"Jihan..." Panggil Maya membuat Jihan yang baru bersiap untuk ke ruang meeting berhenti.
"Ada sesuatu untuk gue?"
Maya menghela napas, "ada perubahan. Udah di tunggu untuk Meeting besar sekarang."
Rasanya kiamat datang saat itu juga. Waktunya telah tiba akibat gagal dapat klien besar dan sudah pasti harus tanggung jawab karena trouble tersebut.
"Di ruang berapa?" Meeting atau dia harus sebut sebagai sidang, entahlah. Pastinya, Jihan sudah di tunggu.
"Ruang meeting utama." Maya lalu sebutkan ruangan paling besar yang satu lantai dengan kantor atasannya. Perusahaan ini berada satu Tower dengan beberapa perusahaan lain juga anak perusahaan MK digital. Kantornya sendiri berada di lantai enam sampai lantai sembilan.
Jihan mengangguk dengan perasaan campur aduk. "Gue mau di eksekusi, doain, May!" Katanya sebelum berjalan pasrah menuju ruang Meeting.
"Gue bantu doa dari sini." Kata Maya.
Jihan memang butuh di doakan agar tak di tendang dari sini. Selama di dalam lift Jihan menatap dirinya dalam pantulan dinding lift, merapikan pakaiannya.
"My goodness! Kenapa harus di saat gue pakai ini." Jihan lihat penampilannya, merasa tak percaya diri dengan pakaian milik Maya juga sepatu Heels pink-nya. Benar-benar bukan gayanya.
Suasana diruang Meeting itu sangat sunyi seperti tak berpenghuni padahal ada sekitar dua belas orang sudah duduk di tempat masing-masing. Semua adalah orang-orang penting di setiap divisi. Beberapa dari mereka bicara berbisik hati-hati, ada juga yang diam dan menunggu, sisa-nya sesekali tersenyum kaku lempar kode dari lirikan mata satu sama lain. Mata Jihan yang sedang mengamati berhenti pada satu-satunya orang tertangkap menatap fokus padanya bagai elang sedang mengintai calon makanan. Jihan tak peduli sudah terlalu hafal dengan tatapan mata itu. Dia masuk bersama Pak Ardyan dan sekretarisnya, berhasil membuat semua orang diam dan fokus pada mereka.
Jika Jihan terkenal akan mengangkat dagu tinggi-tinggi, matanya menatap tajam dengan penilaian sekali lihat akan mengatakan dirinya adalah wanita judes, galak atau bahkan angkuh. Biasanya Jihan juga tak akan peduli. Namun, kali ini garis wajah-nya tegang dengan pandangan mata tak sanggup menatap ke depan. Sudah jadi berita besar yang langsung menyebar di kantor, menggemparkan bahkan pasti jadi pembicaraan.
Akhirnya Gue lihat seorang Jihan salim melakukan kesalahan juga! Kira-kira isi pemikiran mereka seperti itu. Pikir Jihan.
Hampir dia mendengus kasar, ayo lah... dia juga manusia biasa tempat salah dan khilaf!
Dia cukup sadar diri kabar ini pantas jadi pembicaraan. Kesalahan kali ini fatal, atasannya terlihat sangat kecewa secara terang-terangan. Beruntung Jihan wanita cerdas dengan penyesalan dan janji akan jadikan semua ini pelajaran untuk kinerja ke depan, atasan terlihat sangar saat berurusan dengan hal-hal tak beres seperti ini akhirnya beri Jihan kesempatan. Jihan bersyukur tak langsung di pecat, perusahaan hampir kehilangan klien besar, jika klien tak cukup dekat dengan pak Ardyan. Meski terlihat curang, inilah dunia bisnis.
"Dia terlihat berbeda dengan pakaiannya? Seksi."
Ditengah-tengah Meeting sedang berlangsung, Jihan tak habis pikir ada orang yang lebih minat menilai pakaiannya. Mengingatkan Jihan jika hari ini tampilan berbeda, Endorse barang-barang Maya dari ujung kepala sampai alas kaki kecuali kunciran rambut.
Argh! Jihan benar-benar kesal kenapa waktu bekerja sama menjebaknya begini sih! pikirnya.
Jihan melihat dengan jelas. salah satu karyawan dari divisi Art director, Gandhi tiba-tiba berbisik pada pria di sampingnya. Sejak tadi pun Jihan bisa lihat jelas bagaimana pria di sebelah Gandhi terang-terangan menatap Jihan.
Mengedikkan bahu tak ambil pusing, Jihan tetap fokus pada atasan yang sedang Berbicara. Tapi, kegaduhan malah semakin terjadi, tiba-tiba Gandhi mengaduh kesakitan tentu dapat bonus teguran Pak Ardyan. Jihan hampir tertawa melihat bagaimana perubahan wajah salah satu lelaki itu jadi pucat karena teguran Pak Ardyan. Namun, dia mengerutkan kening melihat pria satunya malah tetap menatap Jihan secara terang-terangan dengan seringai sambil bersandar santai.
Jihan penasaran dengan jenis tatapan itu. Apa Jihan memang terlihat aneh dengan pakaian pilihan Maya hari ini?
"Hm." Jihan merasa mulutnya kering.
Sial!
Sebaiknya, Jihan pura-pura tidak melihat saja. Tatapan mata lelaki itu, terkenal membuat wanita mana pun akan berdebar karena seorang Ruri Narendra, terkenal sebagai seorang Players. Meski pada akhirnya Jihan kalah oleh rasa penasaran.
Apakah lelaki itu masih menatap seperti tadi? Tanya batinnya lagi. Jujur tatapan itu mengganggu pikirannya.
Jihan kembali mengangkat kepala, itu adalah kesalahan besar karena jelas tatapan lelaki itu masih tertuju padanya. Seorang.
Jihan sebisa mungkin bersikap biasa, sampai pertemuan berakhir, Pak Ardyan menutupnya. "Saya harap kesalahan sama tak terulang lagi, Jihan."
Pak Ardyan sekali lagi peringatkan Jihan tegas lalu Pak Ardyan keluar diikuti beberapa kepala divisi lainnya termasuk Jihan.
Jihan tersenyum. "Duluan pak Ruri, Pak Gandhi" pamitnya sopan, dan salah satunya balas Jihan dengan senyum yang sulit di baca. Ketika melihatnya, Wanita itu mengeratkan pegangan pada buku catatan yang di bawanya.
Aneh sekali. Pikirnya.
Meski, Jihan sudah bekerja di perusahaan beberapa tahun tapi, Jihan tak membangun kedekatan pribadi selain urusan pekerjaan yang lain.
***
Hari belum berganti, Jihan langsung gelar meeting dengan seluruh karyawan di bawah divisi. Membenahkan supaya kesalahan sama tak terulang lagi. Maya di depannya tak berhenti mengoceh sambil bantu merapikan berkas setelah pengarahan selesai. Jihan tak akan lupakan apa yang terjadi hari ini, ditegur langsung Direktur utama MK Digital, dimarahi habis oleh beliau. Sejauh jam terbang kariernya, dia sangat bangga bisa gabung di perusahaan ini dan telah mencoba beri yang terbaik. Namun, kali ini dia mengecewakan. Sepintar-pintarnya tupai melompat pasti suatu saat akan merasakan jatuh. Mungkin ini pepatah tepat buatnya.
Perusahaan tempatnya bekerja, termasuk perusahaan besar, MK Digital juga bergerak dibidang layanan periklanan, Public Relations, desain grafik dan Travel Service. MK juga punya beberapa segmen bisnis di bawah empat anak perusahaan lainnya hingga membuat MK masuk jajaran perusahaan besar.
Jihan rasa dia harus terima dapat surat peringatan satu, bersyukur tak sampai di depak dari perusahaan.
"Gue capek kerja, jadi mending nikah aja!" Keluh Maya terdengar lagi setelah mereka selesai dan bersiap pulang.
"Ya udah nikah, memang udah ada yang melamar lo?"
"Ada, entar cari dulu." Maya tertawa. Jihan bicara fakta, Maya sedang tak jalin komitmen dengan siapa pun, selain sedang fokus jalankan bisnis usaha kostum sepatu Wedding dengan adiknya.
"Nikah tuh bukan solusi untuk keluar dari masalah kalau gitu apa bedanya sama tempat pelarian? capek kerja, mau nikah aja yang ada makin banyak masalah." Mereka berjalan untuk kembali ke ruang divisi.
"Kalau nikah enak, Jihan, ada yang tanggung finansial, nggak perlu pusing buat makan dan kebutuhan lainnya." Komentar Maya lagi.
"Kalau dapat suaminya mapan atau paling nggak udah ada penghasilan tetap, kalau nggak?"
"Ya, cari yang mapan." Jihan menggeleng kecil, dia yakin pemikiran Maya-maya lainnya banyak di luar sana.
Mereka segera keluar untuk pulang, beberapa karyawan lain yang ikut pengarahan tadi pun mulai bergegas meninggalkan ruangan juga. Lampu-lampu mulai di matikan.
"Duluan mbak Jihan, Mbak Maya." Begitulah sapa mereka sopan walau bawahannya ada beberapa usianya diatas Jihan. Setidaknya panggilan 'Mbak' lebih nyaman untuknya yang berusia belum tiga puluh.
Mereka keluar lift. "Gue cuman berpikir logis ke depan, Maya. Kita tau nikah itu komitmen sepakat, gak bisa main-main. Harus jelas. Kalau gue maunya seumur hidup maka ujiannya juga seumur hidup. Ena-ena cuman di awal." Maya tertawa jahil, hanya fokus di akhir kalimat.
"Kayak pernah ena-ena aja lo!" Jihan memutar bola matanya, Maya tertawa puas "Iya sori-sori..."
Jihan sudah mengganti Heels milik Maya dengan flat shoes berwarna Navy di beli tadi saat jam istirahat, untung kantornya berseberangan dengan Mal juga. Kaki Jihan terasa pegal, Heels tersebut sudah kembali pada pemiliknya. Dia memakai flat shoes untuk kenyamanan juga keselamatan selama di jalan agar kejadian seperti pagi tak terulang.
Mereka keluar sudah malam, Jihan akan pesan taksi Online.
"Cinta memang perlu, mungkin bukan karena cinta tapi karena udah dekat, kita nikah dengan orang yang udah pendekatan satu sama lain, sudah saling kenal walau pacaran nggak jamin sikap pasangan akan tetap sama setelah nikah. Bagi gue semua tetap butuh pemikiran, kesiapan, because love can fade away. Hm, nah mental juga penting tuh, apalagi pas lo berubah status jadi orang tua." Jihan masih melanjutkan.
"Itu isi kepala lo selama ini?"
"Maksudnya bagaimana?" Jihan Gagal paham yakin akan sedikit tersinggung dengan maksud ucapan Maya setelah ini.
"Makanya lima tahun pacaran sama Abhi, lo belum berani melangkah ke jenjang sana?" Gerakkan tangan sedang mengetikan alamat apartemen di aplikasi taksi Online berhenti hanya beberapa detik, kemudian Jihan kembali menarik napas dalam.
Benar aja maksud ucapannya ke sana. Abhi yang belum kasih sinyal, terakhir coba untuk membahas malah hampir bertengkar. Batin Jihan
Dia tak berani utarakan yang sebenar-nya, Jihan sangat dekat dengan Maya atau sahabat lain, Esa dan Salsa. Kisah cinta itu privasi, menurutnya tak harus diceritakan terlalu jauh pada orang lain meski statusnya adalah sahabat atau dia begitu membatasi sejak mulai dengan Abhi.
Bagi Jihan mereka hanya cukup tahu bahwa Jihan dan Abhi bahagia dan Jauh di dalam lubuk hati pun dia berharap Everything will be ok...
Ya.. Harapnya begitu, lihat saja nanti seperti apa karena dia pun tak punya jawaban tepat untuk di berikan pada Maya, termasuk pada dirinya sendiri. Sekarang dia hanya harus yakin pada kekasihnya yang minta menunggu satu tahun lagi, dan Jihan harus yakin bisa melewatinya sekali lagi. Satu tahun tak selama lima tahun telah mereka lewati. Pasti bisa.
Harapannya, semoga tidak ada alasan membuatnya harus menyerah dan merasa sia-sia dengan semua yang sudah di lalui.
Saat itulah mata Jihan membulat melihat mobil Jeep Wrangler hitam melintas di depan gedung tampak akan keluar.
"Jihan, lo lihat apa sih? Gue ngomong di cuekin!" Suara Maya menyadarkan. Sahabatnya itu protes karena Jihan tak mendengarkan.
"Itu mobil--"
"Mobil? Oh yang barusan lewat?"
"Iya, Jeep Wrangler black. Lo lihat?"
"Ish lo norak deh! gue tau mobil itu keren dan Manly, tapi gak usah sampai melongo dong!" Gurau Maya salah tangkap.
Jihan menghela napas, "mobil itu yang bikin gue merana pagi-pagi."
"Hah? gimana maksud lo? Serius?"
"Iya. Orang gilà yang nyetir."
"Pak Ruri bukan orang gilà, dia terlalu tampan, seksi dan waras untuk dibilang gilà." Celetuk Maya, Jihan langsung menghadap sahabatnya itu lalu memberi tatapan bingung.
"Maksud lo? Pak Ruri? Ruri Narendra?"
"Iya, itu mobil baru pak Ruri Narendra. Mobil dan orangnya, keren banget, kan?" Puji Maya tak lupa senyum berserinya, berbeda dengan Jihan yang kembali melongo.
[to be continued]