POV Devan
" Please " suaranya memelas, minta persetujuanku untuk hal yang tidak aku suka. Statusku sebagai suami dia sembunyikan. Aku ingin mengatakan pada dunia kalau dia milikku sekarang, tak ada yang boleh menganggunya kecuali aku.
Ku dekap tangan di d**a sambil memasang muka bengis. Wajahnya semakin imut dengan bertambahnya kusut wajahku, bola mata itu makin berbintang bintang minta dikasihani, rasanya ingin ku makan bibir itu.
" Hmm...tapi aku punya satu syarat " ucapku setelah berpikir lama. Entah kenapa ia menutup bibirnya. Sekarang ketahuan siapa yang pikirannya traveling kemana mana.
" Auu...! " ia menjerit ketika ku pukul keningnya pakai pena.
" Lagi mikirin apa ? ciuman ? tak segampang itu ku berikan hal yang indah itu " ucapku penuh percaya diri. Ia kembali merengut. Giliran pipinya yang rasanya ingin ku gigit.
" Kamu harus laporan 4 kali sehari, Pagi, siang, malam sama tengah malam " lanjutku. Aku menatapnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana.
" Lebih gawat dari minum obat " protesnya. Tapi ia terlihat menyetujui.
" Antarkan aku pulang " ucapnya sambil mencari mantelnya. Ada sesuatu yang aku ingat, kemarin ketika aku berjalan jalan di pusat berbelanjaan. Aku menemukan hiasan yang dulu suka ia pakai diatas pena. Tapi ia keburu berjalan ke arah pintu setelah menerima telpon dari atasannya, tadi hpnya memang low jadi atasannya menghubungiku.
Hatiku rasa diremas ketika mendengar suara laki-laki menanyakan istriku. Apalagi ungkapan, saya khawatir karna ini kali pertama ia berada di luar negri.
Ketika aku menjejeri langkahnya, aku mendapatkan telpon dari Ayuna. Aku belum bisa cerita pada Luna siapa wanita yang ku tunggui di rumah sakit. Ini dilemaku, aku belum bisa lepas darinya karna sesuatu hal, bukan aku punya hubungan apa apa dengannya. Ia murni wanita yang hanya ku anggap teman. Hatiku tetap utuh milik Luna, sejak dulu sejak pertama kali aku mengenal cinta.
" Lun.., kamu pulang pakai taksi ya " pintaku setelah aku mengiyakan permintaan Yuna. Ia terlihat berfikir, ah..! teganya aku membiarkan istriku pergi sendiri dengan taksi di negara yang belum pernah ia tinggali sebelumnya.
" Biar pak Satya yang jemput aku " ucapnya sambil mengambil hp dalam tas.
" Nggak biar aku yang antar " sambarku cepat. Hatiku tak terima ketika mengingat bosnya itu menjemput. Aku tahu Satya, kami sering bertemu di persidangan. Aku dengar kalau ia tengah mengurus perceraiannya. Ia tipe laki-laki yang pernah dikagumi Yuna waktu SMA. Aku harus ambil resiko kalau Yuna akan tantrum pada ibunya. Setelah aku mengantar Luna, aku akan pergi ke rumah Yuna.
Dia tak bicara selama aku mengendarai mobil, hpku tak henti berdering.
" Angkatlah, siapa tahu itu penting " tegurnya sambil memperhatikan layar hpku yang ada di dashboard. Nama Yuna tertera dalam layar dengan foto profil seorang gadis tersenyum manis.
" Jangan salah sangka Lun, dia bukan siapa siapa. Aku ingin bicara soal ini, tapi saat ini aku tak punya waktu. satu minggu lagi aku pulang Ke Indonesia. Banyak hal yang harus kita bicarakan " ucapku serius. Ia melempar pandangan ke jendela.
" Dia pacarmu ? " tanyanya dengan suara berat. Hatiku terenyuh mendengar itu. Apakah ia keberatan ada perempuan lain bersamaku saat ini, apakah rasa cemburu yang ku terka terka itu nyata adanya ? Luna hatimu yang selama ini tak bisa ku tebak.
" Bukan, sekali lagi aku katakan, Dia bukan siapa siapa. Kamulah wanitaku Lun, kamu istriku " ucapku sungguh sungguh, tapi ia sama sekali tak melihat kesungguhanku. Matanya terus melihat jalanan.
" Aku berterima kasih Dev, demi memenuhi permintaan papa, kamu harus berkorban sejauh ini. Nanti aku bantu membujuk nenek untuk menerima dia "
Ku hela nafas. Nada suaranya terdengar pilu, terdengar sebagai wanita yang disisihkan, Jangan seperti ini sayang. Hatiku rasa hancur melihat kamu bersedih.
Kami sampai di parkiran hotel. Ku tahan pintu agar ia tak bisa turun, aku tahu ia ingin cepat cepat pergi dariku.
" Dengar aku dulu, namanya Ayuna. Dia adik sahabatku. Dia tak bisa berjalan karena menyelamatkan aku. Aku hanya menganggapnya sebagai adik teman, tidak lebih " ucapku sambil menahan fokus matanya.
" Aku tidak menyalahkanmu Dev, kalaupun kamu punya hubungan apa apa sama dia, aku tahu kamu menikah karna di paksa nenek kan dan papa memintamu melamarku karna melihatku patah hati, Thanks, satu tahun ini kita akan mainkan sandiwara ini dengan baik "
" Lun..." panggilku ketika ia membuka pintu mobil.
Aku melihat seorang pria menunggunya di depan hotel. Aku turun dan melambaikan tanganku pada Satya, aku yakin ia mengenaliku. Tak ada cara lain untuk mengetahui sejauh apa hubungan mereka. Aku harus mencari tahu sendiri seperti apa Satya memandang istriku.
" Pak Devan ! " sapa Satya, meski aku lebih muda darinya, Satya selalu memanggil aku pak karna aku pernah menjadi kliennya.
" Pak Satya, ternyata anda atasan Luna, kebetulan sekali ya "ucapku sambil menahan hati yang meringis melihat istriku berdiri di sampingnya. Seperti minta perlindungan dari laki-laki itu.
" Bagaimana kalau kita makan malam bersama pak Devan " ajak Satya yang disambut sipitan mata istriku. Teganya ia mau mengusirku, tentu saja aku setujui. Aku ingin pastikan keputusanku pada ayahnya, ia harus segera berhenti bekerja sebelum hubungan kami hancur karena rayuan duda itu.
" Luna sekarang jadi asisten saya, saya beruntung memilikinya. Ia cukup garang juga di persidangan, soal pekerjaan pak Devan saya minta maaf karna kami telah menerima permintaan ibu Davina yang menuntut anda secara perdata tapi saya harap tidak merusak hubungan kita selama ini. Anda harus berhadapan dengan teman anda sendiri "
Aku memindai istriku. Ia terlihat sibuk memeriksa ponsel. Tadi aku memberi ancaman kalau ia tidak profesional, aku akan melaporkan soal keberadaannya dengan Satya di luar negri pada ayah mertuaku, hanya berdua.
Ia menatapku tajam dan membalas pesan.
[ Pak Satya hanya bosku, tidak lebih. Tukang ngadu ! ]
Aku mengangkat panggilan dari asistenku.
" Pak, nona Yuna ngamuk ngamuk. Dia ingin ketemu bapak. Ini ibunya terus menelpon " ucap asistenku cemas.
" Pastikan dia baik baik saja Jo. Aku akan segera kesana "
" Maaf Pak Satya aku harus pergi dulu " ucapku sambil menatap istriku yang melihatku dengan wajah memerah. Apa dia tengah cemburu ? Lun..aku senang kamu cemburu tapi jangan singkirkan aku dari hatimu. Please jaga hatimu, hanya untukku. suamiku. Aku hanya bisa membatin sendiri. Aku tahu ini tak adil buat Luna tapi aku tak punya pilihan lain, yang ku lakukan hanya berdasarkan hati nurani sebagai manusia. Aku yang menyebabkan dia dan kakaknya celaka.
Aku terpaksa meninggalkan makan malam itu karna terbayang Ayuna akan menyakiti dirinya sendiri.