PARTE 6

1808 Kata
Elian tidak pernah menyangka hubungannya dengan Nandika akan bertahan selama ini. Sudah terlewat enam bulan saat ia menerima perasaan Nandika di parkiran Gedung Laboratorium Selatan fakultasnya. Hal ini cukup mengejutkan karena Elian tidak pernah berpacaran lebih dari tiga bulan sebelumnya. Ia tidak pernah bisa terbuka dengan dengan siapapun, membicarakan dirinya atau kehidupannya dengan siapapun, itulah alasan kenapa Elian putus berkali-kali. Bahkan ia pernah mengatakan kepada orang tuanya bahwa dirinya tidak akan menikah. Elian hanya akan mengadopsi anak dan hidup sendiri dan membangun rumah besar di dekat pantai. Karena hal itu, Elian dikurung di kamarnya selama satu minggu dan hanya boleh makan sayuran tanpa mendapat asupan protein. "Kalau kamu nggak mau menikah, Mami akan mengirim kamu menjadi biarawati. Kamu harus mulai terbiasa dengan makanan di sana," kata Maminya setiap kali ke kamarnya untuk mengantarkan makanan. "Mami nggak bakal mengijinkan kamu jadi perawan tua. Kalau kamu memilih hidup seperti itu, lebih baik kamu menjadi biarawati." Kalau ada yang bertanya kenapa ia tidak minta putus kepada Nandika, Elian pun tak tahu. Apakah Elian menyukai Nandika? Elian hanya diam saat kepalanya mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan konyol itu lagi. "Mungkin. Hati gue bukan batu. Bagaimana gue bisa menahan dari perhatian Nandika selama setengah tahun ini kepadanya," batinnya. "Sini mangkoknya, biar aku yang ngembaliin," kata Nandika sambil membawa mangkok dan gelas Elian menuju belakang kantin. Elian tersenyum lebar. Ini salah satu kenapa ia suka memiliki pacar. Karena ada orang yang melakukan semuanya untuknya. Mungkin jika Elian menyuruh Nandika untuk terjun ke sungai belakang kampus pun, laki-laki itu akan melakukannya. "Kamu ada acara ntar sore?" tanya Nandika saat mereka berjalan keluar kantin. "Nggak ada. Kenapa emangnya?" tanya Elian. "Mau ngajak nonton." Nandika tersenyum manis di depan Elian. "Mau nggak nonton ntar malem?" tanyanya. "Gue mau-mau aja, sih. Tapi orang tua gue lagi di rumah minggu ini. Mereka gak bakal ngeizinin gue pulang malem. Apalagi abang gue yang nggak rela hidup gue bahagia itu," kata Elian. Nandika memasang wajah cemberut. Seperti berharap Elian berubah pikiran. Tapi Elian tetap menggeleng tegas. Ia tak mau mengambil resiko pulang malam dan dikunci di luar oleh orang tuanya. Pernah sekali - waktu SMA Elian nekat pergi malam bersama Keisha untuk nonton konser dan perempuan itu berakhir tidur di garasi rumahnya semalaman. Untung garasi rumahnya ada ruangan kecil yang bisa ia tiduri, kalau tidak, sudah dipastikan Elian harus tidur di emperan rumahnya. "Okelah. Kalau gitu besok sore aja. Kayaknya filmnya masih ada buat besok sore," kata Nandika akhirnya. "Oke. Besok sore," ucap Elian. Nandika tersenyum lebar dan laki-laki itu meninggalkan Elian menuju kelasnya. Setengah tahun berpacaran membuat Elian hafal jadwal kuliah Nandika. Laki-laki itu ada kelas Gambar Teknik sampai pukul tiga sore. Sedangkan Elian sudah tidak ada kelas lagi. Perempuan itu baru saja akan menuju parkiran ketika seseorang memanggilnya. "Elian!" teriak Keisha. Kening Elian berkerut melihat Keisha berlari ke arahnya. Sahabatnya itu tak pernah berlari sebelumnya. Bahkan jika ada ular di dekatnya, mungkin Keisha tetap berjalan dengan santai, seperti tak ada yang terjadi. Pokoknya Elian yang paling tahu sahabatnya itu tak pernah panik, karena semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Dan tak ada yang membuat Keisha lari dengan wajah panik seperti sekarang - kecuali kiamat atau sesuatu yang berhubungan dengan kuliah - atau nilainya. "Kenapa?" tanya Elian sambil mengangkat alisnya. "Gue nggak bisa nemuin mantan lo," kata Keisha dengan sangat serius, seolah memberitahu Elian bahwa besok matahari terbit dari timur. "Terus kenapa?" tanya Elian tak mengerti. "Hari ini gue terakhir ACC laporan praktikum. Gue harus konsultasi sama dapet tanda tangan mantan lo itu. Tapi gue nggak tau dia dimana," kata Keisha. Elian membuka pintu mobilnya. "Gue juga nggak tau dia dimana, Kei. Kenapa nggak lo chat dia aja sih? Kenapa tanya ke gue? Gue bukan emaknya kali," kata Elian dengan wajah kesal. Dahi Keisha berkerut. "Kali aja lo tau." Perempuan itu membuka ponselnya. "Chat gue nggak dibaca dari tadi pagi," lanjutnya. "Lo nggak penting kali," ujar Elian. Keisha menutup pintu mobil Elian dan menarik perempuan itu mengikutinya. "Pokoknya lo harus nemenin gue cari tuh manusia. Gue nggak bisa pulang tenang sebelum dapet tanda tangan dia. Kenapa nyari tuh bocah lebih sulit daripada nyari rektor kampus, sih?" racau Keisha sambil menarik tangan Elian. "Lepasin nggak, Kei! Gue ogah nyari tu cowok. Lo sendiri aja kenapa, sih?" ujar Elian dengan kesal. "Gue nggak berani ke studio akhir sendiri. Lo tau tuh tempat isinya anak angkatan akhir semua. Gimana kalau gue kenapa-kenapa? Kan nggak ada yang nolongin kalau nggak bawa orang, El," kata Keisha. Elian tak mengerti apa maksud Keisha. Tapi sudah terlambat untuk perempuan itu melarikan diri. Mereka sudah sampai di depan pintu studio akhir. Suatu ruangan khusus untuk mahasiswa tahun terakhir mengerjakan tugas akhirnya. Ruangan itu memang berada tepat di samping parkiran. Seperti biasa, banyak sepatu di luar ruangan, yang menandakan ruangan itu pasti berisi banyak mahasiswa tua. "Lo masuk sendiri lah, gue ogah ketemu itu k*****t," kata Elian. "Nggak bisa lah. Kalau lo nunggu di sini, apa fungsinya gue ngajak lo, Bodoh. Lo harus ikut gue masuk." Melihat Elian akan menolak, Keisha segera berkata lagi. "Sebentar aja. Lo berdiri di belakang gue. Gue konsultasi sebentar - nggak ada sepuluh menit, terus kita pulang. Nggak susah kan, El?" rayu Keisha. Elian masih tak melepas sepatunya dan Keisha berkata lagi. "Tugas kalkulus besok, gue bakal ngasih jawaban gue ke lo, deh. Lo tau gue paling nggak suka kecurangan, kan? Tapi gue bakal kasih jawaban ke lo asal mau nemenin gue masuk," kata Keisha. Elian tersenyum kecil lalu menjabat tangan Keisha. "Oke. Jangan berubah pikiran! Awas lo!" ujar Elian sambil melepas sepatunya. Keisha membuka pintu studio akhir itu dan Elian langsung merasakan hawa dingin menyerbunya. Ruangan itu sangat dingin, dengan lampu yang sangat terang, dan sangat luas. Dari luar ruangan itu terlihat hanya seukuran kelasnya, tapi ternyata lebih besar. Ada beberapa bilik kayu yang sudah dipenuhi orang-orang. Tak ada yang berbicara dan semua fokus pada laptopnya. Keisha menggenggam tangan Elian dan memutari bilik itu satu-satu. Tak ada cara lain untuk menemukan Raken selain dengan cara itu. Tak mungkin Keisha tiba-tiba berbicara dan membuat semua orang memperhatikannya, kan? Keisha adalah orang yang tak suka perhatian. Elian berbisik ketika mereka sudah mencapai ujung bilik. "Kayaknya tuh k*****t nggak ada di sini deh," bisik Elian pada Keisha. "Iya nih, kok orangnya nggak ada, sih?" balas Keisha. Seorang laki-laki berambut gondrong berdiri. Membuat Elian dan Keisha seketika mundur. Elian tak asing dengan laki-laki itu. Dia adalah laki-laki yang sering bersama Raken. Mengikuti k*****t itu kemanapun ia pergi. "Cari siapa?" tanya laki-laki itu dengan wajah datarnya. Keisha tampak gugup. "Saya mencari Kak Raken. Mau konsultasi," jawabnya. "Ah, Raken nggak ada di sini. Kayaknya dia masih di kantin. Cari aja di sana," kata laki-laki itu. "Benarkah? Oke, Kak. Makasih infonya," balas Keisha sambil menarik tangan Elian pergi dari ruangan itu. Setelah keluar dari studio akhir, Elian menarik napas panjang. "Rasanya gue nggak bernapas di sana. Kenapa semua pada fokus gitu, sih? Kayak lagi ngerjain ujian kehidupan aja," kata Elian asal. "Iyalah, El. Lo belom pernah lihat tugas akhir jurusan kita, ya? Itu horror banget. Butuh ketelitian dan fokus yang tinggi. Lo nggak bisa lulus dari sini sambil ketawa-ketawa, El. Lulus dari sini nggak gampang, tahu kan lo?" Tentu saja Elian tahu. Tapi ia tak menjawab pertanyaan Keisha. Elian sudah sangat sadar betapa ribetnya kuliah di jurusan Teknik Kimia. Bukan hanya materi dan ujian yang membuat otaknya keriting. Tapi syarat kelulusan yang sangat banyak. Sebut saja ada penelitian, magang, KKN, dan tugas akhir. Elian tak yakin bisa melewati itu semua. Mereka sampai di Kantin Utara dan Keisha langsung berjalan menuju meja nomor lima. Meja yang sering digunakan geng Raken - yaitu anak-anak yang dulunya anggota himpunan di jurusan mereka. Tentu saja, meja itu sudah dipenuhi banyak laki-laki yang kini menatap Keisha dengan penasaran. Elian yang berdiri di belakang Keisha hanya mengumpat kesal ketika tak menemukan Raken di meja itu. "Raken? Kayaknya dia masih di lantai lima, kelas Termodinamika 2. Tadi dia diminta Pak Joko ngumpulin jawaban kuis anak semester 5, kayaknya masih ada yang belom selesai ngerjain," kata salah satu teman Raken. Elian melihat wajah Keisha mulai kesal, tapi temannya itu tetap memaksakan senyumnya. "Oke, Kak. Makasih infonya, kalau gitu aku akan mencari Kak Raken ke lantai 5," katanya. Keisha menarik tangan Elian keluar kantin dan menariknya menuju Gedung 1. Elian mencoba menolak, tapi tarikan Keisha begitu kuat. "Lo serius mau ke lantai 5?" tanya Elian tak percaya. "Iyalah. Gue mau cepet pulang. Lo juga tau banyak tugas hari ini. Kalau gue nunggu si Raken itu bales chat gue atau turun ke bawah, gue nggak bakal sabar. Terus ini juga sekalian olahraga sore, Elian. Lo tau berapa kalori yang hilang setelah naik turun ke lantai 5?" kata Keisha sambil menaiki tangga dengan semangat. "Gue nggak peduli sama kalori, Njir. Sumpah gue nyesel ikutan lo nyari si Berengsek itu. Kenapa dia susah banget ditemui, sih? Lagian kampus kita juga nggak luas-luas amat. Kenapa gedung ini nggak ada lift-nya? Kayak kampus orang miskin aja," kata Elian yang mulai kelelahan. "Omongan lo, ya. Jahat banget," kata Keisha. Mereka sampai di lantai lima dan Elian langsung melepaskan tangan Keisha. Temannya itu langsung mendekati kerumunan anak yang selesai kelas. Elian menyusul Keisha dan berdiri di belakangnya. "Raken? Bukannya dia lagi di studio akhir, ya?" kata cewek berambut pendek, teman seangkatan Raken yang jaket jurusannya tertulis nama Riana itu. "Tapi aku tadi cari di studio akhir nggak ada kok, Kak," balas Keisha. "Dia ada di sana sejak tadi." Cewek itu membuka ponselnya dan menghubungi seseorang. "Gue tahu karena Raken partner penelitian gue. Dan kita baru konsultasi ke dosbing. Tapi Raken langsung ke studio baca tadi," lanjutnya. Telepon Riana tersambung dan cewek itu berbicara. "Dimana lo?" tanya Riana. Orang di telepon sepertinya menjawab dan Riana berkata lagi, "Ada adik tingkat nyariin lo nih. Katanya lo nggak di studio akhir. Lo nggak mungkin ngerjain anak orang sampai naik ke lantai lima kan, Ken?" Ngerjain anak orang? Seketika tangan Elian tergenggam erat. Elian juga sempat melihat wajah Keisha yang mulai masam. Beraninya cowok itu mempermainkannya. Darah Elian mulai mendidih dan menyadari ia harus turun lima lantai lagi - membuat cewek itu tak bisa menahan amarahnya. "Awas aja kalo cowok itu emang sengaja ngerjain kita, Kei. Gue bener-bener bakal bunuh dia ntar malem," kata Elian. "Gue ikut," balas Keisha yang tampak kesal juga. Mereka sampai di lantai satu dan keluar menuju studio akhir. Saat itu, Elian melihat pintu studio akhir terbuka dan wajah Raken muncul. Cowok itu terkejut melihat Elian dan akan menutup pintunya lagi, tapi Elian sudah berteriak. "Kak Raken!" teriak Elian. Cowok itu terlihat lebih terkejut mendengar Elian memanggilnya Kak. Raken mematung dan Elian langsung mendekati cowok itu. Menutup pintu di belakangnya dengan kasar. Sedangkan cowok itu seperti biasa, hanya tersenyum miring pada Elian. Membuat Elian bertambah kesal dan ingin memakinya. "Lo sengaja ngerjain gue ya, Bereng-sek?" tanya Elian. Raken tak berhenti tersenyum. "Sebelum itu - gue mau memastikan. Lo baru aja manggil gue Kak Raken, kan? Apa gue yang salah dengar?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN