Saat berada di jalan pulang, Panca sempat lewat di depan sebuah toko roti yang juga menjual kopi hangat. Ingatan pria itu justru kabur ke arah Sona yang saat ini tengah dalam kondisi sakit. Entah setan apa yang kiranya merasuki jiwa Panca hari itu, dia yang semula tak pernah sedikit pun melirik kea rah Sona, kini malah memikirkannya seharian. Apa lagi setelah perempuan itu jatuh sakit, tak lama setelah insiden yang terjadi pada putra mereka. Ah, sungguh, bolehkah Panca memanggil Arjuna dengan sebutan ‘putra mereka’ yang berarti putranya dengan Sona alih-alih berkata ‘putra aku dan Ratih’? entah lah sejujurnya Panca juga tidak tahu pasti. Dia bahkan ragu apakah ia boleh berkata begitu atau tidak. Semuanya terasa salah, dan Panca tak bisa berpikir jernih mengenai hal itu. Satu sisi, secara