Meski tak mengubah apa pun, berbicara setidaknya akan buat perasaan merasa lebih baik. Jihan tahu itu, tapi malah pilih diam melepas Abhi pergi, menahan diri untuk bicara soal hubungan perjalanan asmara mereka yang sudah serupa cicilan rumah, bahkan kalau mobil sudah lunas di tahun kelima.
Sudah beberapa hari pun pacarnya sulit di hubungi. Terakhir Jihan menelepon, lelaki itu bilang sedang ada projek besar dan kerja selalu lembur. Artinya Jihan harus seperti biasa, sabar dan berpikir positif ketika pesan yang di kirim tak dapat balasan cepat apalagi telepon.
Seharian ini yang dia lakukan cuma rebahan tapi rasanya lelah tak karuan, Jihan menatap langit-langit kamar, tangan menyentuh tempat yang terasa sakit. Punya seseorang tapi tak bisa menghabiskan akhir pekan bersama. Apa bedanya punya pacar atau tidak? Ternyata yang buat dia merasa sangat lelah bukan badan tapi, perasaannya.
Huft! Dadanya sesak sekali!
Dia menarik napas dalam, tepat dengan ponselnya bergetar. Jihan menoleh lihat benda tersebut berada di atas meja kecil di samping tempat tidur. Tentu gerakan cepatnya berharap itu balasan dari Abhi. Sialnya dia harus kecewa, ternyata dari Grup Chat berisi para sahabatnya cukup berisik. Jihan, Esa dan Salsa dekat sejak masih pakai seragam putih abu-abu. Berbeda dengan Maya, yang bertemu di tempat kerja.
Jihan tak menanggapi sejak tadi sampai dia merasa suntuk, barulah mulai memanjat isi chat yang masuk dan tersenyum membaca obrolan tak penting sahabatnya sampai Salsa mengajak jalan.
Salsa : Weekend guys.. jalan yok yok! long time no see, terutama sama mama muda Esa
Esa : Ayok! Lagi bisa nih gue, Massum lagi libur nih, jadi bisa jagain Elsa.
Salsa : Massum? Mas mesùm maksudnya? Wkwk.
Esa : itu sih pikiran lo aja yang kurang banyak istigfar!
Salsa : Hahah tauk aja Bu ustad! Eh bawa aja dongs princess Elsa, kan mau ketemu gue, Princess Anna..
Salsa : mall kokas kejauhan nggak buat Jihan? Mana nih anak gak muncul-muncul?
Esa : kalau ajak Elsa, pasti bapaknya ikut. Nggak bebas gosip. Sal, jemput gue ya? Malas bawa mobil. Plisssss
Salsa : Jujur gue lebih kangen sama anak lo dari pada emaknya.
Esa : syukur deh gue juga gak butuh-butuh amat di kangenin lo!
Salsa : Iye... Jihan mana nih? Ikut? Ayolah biar gengs kita lengkap!
Esa : gengs apa? Lo pikir kita gengs artis-artis itu? Hahah..
Salsa : Nggak akan kalah lah sama artis si istri pengusaha itu. Pacar gue juga pengusaha muda.
Esa : Masih pacar, kan? Bangga banget...
Salsa : Sial!
Esa : Haha...
Salsa : Jihan online lho, apa lagi teleponan sama ayang kali? Uuh Kacian akhir pekan cuman bisa pacaran via telepon. LOL
Esa : gue telepon Jihan, anaknya nggak muncul-muncul.
Tak lama ponsel Jihan berbunyi. Telepon Esa masuk, dia biarkan sebentar, setelah itu baru menjawab. Jihan tak bisa menghindar padahal dia sedang malas ke mana-mana.
"Hallo, Esa.. kenapa, kangen ya sama gue?"
"Lo nyebelin deh belakangan ini, grup ada bukan cuman buat di lihat doang!" Semprotnya langsung.
"Baru pegang ponsel. Ada apaan galak banget? Hormon menyusui?" Gurau Jihan.
Esa mendengus, "Gue sama Salsa mau jalan, ikut yuk!"
"Kokas?
"Iya.. He.. he.. jauh, ya?"
Mall yang disebutkannya jelas berada di wilayah selatan. Sudah pasti jauh dari tempat Jihan dan lebih dekat dari tempat kerja.
"Main di apartemen gue aja sini, gue lagi malas keluar."
"Nggak asyik lho, gue pengen nonton sama karaokean tauk! Ayolah, kapan lagi gue punya waktu sama kalian." Esa merengek seperti anak kecil, Jihan jadi tak tega. Dia tahu bagaimana prioritas Esa jelas tak bebas seperti dia dan Salsa yang belum menikah.
"Hm, pintar merayu lo... ya!" Tawa keras Esa bertanda wanita itu menang bisa mempengaruhi Jihan.
"Gue baik, dari pada lo galau karena kangen sama ayang Abhi mending jalan sama gue dan Salsa."
Jihan cuman tertawa sumbang lalu berbicara sebentar dan sebelum Esa mengucapkan salam, dia memastikan Jihan benar-benar akan ikut. Dari gurauan Esa, Jihan bisa ambil kesimpulan teman-temannya tak bisa menebak jika Jihan sedang resah perihal hubungannya. Semua orang menganggap hidup yang Jihan jalani terlihat mudah, menyenangkan nyaris sempurna. Mungkin karena Jihan bukan tipikal suka bercerita bagian sedih dan sulit di hidupnya, bukan berarti tidak punya masalah. Jihan hanya paham mana yang pantas dibagikan dan mana harus tetap disimpan.
Menghela napas, Jihan lebih baik mandi sekarang dengan begitu otaknya mungkin akan lebih segar juga. Begitu pintu kamar mandi ia tutup, Jihan butuh berendam, merealisasikan dengan menekan keran air dingin dan air panas bersamaan untuk penuhi bathup. Dia Berendam beberapa menit dalam air hangat sambil memejamkan mata, aroma segar yang terhirup cukup bantu membuat pikiran hingga otot-otot saraf yang tadi tegang mulai terasa kendur, Jihan jadi lebih santai. Dia perlu untuk menenangkan pikiran saat Jihan sadar, ada sesuatu yang salah belakangan ini pada relationship dengan kekasihnya. Sayang, dia tidak tahu apa itu, salahnya di bagian apa?
"Huh!" Jihan menarik napas dalam-dalam, menyandarkan punggung pada kepala bathtub.
Memikirkannya saja, tidak lantas dapat jawaban. Memejamkan mata sekilas lagi. Sekarang, dia hanya ingin melepas semua beban itu.
Mencari kesibukan di weekdays, jalan dengan teman-temannya di weekend akan buatnya tetap berpikir positif. Ya semoga saja resah di hatinya tak berarti apa-apa.
***
Kedua sahabatnya menyambut kedatangan Jihan dengan heboh, apalagi Esa paling sulit diajak bertemu karena sudah berumah tangga dan punya Elsa, balita usia lima belas bulan yang lagi lucu-lucunya. Dia bisa bebas karena suaminya memberi ijin, Esa juga butuh hiburan. Lagi pula dia sudah menampung asi untuk putrinya selama di tinggal. Meski Jihan menangkap Esa bertanya kondisi anaknya, rewel atau tidak pada suaminya.
"Udah naluri kali ya, ini pertama kali keluar nggak bawa Elsa. Khawatir dan kangen juga, padahal dia di rumah sama bapaknya dan gue baru sebentar." Kata Esa pas Jihan tanya.
Lalu mereka mengabulkan keinginan ibu satu anak itu dengan nonton film lalu karaoke sebentar sembari bertukar gosip sekalian menunggu pesan makanan juga bersenda gurau. Jihan tak menyesal dengan pilihan berkumpul dengan para sahabat cukup efektif usir suntuknya.
"Gimana hubungan lo sama Abhi?" Setidaknya sampai pertanyaan itu terlontar dari salah satu sahabatnya--Esa.
Jihan meneguk es teh yang dia pesan dengan susah payah. "Hm... Baik" gumamnya.
Esa mengernyit. "Baik itu relatif, nggak sih?"
Jihan sendiri benar-benar bingung dengan hubungan yang dia jalani. no progres, gini-gini aja. Seperti yang terjadi sudah coba buka pembicaraan malah berakhir Abhi badmood. Jujur dia sendiri bingung harus mulai seperti apa? karena yang dia lihat pacarnya itu terlalu ambisius kejar kariernya. Sampai ingatannya terlempar ke beberapa tahun belakangan.
"Aku mau punya perusahaan arsitek sendiri. Minimal usia 35, aku sudah punya modal buat itu."
"Abhi, kamu terlalu ambisius gak sih?" Tanya Jihan hati-hati.
"Ambisius?" dia terkekeh, wajahnya tetap santai tak tersinggung atas ucapannya. "Bukan sayang, tapi bagiku mewujudkannya adalah bentuk pembuktian."
Percakapan itu terjadi pada awal hubungan mereka, Abhi baru mulai kariernya. Tapi, ambisinya makin terlihat saat di promosikan dan pindah ke Singapura. Abhi secara tak sadar mulai berubah.
Jihan tak pernah meremehkan mimpi orang lain, karena dia sendiri punya mimpi. Jihan tahu bagaimana rasanya diremehkan. Tidak perlu datang dari orang lain, keluarga Ayahnya selalu salahkan orang tuanya saat biarkan anak perempuan mereka pilih berkarier dan Jihan belum menikah sampai usia hampir kepala tiga. Mereka menganggap Jihan wanita liar, hidup bebas karena dibiarkan tinggal sendiri jauh dari orang tua.
Itu, jadi pacuan untuk semangat dengan berhasil pegang kepercayaan kedua orang tua. Dengan begitu, ia akan patahkan tuduh-tuduhan mereka yang rendahkan cara didik orang tuanya.
Jihan percaya walaupun belum bisa mewujudkan semua mimpi, suatu saat nanti, di jalan yang sama mau pun berbeda, satu persatu mimpinya akan terlaksana. Berlaku untuk cita-cita, tapi untuk cintanya, dia tak tahu bagaimana mewujudkannya. Karena wujud cinta yang Jihan tahu berakhir dengan garis besar bahagia untuk usianya yang tak lagi remaja berbeda arti.
Rasanya sudah tak pantas jika hanya untuk main-main, bersenang-senang. Dia punya mimpi tersendiri untuk bisa menikah dengan laki-laki yang mencintai, yang memang ditakdirkan untuk habiskan sisa waktu bersama dalam ikatan yang benar.
Jihan masih belum punya keinginan untuk ceritakan ini pada sahabatnya. Banyak yang takut cerita masalah mereka karena berakhir bukan didengarkan tapi kebanyakan disalahkan, Jihan pun begitu karena yang lebih dia butuh kan saat ini hanya di dengarkan. Jihan tak siap saat dapat masukkan dari sahabatnya, jika ternyata dia juga ikut ambil adil dalam hal ini.
Jihan mengedikkan bahu. "Kami masih nyaman begini."
"Gue yakin Abhi yang belum ngajak buat ke sana, kan? Perempuan sih gimana pasangannya. Lo ada kasih sinyal gak sih, Jihan?" Salsa benar.
Sahabatnya pintar sekali menjebak Jihan, sampai akhirnya Jihan terpaksa harus sedikit cerita.
"Kita udah pernah bahas, Abhi minta satu tahun lagi."
"Dan lo tetap pilih bertahan? Daebak!" Salsa berdecak berlebihan memang paling gemas dengar progres hubungan sahabatnya.
Esa menatap Jihan beberapa saat, kemudian dia mengusap bahunya penuh pengertian. Berbeda dengan Salsa.
"Lo hebat! pernah dengar nggak, kalau yang membuat hubungan sempurna adalah ketika kita masih ingin berada di sana saat semuanya terasa nggak lagi berjalan seperti harapan kita. Artinya, cinta yang lo punya ke Abhi sudah melibatkan kepercayaan besar." ucapnya, Elsa seakan bisa membaca pikiran Jihan.
Jihan menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
Entahlah apakah ada cinta setulus itu? Yang masih ingin bertahan saat semua tak lagi nyaman dan terlalu menyakitkan, pasti dia pribadi tak akan sanggup bertahan pada cinta seperti itu. Bila suatu saat nanti terjadi, Jihan hanya ingin selamatkan hatinya, jika memang pada akhirnya salah satu dari mereka tidak lagi bahagia. Untuk apa dipertahankan. Karena yang dia tahu, itu jelas bukanlah lagi bisa disebut Cinta. Soal kepercayaan besar, Jihan berharap Abhi tak membuatnya kecewa.
"Udahlah kita hentikan pembicaraan toxic ini, mending kita buruan makan, Esa puaskan nyanyi sampai suara lo hilang terus kita belanja. Ada Heels yang gue incar lagi diskon gede!"
"Dasar lo gak bisa tahan lihat diskon." Esa tertawa.
"Memang lo nggak? Gue sih gak muna. Bukan apa ya, dapat barang impian pas diskon itu nggak akan nyesek pas barang kita suatu saat nanti rusak. Lo juga mau beli, Han?"
Jihan menggeleng cepat, "nggak deh, gue lagi trauma sama Heels."
"kenapa?"
Jawaban dia salah karena tentu langsung mengundang penasaran dua sahabatnya membuat Jihan harus cerita tentang insiden beberapa waktu lalu, artinya Jihan harus kembali kesal ketika tahu siapa pengendara gilà tersebut.
Yah, setidaknya jadi pengalihan yang tepat dari pada tetap membahas kisah asmaranya.
[to be continued]