POV Devan
Pagi ini, seperti janjiku pada istriku. Ya istriku, mantan rival yang sekarang berstatus istri, baginya mungkin ini adalah pernikahan sandiwara. Ia tak tahu bagaimana perjuanganku menemukannya kembali. Meski begitu banyak wanita dengan mudah menyatakan cinta padaku dan sekali tatapan saja mereka bertekuk lutut padaku. Mereka akan kehilangan kata kata jika sudah berhadapan denganku.
Tapi dia, dia berbeda. Dia paling hobi berdebat denganku dan aku juga senang meladeninya, apalagi sampai menaikkan emosinya hingga bertingkat tingkat. Ah..susahnya ngomongin soal hati sama dia.
Ada satu hal yang menghalangiku bicara apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana kami bisa menikah. Baginya, pernikahan ini terjadi karena kami sama sama tersudut oleh permintaan orangtua. Aku sudah lama kenal om Firman, ia salah seorang sahabat papa. Sejak Papa meninggal, ia yang menjadi mentorku untuk mengurus perusahaan papa.
Aku hanya berdiri jauh dari ketiga temanku yang merupakan sahabat sahabat Luna. Luna pasti menyingkirkanku jika ia sudah berhadapan dengan teman temannya. Winda, Rana dan Rani sudah tahu kalau aku sudah dengan Luna tapi mereka ku beri kode kalau mereka tidak tahu hal itu. Ketiga teman temannya itu yang jadi saksi ketika aku begitu hancur mendengar dia sudah punya kekasih saat kelulusan kami. Tentu mereka girang bukan main mendengar ternyata kami berjodoh.
" Kalau Jodoh tak akan kemana Dev " hibur mereka kala itu.
Menang kalau jodoh tak akan kemana. Satu hari Om Firman bercerita tentang putrinya yang sekarang bekerja sebagai pengacara. Ia baru mendapatkan cerita kalau putrinya ditinggal nikah kekasihnya, dari awalpun ia tak setuju dengan hubungan mereka karena ia sering melihat putrinya dicurangi namun ia tak mau mencampuri urusan asmara sang anak.
Aku terkejut ketika melihat foto Luna yang ditunjukan om Firman, saat itu aku belum berterus terang pada Om Firman kalau aku dan Luna sudah saling kenal sejak SMA. Aku tak keberatan dengan kencan buta itu. Kami dipertemukan lagi oleh om Firman di sebuah kafe, itu pun aku tak tahu kalau kami akan bertemu. Saat itu Om Firman mengatakan ia ingin bertemu denganku dan ada juga yang ingin ku tanyakan pada Om Firman tentang masalah perusahaan.
Aku terkejut ketika melihat seorang wanita duduk di meja yang kami sepakati sebelum bertemu. Ketika mata kami bertemu, aku tahu ia ingin kabur dariku.
Flash Back on
" Hai ! " sapanya. Lalu ia melihat sekeliling. Aku hanya mematung memandangnya, ada yang berbunga di hatiku ketika melihatnya setelah sekian lama kami tak pernah berjumpa, setelah ia menemukan bukti bahwa akulah yang mencuri kertas pidatonya padahal bukan aku yang melakukannya. Terakhir kali ia meneriakkan perasaannya padaku.
" Aku Benci Kamu Devan ! "
Gegas ku tahan langkahnya, dengan tampang dingin dan sok berkuasa, ku coba kendalikan pergerakannya.
" Kenapa kabur ? Takut ? Nggak mau mendengar pembelaan " Dia kembali duduk, helaan nafasnya terlihat sekali kalau ia sedang gugup. Sebenarnya aku pun sama, detak jantungku berpacu tak karuan. Apalagi melihat penampilannya sekarang, elegan dan tambah cantik. Aura tomboinya menguap dalam pakaian feminim yang dikenakannya. Sejak kapan ia bisa berubah ?
" Duduk ! " titahku yang langsung dipatuhinya. Ingin rasanya ku cubit pipi yang membulat itu.
" Pa kabar ? " Ku ulurkan tangan. Ia menyambutnya dan berusaha bersikap sewajarnya.
" Baik " jawabnya pendek. Damn..ia tak nanya balik. Basa basi dikit kek.
" Mungkin aku salah meja Dev " ucapnya yang kembali hendak berdiri. Kembali ku tahan tangannya.
" Kamu anak Firman Sanjaya kan ? " Ia menatapku heran, ku tunjukan pesan Om Firman yang memintaku untuk bertemu putrinya. Ia memindaiku lalu terkesiap sendiri, mungkin sadar kalau laki-laki yang ingin dijodohkah dengannya adalah aku.
" Jadi Kamu, pengusaha yang papa maksud itu, Astaga ! dunia ini sempit ternyata "
" Bagaimana menurutmu tentang perjodohan kita, aku yakin kamu bakal nolak setelah tahu kalau perempuannya itu aku, padahal aku sudah pastikan aku bakal menerima permintaan papa yang terakhir ini " urainya dengan sikap lebih santai dari tadi.
Tak ku tanggapi kata-katanya, mataku terus menjurus pada netranya yang terus menghindari tatapanku. Yakin sekali ia menyimpulkan isi pikiranku.
" Tunggu sebentar " Ia mengeluarkan sesuatu dalam tasnya. sebuah map. Ia membacanya dan memandangku intens.
" Kamu kan pihak tergugat dalam tuntutan perusahaan Crisant group pimpinan nona Davina ? "
Ku seruput kopi yang baru disajikan pelayan kafe. Aku mengangguk pelan sambil mengungkai senyum. Ia memandangku dengan sudut mata. Aku yakin ia terhasut kata kata Davina, wanita yang tergila gila mengejar cintaku.
" Kok kamu gitu, sudah dia kamu putuskan, perusahaannya kamu hancurkan pula, dari dulu kok kamu jadi orang super tega sih Dev, apalagi sama perempuan "
Ku hela nafas berat, pendapatnya tentangku masih sama seperti dulu. Buruk. Di matanya aku adalah laki-laki yang suak mempermainkan perasaan perempuan, padahal mereka sendiri yang merendahkan diri sendiri di hadapanku, karena fisik dan kedudukanku mereka jadi tergila gila sampai lupa menjaga harga diri mereka sendiri.
" Berhenti saja jadi pengacara " ucapku ketus, tentu saja emosinya jadi meningkat. Ia mendengus.
" Kamu bekerja di bidang hukum demi kebenaran atau demi uang ? " tantangku. Ia melemparkan pandangan. Aku sudah tak tahan lagi, untuk menyentuh pipi squishy itu.
" Ku tegaskan ya, ibu Luna Dahnia, aku tidak bersalah, termasuk tentang tuduhan kamu soal text pidato itu "
" Baik, anda berhak membela diri dan kami juga akan mengumpulkan bukti bukti kalau kamu harus membayar kompensasi atas kerugian wanita wanita yang kamu pacari itu "
Aku berdiri dan memberi kode pada pelayan kalau aku meninggalkan bill dan tips untuk mereka. Satu kalimat ini pasti membuatnya mengejarku.
" Satu lagi, aku tidak menolak perjodohan kita. We will get merried soon "
" Devan ! " ia memanggilku dengan suara keras, teriakannya membuat pengunjung kafe menoleh. Ia jadi malu sendiri dengan sikapnya.
" Kamu jangan main main soal pernikahan, menikah itu ikatan hati, bukan ikatan bisnis. Kamu nggak cinta kan sama aku ? " ia berhasil mengejarku hingga parkiran. Ku beri kode agar ia masuk ke dalam mobilku. Ia menggeleng. Ku angkat bahu dan masuk ke dalam mobil. Ku kulum senyum, gemas sekali melihat wajah paniknya. Ia mengetuk pintu kaca saat aku menghidupkan mesin mobil. ku turunkan kaca, sambil memasang kacamata hitam. Acuh tak acuh ku ladeni dia bicara.
" Kita harus bicara serius tentang ini Dev " pintanya, kali ini terdengar memelas. Aku. Dari dulu, ini yang ia benci dariku. Sok cool.
" Maaf hari ini aku sibuk, sampai jumpa di pelaminan " ucapku sambil menaikkan kaca.
Flash Back off
" Ups..sori..." aku merasakan wajahku dingin terkena lemparan salju. Perempuan itu menatapku dengan perasaan bersalah setelah lemparannya salah sasaran. Ku usap wajahku, lalu kembali fokus pada layar hp. ia kembali bermain salju bersama Rana. ia terkejut ketika aku mengejarnya. Aku berhasil menangkap tubuh mungilnya yang tak siap berlari. Ku acak acak rambutnya.
" Dev, malu di lihat mereka " tegurnya tapi aku tak peduli. Aku menyeretnya, mengusapkan bongkahan salju ke wajahnya.
" Cie...cie....pengantin baru " teriak ketiga teman kami. Dia menatapku tak senang, lalu tersenyum malu pada Winda, Rana dan Rani.