POV Luna
Setelah puas bermain, Ketiga temanku itu permisi pulang. Tinggal aku dengan dia. Ku kira ia akan mengantarkan aku kembali ke hotel. Aku lebih banyak diam ketika ia mengendarai mobil. Ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Siapa perempuan yang bersamanya tadi. Kenapa ia minta kami menikah sementara ia punya seseorang. Apa karna tidak disetujui orangtua ? Ah..itu artinya aku tak pernah ada di hatinya.
Stop Luna ! Kenapa kamu jadi berharap Devan menaruh hati padamu. Jelas jelas pernikahan ini demi tujuan tertentu tapi bukan cinta. Sialnya aku terjebak di dalamnya.
" Turun ! " titahnya. Sekian kalinya ia hanya bisa memerintah. Aku melihat kami bukan di parkiran hotel tempat aku menginap.
" Kok nggak ngantar aku balik ke hotel ? " protesku. Ia menoleh sebentar saat membuka seatbelt lalu keluar begitu saja.
" Kamu nggak nanya " enteng sekali jawabannya. Ku ikuti langkahnya masuk ke sebuah apartemen.
Hari semakin sore, Kami masuk lift, satu sisi hatiku tak menyalahkan tindakannya membawa kami ke satu ruangan berdua saja. Toh kami suami istri yang sah. Satu sisi lagi, aku merasa bersalah sama pak Satya karna aku janji akan pulang lebih awal, pak Satya wanti wanti kalau aku pulang jangan terlalu malam.
Pintu lift berdenting. Ia menarik tanganku karena tak bergerak sama sekali.
" Lepasin Dev " pintaku sambil menarik tanganku, tapi ia menahannya malah makin memangkas jarak kami.
" Kok pucat ? apa yang kamu takutkan ? takut aku minta unboxing ? " bisiknya yang membuat mataku membulat. Belum sampai di unitnya saja. Pikirannya sudah traveling untuk hal itu. Apalagi kami ada dalam kamar yang sama. Ku pukul lengannya. Ia malah terkekeh dan mencubit daguku. Seorang perempuan paruh baya yang terlihat mengenal Devan melemparkan senyum.
" Good afternoon, Devan. Is she your wife ? so beautiful " puji nenek itu, aku mengangguk padanya.
" Good afternoon, Mrs. Gwen, that right. The woman that I love so much " jawabnya. Nenek itu mengangguk angguk lalu masuk ke dalam unitnya yang bersebrangan dengan unit Devan.
" Katarakan kali tu nenek, bilang kamu cantik, dari dulu buluk tetap aja buluk " ucapnya saat menanggalkan sepatu. Ku lempar sendal yang ku diserahkannya.
" Kamu juga, bohong ngggak kira kira, The woman that I love so much. Dari dulu kalau kamu ga bikin aku sakit, kaya nggak bisa tidur malamnya "
Ia mengusap dadanya yang terkena lemparan sendal, lebay padahal sendal rumah bentukan kelinci itu berasa lembut.
" Lebay ! " umpatku sambil memukul d**a itu lebih keras.
" Aduuuuuh " Ia mengaduh dengan suara seperti baru saja ditimpa martil.
" Tuduhan kamu yang membuat ini sangat sakit " ia menunjuk dadamya. Aku mencebik mendengar keluhannya. Tiba tiba aku teringat sesuatu, otak pengacaraku reflek menyampungkan benda yang ku temukan dengan analisa. Kenapa ia punya sandal perempuan di apartemennya ? apa ia hidup dengan gaya orang luar. tinggal di tempat yang sama tanpa ikatan pernikahan.
" Kesambet apa kamu disitu, setan di bawah pohon sekolahan nggak punya duit buat terbang ke Eropa " ucapnya. Aku diam saja, pikiranku mengaitkan sendal yang ada di tanganku dengan perempuan yang ku lihat di rumah sakit. Apa itu pacar Devan yang tak disetujui keluarganya, ia menyetujui menikah denganku karna aku orang paling di dengar nenek. Seteleh kami menikah, ia minta kami cerai lalu memintaku membujuk nenek agar mau menerima pacarnya dan mereka menikah setelah putusan cerai. Kok kedengaran kejam. Apa karna sejujurnya perasaanku dulu pada seorang idola sekolah belum sepenuhnya hilang. No...!no...! aku nggak boleh jatuh cinta lagi padanya.
Aku terkejut ketika tangan Devan sudah berada di pinggangku, seketika aku sudah berada di atas udara. Ia menggendongku, seperti menggendong karung beras.
" Turunin nggak ! turunin " sarkasku. Devan tak peduli.
" Nggak " balasnya. Ku pukul punggungnya sekuat kuatnya. Ia meringis tapi tetap membawaku ke dalam kamar dan menguncinya. Mau apa dia ?
" Devan ! " teriakku. Ia membantingku ke kasur, nggak keras sih. Tapi tetap saja aku tak suka, bersikap lembut pada istri napa. Bukannya kami pengantin baru. Ia membuka pakaiannya, sontak aku berusaha berdiri tapi ia menahan kakiku.
" Dev.., kamu mau apa ? " tanyaku dengan suara serak. Mataku reflek menutup ketika ia tak memakai baju. Muna sih, aku sering lihat bodi bodi pria ganteng di serial web. Masa di depan suami sendiri sok polos.
" Buka matanya sayang, aku mau minta tolong " pintanya, suaranya terdengar dekat, dekat sekali. Perlahan ku buka mata. kepalanya sudah berada di sisi kepalaku. Kedua tangannya memegang pergelangan tanganku yang ia letakkan di atas kepala. Dev.., aku tahu kamu berhak atas tubuhku tapi bukan seperti ini caranya.
" Dev, beri aku waktu. Aku belum siap " rengekku, menatap matanya dengan memohon. Dia menatapku dalam seperti tidak treima.
" Kamu lagi mikirin apa ? " ia menyentil keningku, lalu tertawa terbahak.
" Duduk ! tolong kasih obat ke punggungku " ia membantuku duduk. Ia menunjuk ada perban di punggungnya. Aku terpana melihat punggungnya yang tak mulus. Ada banyak bekas luka di sana, ada beberapa titik yang diberi perban.
" Kenapa ? jijik ? " tanyanya dengan nada menuduh.
" Enggak bukan begitu, ini kenapa ? kenapa kamu bisa dapat luka seperti ini ? " bantahku sambil mengambil alih kotak obat obatan di tangannya. Sejak SMA aku memang aktif di unit kesehatan sekolah. Aku pernah membantunya pura pura pingsan.
" Nanti aku cerita, tolong ganti perbannya " Aku melihat sisi sebelah kirinya memerah. Tepat di samping yang terkena perban. Pasti bekas pukulanku tadi.
" Maaf " cicitku sambil membuka perban. Ia meraih pipiku.
" Maaf untuk ? " tanyanya sambil mengelus pipiku. Tubuhku terasa merinding.
" Aku nggak tau kalau punggungmu terluka "
" Itu sakitnya nggak seberapa, dibanding sakit disini saat kamu bilang kamu benci aku " ia meraih tanganku dan meletakkan di d**a bidangnya yang saat ini sedang polos. Kulitku langsung merasakan dinginnya kulit kencang itu. Aku merengut. Tu kan mulai lagi. Dalam posisi sedekat ini dan dalam keadaan dia tak pakai baju membuat jantungku balapan. Aku melihat roti sobek itu, menggoda. Ish...kemana pikiranku sekarang.
" Cemberut saja cantik, apalagi kalau senyum " ucapnya, seketika aku tersipu. Eit ! nggak ! nggak ! jangan lepas kontrol Luna, pernikahan ini hanya sandiwara. Ia mencubit kedua pipiku. Berani sekali dia, emangnya aku balita.
" Jangan coba coba merayuku, nggak mempan ! " ucapku sambil mengambil jarak. Aku berdiri meraih kotak obat dan memeriksa isinya. Karna suasana hatiku sedang tak karuan, aku jadi lupa SOP mengganti perban.
" Cepat Lun, sebentar lagi malam, kamu mau menginap disini ? " ucapannya membuat aku buru buru melakukan tugasku. Hpnya berdering. Ia mengangkatnya. Iya hanya menjawab singkat lalu mematikan kembali panggilan, Suaranya terdengar kesal.
" Kamu punya hubungan apa sama atasan kamu ? " tanyanya mengintimidasi setelah ia berpakaian kembali. Suara romantis tadi menguap entah kemana, aku merasa dituduh selingkuh.
" Nggak ada, cuma atasan sama bawahan "
" Kok bisa ia sekuatir itu sama kamu, apa dia nggak tahu kalau kamu sudah punya suami ? "
" Dev, kamu tahukan ini impianku, waktu aku keterima kerja, ada persayaratn yang harus aku penuhi yaitu masih single. Aku tekan kontrak untuk masa kerja tiga tahun. Ini baru masuk tahun kedua. Jika ketahuan sudah menikah aku pasti kena sanksi, please mohon kerja samanya " ucapku sambil menangkupkan tangan kedepan d**a.