penelitian ini tuh, udah disiapkan Pak Haidar dari dulu. Kita tinggal eksekusi dan bakal ada kakak tingkat yang bantuin juga. Gue suka topiknya dan gue suka dibimbing Pak Haidar. Saat ini, semuanya sempurna dan gue yakin bisa menang. Kampus kita juga salah satu yang terbaik, kan? Pokoknya, gue nggak bakal ngecewain lo! Jadi ikut aja sebelum gue cari orang lain, El," kata Keisha dengan penuh percaya diri.
Elian diam sebentar. Sebenernya tidak ada yang merugikannya. Mengikuti lomba juga tidak akan menyita banyak waktunya karena ia tahu Keisha akan melakukan semuanya dengan baik dan tertata. Lagipula, dia cuma harus fokus dengan desain, kan? Itu hal mudah yang bisa Elian lakukan dengan baik.
"Oke," kata Elian dengan ragu.
Perempuan itu lalu menatap Keisha dengan tajam. "Tapi kalo lo nggak menang, lo harus beliin gue tiket konser BTS di Seoul tahun depan!" ujar Elian.