Monday Vibes!

1647 Kata
Satu minggu kemudian Jakarta, selalu jadi jantung negara Indonesia. Kesibukan, kepadatan, keramaian seperti tidak habis selama dua puluh empat jam. Hari sudah terlihat siang jika menilik terik mentari pagi ini, Jihan mengira-ngira dan semakin panik. Ini bisa sangat terlambat sampai kantor tempatnya bekerja. Setelah Abhi kembali ke Singapura seminggu lalu, Jihan kembali terbiasa dengan rutinitas sehari-hari, tak membiarkan pikiran negatif merusak hubungannya lebih jauh lagi. Hari Senin, Jihan pernah dengar banyak orang meneriaki-I hate Monday-Hari yang sering kali jadi hari tidak di inginkan oleh hampir semua orang. Meski Jihan yakin itu hanya persepsi terpatri di otak hingga terkadang orang-orang sepertinya jadi lebih gelisah atau cemas saat memasuki hari Senin. Sampai ada penelitian segala untuk buktikan bahwa yang di benci bukanlah hari Seninnya, melainkan persepsi orang-orang tentang apa yang akan di jalani selama Senin sebagai hari dimulainya siklus hari baru setelah menikmati akhir pekan. Dan inilah Senin Jihan. Seharusnya sudah sampai kantor sejak tadi jika saja ban mobilnya tak kempes dan setelah malam Jakarta di guyur hujan lebat. Jihan harus memutar otak dan pilih naik Commuter Line untuk hindari macet dan mungkin banjir di beberapa titik akses jalan menuju kantor. Memilih ojek online pun bukan pilihan baik untuk dia yang terburu-buru, menilai kemacetan sama saja pada sepeda motor dengan kantor berada cukup jauh dari apartemen. Selain harus berimpitan, mau tak mau, penciuman hidungnya harus mencium berbagai aroma dari mulai yang sedap, bikin pusing, hingga buat mual. Ya ampun! Jihan harus tahan-tahan dengan semua ini. Dia perhatikan sebagian orang, mereka tampak sudah biasa, menerimanya saja. Selain itu, semua orang pilih transportasi ini pasti memiliki tujuan sama untuk bisa lebih cepat sampai tujuan, hindari macet, serta didukung biaya yang efisien. Habis mau bagaimana lagi? Terutama pekerja sepertinya, mencari nafkah adalah kewajiban manusia selama masih bernapas. Jadi, sadar diri bahwa semua adalah kewajiban dan harus di syukuri dari pada terus mengeluh. Pikiran yang lebih untuk bisa membuat dia tetap positif. Ini bukan pertama kali Jihan berimpitan dan tak ada ruang gerak. Saat kuliah dulu juga terbiasa naik transportasi ini, bedanya dulu tak sebanyak ini peminatnya. dia tetap bersyukur dengan begini artinya yang peduli mengatasi kemacetan sudah banyak. Tak hanya limpahkan pada pemerintah, tapi juga ikut berperan. Semoga dengan seperti ini Indonesia bisa semakin maju seperti negara-negara lain. Amin. Jihan sudah berkecimpung di dunia Advertising selama delapan tahun. Awal mulai karier, sebagai Account Executive, pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Sampai tiga tahun lalu dia juga lulus Magister Ilmu Ekonomi, hingga diterima di Mk digital sekarang ini lalu dapat promosi jadi seorang Account Manager. Ponselnya berdering. Maya-personal asisten yang telepon. "Jihan Salim! Lo dimana sih?" Maya tidak lagi ingat untuk sekadar menyapa. Jangan heran tata bahasa tak cerminkan atasan dan bawahan karena Jihan dan Maya bersahabat, selain ada Salsa dan Esa. Maya memang lebih muda, usia mereka terpaut dua tahun. Maya baru dua puluh tujuh, dan sudah bekerja dengannya selama dua tahun. Dia yatim-piatu, jadi tulang punggung untuk adiknya. Namun, Maya selalu terlihat ceria, dan kuat. See... terdengarkan dari suaranya menusuk telinga? Dari suara dan bagaimana memanggil nama lengkap Jihan, bisa tebak Maya pasti kesal hadapi problem kerja kali ini. "Semoga gue nggak terlambat, gimana udah ada laporan terbaru?" Maya menghela napas, "sepertinya kita benar-benar dalam masalah kali ini." Lanjut Maya masih terus mengoceh panjang lebar. Jihan tahu dia sedang dalam masalah, andai kini wanita itu pun berada di mobil pribadi pasti sudah ikutan memaki seperti dilakukan asistennya. Hasilnya, Jihan hanya mendesah kesal, itu pun sudah mendapatkan perhatian dari beberapa penumpang. Heran sih, mereka sempat-sempatnya mau tau urusan orang lain saat berimpitan seperti ini. Batinnya. Padahal untuk berpegangan saja mereka mengandalkan orang lain karena pegangan tangan kalah porsi dengan jumlah penumpang yang berdesakan. Seperti ibu-ibu tepat di belakang, Jihan sejak tadi sudah beri kode dengan gerakkan tak nyaman, bagaimana dengan enaknya malah bersandar padanya. Hal itu buat dia harus menanggung bebannya juga, saat kereta mulai maju atau berhenti. "Maya, sori bukannya gue nggak mau bahas ini. Andai sekarang lo ada diposisi gue!" keluhnya berhasil menghentikan omelan panjang Maya di seberang sana. "lo lagi nggak bawa mobil?" "Yap, gue lagi berimpitan dikereta!" Semakin banyak orang, semakin panas padahal ada mesin pendingin di kereta ini tapi kalah karena terlalu menjadi rebutan banyak penumpang atau karena CO2 yang di produksi di sini lebih banyak, hingga hawa panas melingkupi segerbong khusus wanita ini. Bagus Jihan teruslah mengeluh-batinnya. Maya sudah kehilangan sopan santun menganggap sebagai atasan ketika perempuan itu malah tertawakan Jihan sebelum tutup teleponnya. "Dasar bawahan nggak punya akhlak!" gerutunya langsung dapat lirikan ingin tahu penumpang lain. *** Jihan sebenarnya ingin beli kopi begitu sampai stasiun sebelum menuju kantor, dia butuh kafein untuk kembalikan Bad Mood setelah terdorong dan tentu mendorong penumpang lain saat keluar dari kereta. Sepertinya budaya tertib dan antre tidak akan pernah bisa sukses diterapkan di penumpang kereta pagi dan sore saat jam pergi dan pulang kantor. Jihan mau tak mau ikuti seperti itu karena diperlakukan seperti itu. Tapi, dia urungkan membeli kopi. Nanti saja minta tolong Maya untuk membelikannya. Beruntung gedung kantor tidak begitu jauh dari stasiun, hanya butuh jalan kaki sebentar sudah sampai. Tepat ada di seberang stasiun. Menunggu lampu lalu lintas pejalan kaki berubah hijau, barulah ikut melangkah cepat bersama penyeberang lain. Kaki jenjang melangkah pasti dengan Heels khas tampilan wanita karier. Berhasil menyeberang, Jihan kembali melihat Alexandre Christie-hadiah ulang tahun dari kekasihnya, tak hanya sebagai benda pengingat waktu tapi juga mengingatkan pada Abhi-kini melekat dengan elegan di lengannya. Huft! Jihan dapat bernapas lega tak telat seperti pemikiran panik sebelumnya. Langkahnya kini mulai santai saat memasuki area gedung kantor, Menatap gedung-gedung sekitar terlihat begitu angkuh. Area perkantoran elite, bekerja di salah satu gedung pencakar langit di sini pasti jadi punya kebanggaan sendiri meski tetap aja statusnya karyawan, pekerja bukan pemilik perusahaan. Sisa-sisa hujan lebat semalam tertinggal, lebih sejuk dari hari biasa. Tapi, tampaknya sabar Jihan kembali di uji kala berikutnya... "s**t!" Jihan berteriak kesal dapati mobil Jeep Wrangler hitam melaju kencang tepat di sampingnya, bannya itu lewati kubangan air hingga mengenai pakaian Jihan sampai basah dan pasti kotor! Jihan tak bisa menunggu di sini, atau bahkan cari tahu siapa pengendara gila di mobil itu, lalu biarkan orang-orang jadikan pusat perhatian mereka di pagi ini. Dia benci jika harus jadi pusat perhatian. Segera berlanjut berjalan, seolah tak terjadi apa-apa. Namun, Jihan kehilangan ketenangan dan keseimbangan karena hak sepatunya tiba-tiba patah. Membuat dia tersungkur dan semakin menjadi pusat perhatian orang-orang sekeliling. Astagaaaa! Mimpi apa aku semalam, sampai lagi-lagi kesialan mengikutiku hari ini! geramnya di dalam hati. *** Jihan kembali menggeram melihat bajunya kotor karena air kubangan tadi dan lebih sialnya hak sepatu juga patah, serta wajah sudah kusut dan rambut berantakkan. Tapi, perhatikan penampilan bukan waktu tepat sekarang. Terpenting Jihan sudah menelepon Maya minta dapatkan baju ganti dan sepatu untuknya. Walau Maya mengeluh harus dapat itu semua di mana sepagi ini. "Wow! orang macam apa udah buat lo seperti ini?" Maya datang dan tak menunggu lagi untuk tuntaskan penasaran. Penampilan Jihan benar-benar sangat kacau. "Gue nggak tau dan nggak mau tau May, lagi pula gue terlalu malu untuk berbalik cari tau tadi." Dia kembali kesal ingat kejadian hari ini. "Bahan presentasi buat siang nanti udah beres?" "Bahan presentasi udah siap, gue udah email, kan?" Jihan memang lihat notifikasi email masuk di layar ponsel dari Maya tadi pagi, tapi belum sempat di buka. "Bawa pesanan gue, kan?" tanya Jihan lagi "Bawa nih." Maya mengangkat tas, Jihan mengangguk lalu sama-sama pergi ke toilet. Maya menyerahkan tas belanjaan itu, Jihan membukanya "serius?" Jihan terkejut mendapati pilihan Maya. Ini memang selera Maya tapi bukan Jihan! Jihan menyesal, kenapa tak berpikir dua kali tadi, saat minta tolong padanya. Selera berpakaian mereka berbeda. Jihan mengangkat dress berwarna hitam, tinggi hanya diatas lutut. Jangan lupa mengepres mengikuti lekuk tubuh. "Maya yang benar aja?!" Baju seperti ini cocok untuk menari di dance floor kelab malam. Maya mengangguk "lo pasti cantik dan-" "APA?!" Jihan tak habis pikir! Aish bisa-bisanya perempuan ini. Dia mengedipkan sebelah mata, "Seksi, sesekali gak apa-apa tampil beda." Katanya menyebalkan sekali, untung Maya pintar dan di butuh kan, kalau tak, mungkin sahabat sepertinya sudah di hempaskan ke laut. "Lo dapat dari mana sih baju beginian?" "Jangan hina gitu dong, han. Itu baju baru lho, belum pernah gue pakai." Oke, jadi memang itu selera Maya! "Nggak ada pilihan lain? Model pakaian lo kayak gini semua?" "Gue mau kasih terbaik, makanya pilih yang baru. Udahlah jangan ngeluh terus, udah siang." Maya benar, dia harus cepat ganti pakaian. Satu-satunya yang normal adalah blazer kotak-kotak berwarna Grey. Namun, tidak cukup di situ, Jihan merasakan sedikit lagi oksigen di toilet ini menipis, ketika lagi-lagi Mata Jihan melebar saat Maya menunjuk-kan sepatu yang menurutnya juga bagus dan kesannya seksi sekali-Heels lancip pink dengan tinggi dua belas senti meter! "Bisa apa gue, gak punya pilihan bukan?!" dia hanya bisa menghela napas pasrah. Maya ikut menghela napas. Dia tahu Jihan akan protes tapi mau bagaimana lagi, memang ada Mall yang buka jam segini? Toko di pasar pagi mungkin. "Hanya ini yang ada di mobil" Maya memeluk Heels tersebut dengan sayang "Ini kesayangan bahkan buat dapat ini gue mencicil. So, pakainya hati-hati!" "Terserah lo May... terserah!" Jihan tak peduli. Lalu dia melirik alas kaki Maya, tak ada bedanya. "Heels juga, han. Lo kan tau gue cinta banget sama sepatu-sepatu cantik ini." Maya membela diri begitu ngerti arti tatapan Jihan. Masalahnya, bukan Jihan tak bisa pakai sepatu Heels, justru dia penyuka sepatu tinggi juga meski tidak segila Maya. Tapi, bukan untuk hari ini yang pulang akan berencana naik Commuter Line lagi, jika dengan Heels setinggi tiga senti meter tadi dia sudah tersiksa bagaimana nanti? Apalagi kakinya sedikit sakit karena insiden memalukan tadi pagi. "Argh! Semua gara-gara orang gila tadi!" Kesalnya. "Orang gila? Bukannya gara-gara mobil?" Maya bingung. "Iya yang nyetir mobil Jeep Wrangler hitam itu jelas orang gila kalau waras dia nggak akan ngebut di kawasan banyak pejalan kaki. Habis hujan yang menyisakan banyak kubangan air!" [to be continued]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN