Tinggal di kota besar seperti Jakarta, sebagai wanita pekerja yang masuk dari lima sampai enam hari dalam seminggu, artinya hanya punya waktu libur satu-dua hari. Tak banyak pilihan cari tempat cocok untuk bersantai, mengisi ulang kembali energi untuk aktivitas beberapa hari berikutnya. Tempat hiburan memang banyak, bagi Jihan Salim sudah duduk di kursi nyaman, merasakan pijatan di pundak oleh ahlinya saja sudah cukup.
"Lo nggak mau coba potong rambut, Jihan?" tanya Salsa, sahabatnya yang berada disisi kanan Jihan. Sama-sama sedang melakukan perawatan rambut di salon kecantikan làngganan mereka, karyawannya pintar memijat.
Jihan menggeleng kecil, "Abhi nggak suka rambut gue pendek."
Dia memang membiarkan rambut hitam lurusnya tumbuh panjang sampai ke punggung, kalau di potong hanya ujung-ujungnya agar tak bercabang. Jihan bahkan lupa, kapan terakhir kalinya memiliki rambut sebahu.
"Geez! Abhi... Abhi dan Abhi, lo memang se-bucin itu." Salsa berdecak kesal, dia pun punya kekasih tapi Salsa tidak akan membiarkan kekasihnya mengatur-atur apa yang di suka dan tidak untuk dirinya sendiri.
Jihan mengedikkan bahu, tak acuh pada cibiran sahabatnya, sudah biasa. "Abhi pasangan gue, Sal. Apa yang dia suka dan nggak, gue tau dan penting buat Abhi bahagia punya gue."
"Pacaran memang harus selalu nuruti mau pasangan? Gue sih bodo amat tuh ke Radit, dia harus terima gue apa adanya, gue jarang mandi kalau Weekend aja, dia nggak protes. Rambut gue mau di potong pendek atau dibiarkan panjang, mau di warnai merah, kuning, hijau dilangit yang biru. Radit nggak protes tuh." Katanya sambil bergurau.
"Apaan sih sal, itu lirik lagu anak-anak." Jihan menggeleng kecil, "Radit nggak protes karena dia takut lo amuk."
"Iya kali ya." Salsa terkekeh sendiri. "Then, lo menuruti semuanya? Abhi begitu juga gak sama lo?" Jihan tak banyak menuntut dari Abhi, pacarnya itu sudah memenuhi kriterianya.
"Gue cuman minta dia setia, jaga kesehatan aja di sana." Gumam Jihan dengan pandangan menerawang.
"Gila ya, harusnya si Abhi nggak pikir ribuan kali buat serius sama lo. Masih tunggu apa lagi coba?!"
Salsa lihat Jihan begitu tulus, begitu menjaga Relationship dengan Abhi padahal Jihan itu cantik luar biasa, cerdas juga, Salsa yakin kalau Jihan tidak punya prinsip setia, lelaki mana pun mau jadi selingannya.
"Tahun ini pekerjaan dia lagi banyak, gue juga, Sal. Dia janji setelah ini kita akan membahasnya."
"Selamat menunggu deh, gue pribadi nggak punya stok sabar berlimpah-ruah seperti lo, udah lima tahun dan harus tetap menunggu." Salsa salut pada kesabaran Jihan, sebagai sahabat berharap semua pengorbanan Jihan tak berujung sia-sia.
Jihan tak ambil pusing omongan sahabatnya, Salsa maupun orang lain karena yang menjalani semua adalah dirinya sendiri. Sejauh ini, Jihan merasa baik-baik saja. meski harus menjalani hubungan jarak jauh, selama Abhi setia dan komunikasi mereka lancar, itu cukup.
"Lo sendiri gimana?" Jihan melirik sahabatnya. sudah biasa menemukan di dunia ini bukan hanya Salsa yang lebih tertarik dengan proses hidup orang lain, padahal Jihan yakin Salsa pun memiliki problem sendiri.
"Radit?"
"Iya." Jihan menyeringai. "lo punya pacar lain memang?"
Salsa tertawa, "Sementara ini yang bisa tahan sama sikap gue, baru dia. Gue bukan nggak mau nikah, nggak ada trauma meski orang tua gue sendiri berantakan."
Diantara beberapa teman-teman perempuannya, jika ada Esa yang sudah menikah, maka Salsa juga belum menikah padahal Jihan tahu kalau kekasih sahabatnya itu sudah beberapa kali mengajak serius untuk menikah, tapi Salsa sendiri belum yakin dan bukan trauma akibat gambaran hubungan orang tuanya yang berantakan, Salsa tidak mengalami, baginya jika memang tak bisa di pertahankan untuk apa memaksa dan berujung tak berhenti saling menyakiti, maka dia relakan orang tuanya berpisah. Salsa hanya belum yakin dengan keluarga kekasihnya yang kaya raya, terutama restu dari ibunya, Radit.
"Terus apa?"
"Gue bakal nikah, kalau ibunya Radit udah lembut pas ketemu gue." Katanya lagi, membuat keduanya tertawa.
"Selama ini memang bagaimana? Lo nggak sampai di telan bulat-bulat ini, kan?"
Salsa menghela napas, terlihat tak nyaman membayangkan orang tua dari pacarnya. Kalau Jihan terhalang waktu, maka Salsa terhalang restu.
"Bukannya nggak, tapi belum. Mungkin, kalau maminya nggak berhasil buat Radit berubah pikiran juga baru deh gue siap-siap ditelan bulat-bulat seperti kata lo." Guraunya, membuat mereka tertawa.
"Lucukan mbak teman, saya." Jihan menatap pada cermin, perhatikan petugas salon masih memijatnya, sama sekali tak terlihat ingin mencampuri obrolan pelanggannya.
"Kasih cucu yang banyak, kak. mertua pasti luluh nanti." komentarnya membuat mereka kian tertawa-tawa.
"Abhi jadi pulang?" tanya Salsa kemudian
"Ya, sore ini gue jemput ke bandara. Sepupunya nikah, makanya dia balik."
"Pantes lo ngajak ke salon." Salsa menggoda, tebakan tepat sasaran karena memang Jihan ingin terlihat cantik saat bertemu dengan kekasihnya nanti, setelah beberapa bulan tak bertemu karena tinggal di negara berbeda. Meski jarak Jakarta dan Singapura bisa ditempuh sebentar dengan pesawat, mereka tidak bisa bertemu setiap waktu karena kesibukan karier masing-masing.
***
Jihan menyandarkan punggung di bangku ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta. Menunggu kedatangan kekasihnya, dia seorang arsitek yang kini bekerja di salah satu perusahaan besar di Singapura. Jabatannya sudah senior, membuat dia sangat sibuk hingga kadang Jihan yang harus bepergian ke Singapura untuk bertemu jika sedang senggang.
Ini lah yang membuat mereka jarang bertemu, kalau pun dia sedang senggang. Justru Jihan yang sibuk.
Lima tahun sudah mereka berpacaran. Berawal dari satu kampus dulu, beda jurusan. Kenal karena sama-sama ketua BEM fakultas masing-masing, mengobrol sama Abhi sangat menyambung dengan pengetahuan lelaki itu yang luas. Awalnya hanya teman sampai enam tahun lalu ketika ada reuni alumni seangkatan. Mereka bertemu lagi, tukaran nomor, makin intens bertemu, lalu setahun kemudian sepakat buat bersama. Mudah buat perempuan mana pun jatuh cinta padanya, termasuk Jihan.
Jihan merasakan perutnya perih, terakhir makan siang tadi setelah selesai dari salon dengan Salsa, malam ini sengaja menahan lapar demi bisa makan malam dengan kekasihnya.
Abimanyu Naruna: Aku udah sampai. Kamu di mana?
Jihan mendesah lega saat akhirnya Abhi mengirim pesan.
Me: Aku di tempat biasa.
Begitu chat itu terkirim, Jihan langsung berdiri untuk mengawasi kekasihnya, agar mudah menemukan Abhi. Setiap Abhi pulang ke Jakarta, Jihan akan menjemput kekasihnya.
Hubungan mereka pernah di uji saat diawal-awal, Abhi dapat beasiswa mengejar gelar magister di Manchester School of Architecture. Dua tahun lebih LDR, dan berhasil. Akan tetapi ujian hubungan mereka tidak hanya di awal, dua tahun belakangan ini dia dapat promosi dan di pindah kerja ke Singapura.
Jihan sempat tak yakin ini akan berhasil, awalnya sulit. Bahkan tak sedikit bertengkar karena Jihan pribadi tak yakin, meski begitu ia tetap belajar banyak dari pengalaman di sekitar ataupun pengalaman orang lain yang di share di media sosial. Belajar banyak hal sampai dia berharap apa yang dijalani dengan berpegang pada ini bisa berhasil, ia juga banyak ambil pelajaran dari LDR pertama.
Memberi kepercayaan adalah langkah awal yang di pikir tepat dengan coba memiliki rasa komitmen. Tidak hanya itu, Jihan membuktikan dengan kesetiaan terhadap pasangan. Juga membina komunikasi yang baik, saling terbuka atas perasaan. Sering kali problem LDR adalah tak dapat kabar dari pasangan. Buat Jihan, sesibuk-sibuknya kalau peduli dan sayang sama pasangan pasti akan cari waktu untuk beri kabar.
Jihan juga punya kesibukan positif sehingga energi tersalurkan untuk hal-hal produktif dan tak dihabiskan untuk selalu memikirkan pasangan yang berada jauh. Bukan berarti juga mereka tidak pernah bertengkar, tapi untuk mengatasi Jihan selalu berusaha hindari pertengkaran yang terlalu lama, overthinking dan terlalu posesif.
Sejauh ini aman, dan Jihan berharap terus seperti ini.
Seseorang berdiri di dekatnya, Jihan melirik sekilas hingga senyum tertarik lebar melihat ternyata Abhi berdiri di depannya. Jihan langsung memeluknya, Abhi membalas mengecup kening lama. Sambil ia coba mengingat-ingat, kapan terakhir mereka bertemu, tiga bulan lalu, Jihan menyusulnya ke Singapura.
Pelukan terurai "Sudah lama?"
"Satu jam lalu" jawab Jihan
Dia mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, Jihan bisa melihat sepasang mata cokelat, bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
"Bhi, bagaimana kalau kita cari tempat makan?" tanya Jihan. Abhi mengelus puncak kepala.
"Kamu sengaja belum makan malam?"
Jihan tersenyum manis, "tepat sekali, sengaja. Aku kangen banget sama kamu."
Abhi merangkul bahu Jihan, mengajak wanita itu segera meninggalkan Bandara, "Kita cari resto terdekat dari sini."
Pipi Jihan menghangat ketika akhirnya bisa bertemu Abhi kembali, sepertinya hari-hari ke depan akan berjalan lebih baik dari yang dia perkirakan.
***
Malam berikutnya...
Jihan terkejut saat Abhi memeluknya dari belakang lalu terburu-buru menutup pintu. Mereka baru sampai apartemen setelah menghadiri pesta pernikahan sepupu dari Abhi. Jihan malam ini tampil begitu cantik dengan gaun malam berwarna putih, berlengan panjang dengan bagian bahu terbuka memperlihatkan bahu dan tulang selangka juga lehernya karena rambut panjangnya di gelung ke atas, membiarkan beberapa anak rambut menjuntai, justru membuatnya kian terlihat seksi.
Mereka berciuman, Abhi membawa mereka melangkah ke Sofa bed. Jihan memejamkan mata, menikmati kecupan terus bergerak di bibir, lalu turun ke dagu dan Jihan sisipkan jari jemari meremas pelan rambutnya sambil terus menggigit bibir bawah saat merasakan kecupan basahnya sudah turun bermain di leher, hingga ditubuh atasnya.
Jihan tersentak, rasa mengelora berubah jadi siaga saat rasakan tangan Abhi masuk semakin dalam kebagian dalam pahanya, bawah gaunnya sudah tersingkap segera dia menarik diri, mendorong Abhi menjauh. Jihan segera membenarkan gaun atasnya, dia tak ingat sejak kapan sudah terbuka.
"Kita nggak bisa, Abhi. Kamu masih ingat prinsipku, kan?"
Jihan menunduk tidak sanggup melihat mata Abhi yang bergàirah kini berubah jadi kecewa. Lima tahun pacaran ia hanya memberinya ijin sebatas itu, tidak lebih.
Jihan sangat jelas merasakan tatapan kecewa, dengar saja bagaimana cara dia menghembuskan napasnya kasar segera berdiri. Jihan segera menahan tangannya. "kamu mau ke mana?"
"Mandi" Ujarnya dingin, Jihan yakin saat mengatakan itu Abhi tanpa sadar.
Jihan masih menahan tangannya, "Kamu marah?"
Abhi berbalik, berdiri di depannya. Melepaskan tangan lalu gantian menangkup kedua sisi wajah Jihan, ibu jarinya mengelus pipinya. "Apa aku terlihat marah?" Dia malah bertanya balik
Tetap saja Jihan meragu "Serius?" Tanya ia memastikan.
"Aku serius, Jihan."
Jihan menatapnya. "Abhi... you love me?"
"Kamu masih harus bertanya?" Katanya datar tanpa ekspresi apa pun, tiba-tiba hati Jihan merasakan sakit. Seolah tiga kata itu sama sekali tidak berarti baginya. Terlalu sulit dilontarkan begitu saja.
Masih menatap punggung itu berjalan menuju kamar, Jihan tahu ini berat untuknya. Lima tahun bersama tapi masih ragu berikan sepenuh dirinya. Jihan sendiri tak mengerti, kenapa begitu sulit mempercayai Abhi, terlebih itu memang prinsip hidupnya no s*x before marriage. Apa pun yang Jihan akan lakukan memikirkan keluarga. Jihan tak ingin kemudian hari akan menyesal telah membuat kecewa karena tak bisa pegang kepercayaan yang sudah diberikan.
***
Wajah lelap Abhi adalah hal pertama di lihat ketika membuka mata. Jihan selalu menyukai setiap kali bangun lebih dulu, setidaknya untuk beberapa detik pertama mengingat Abhi bisa menghargai, menghormati prinsip Jihan selama lima tahun mereka bersama. Menjaga batasan, menghabiskan malam hanya tidur dalam artian tidur sebenarnya. Perasaan selanjutnya yang muncul adalah kesal dengan diri sendiri, lima tahun waktu yang cukup bukan? Ia merasa sudah cukup mengenalnya, tapi ia belum juga bisa memberinya.
Perlahan ia menyingkirkan tangan Abhi di pinggang, seraya bergerak turun dari ranjang. Mereka saling menginap seperti ini setiap kali bertemu. Ia juga melakukan itu jika mengunjunginya di Singapura, akan menginap di apartemen Abhi.
Tanpa membangunkannya, Jihan bergegas ke kamar mandi. Selesai mandi, ia membuat sarapan hanya membuat kopi dan nasi goreng. Saat sedang asyik duduk di kursi bar sambil menikmati sarapan, Abhi pun muncul sudah segar, penampilan sangat rapi membuat Jihan mengerutkan kening karena biasanya Abhi memakai kaos, jika sedang tidak ke mana-mana.
"Mau ke mana?" Tanya Jihan.
Dia tidak langsung menjawab, Abhi menghampiri, menyesap kopi dari cangkir Jihan. "Biar aku buatkan."
Abhi mencegahnya. "Nggak usah" tolaknya halus, kemudian menatap Jihan. "Aku baru dapat telepon dari kantor" artinya Abhi akan kembali ke Singapura padahal Jihan sudah ambil cuti hari ini tak masuk kerja.
Jihan menghela napas, jujur dia kecewa lalu mulai sadar satu hal Abhi akan berubah dingin dan jaga jarak menjadi asing. Selalu seperti ini setelah kejadian seperti semalam.
"See.. Kamu marah, kan?"
"Untuk apa? kamu jangan mengada-ada." jawabnya enteng, dengan wajah yang kini tidak lagi datar. "Bulan depan aku usahakan pulang lagi."
Jihan memilih kembali menikmati kopi, mengabaikan ucapannya. Jihan tidak punya pembelaan mencegahnya pergi.
"Abhi, kamu capek nggak sih kayak gini-gini aja?" cicit Jihan, entah dorongan perasaan dari mana, hingga kalimatnya terbentuk.
"Jihan, jangan mulai."
"Aku cuman tanya, kamu tinggal jawab."
Abhi menghela napas, "Kita udah bicarakan ini sebelumnya, Jihan. Kamu bisa bersabar, kan? hanya tahun ini, setelah itu kita bisa bicarakan." Ujarnya lembut, membuat Jihan akhirnya mengangguk.
"Maaf." Jihan menyesali kenapa pagi ini ingin membuka pembicaraan yang sudah di sepakati, Abhi merengkuh dan berkata semua akan baik-baik saja, akan tetap sama seperti lima tahun mereka berjuang dalam hubungan jarak yang jauh.
Jihan menghela napas disela rasa sakit di dadanya, ia hanya mulai merasa semua berjalan di tempat. Abhi tak pernah memberi kepastian, semua ini akan berakhir di mana?
Walau begitu, ia membalas pelukan pacarnya itu lebih erat dari biasanya, seakan pelukan terakhir mereka. Entah lah, wanita itu hanya berusaha kuatkan hati.
Abhi hanya pergi kerja seperti biasa, dia akan kembali. Doa Jihan di dalam hati.
"I believe you, Abhi. Don't disappoint me" Bisik Jihan. Dia hanya perlu percaya pada Abhi, because overthinking kills happiness.
[to be continued]