Jika akhirnya kamu patah hati, bukan salah cintanya melainkan kamu hanya kurang beruntung harus mencintai orang yang salah.
.
.
"Kenapa deh muka lo, suntuk amat?"
Jihan hanya melirik Maya, tanpa menjawab. Dia pilih fokus berjalan ke ruang meeting. Bergelut dengan kecemasan sama sekali tidak mudah, sangat menyebalkan ketika tidak bisa dikendalikan pada waktu yang justru tidak tepat seperti sekarang. Rasanya Jihan mau menghilang saja dalam satu kali kedipan mata, jika bisa.
Ayolah ke mana logikaku! Aku sulit mengendalikan isi kepala sendiri. Gumamnya dalam hati
Jihan menarik napas dalam-dalam, ini bukan saatnya memikirkan Abhi yang hilang sudah dua hari tidak ada kabar sama sekali. Sejak awal dia tidak Overthinking, sebaiknya terus begitu. Sialnya tetap saja pikiran Jihan sudah melalang buana pada pacarnya yang tiba-tiba ghosting. Abhi tidak pernah seperti ini, sesibuk-sibuknya Abhi masih bisa mengabari untuk sekedar balas chat Jihan.
Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Abhi di sana?
Jika sakit, siapa yang mau mengompres kepalanya?
membuat bubur atau mengingatkan minum obat tepat waktu?
Pikiran Jihan mulai negatif dengan banyak pertanyaan dan semakin membuatnya cemas. Jihan mengenal Abhi sangat, saat sakit lelaki itu akan sangat manja dan tak berdaya.
"Demi Tuhan, di sana dia sendirian!" Gumam Jihan pelan, tanpa sadar kebiasaan tangannya saling meremas saat cemas muncul. Dia tidak bisa berbuat banyak selain mengeluh tanpa jalan keluar. Lagi-lagi dia kembali menarik napas dalam, memegang erat catatan yang di bawa. Berharap perlahan tapi pasti serangan panik dan segala rasa tidak nyaman yang ada dikepalanya akan hilang.
"Jihan, are you okay? Lo kelihatan pucat dan linglung." Maya kembali memastikan.
"Hah?" Jihan diam menatap Maya yang terlihat mencemaskan "Nggak... I'm okay."
Tadinya Jihan berpikir akan cuti, diurungkan begitu ingat klien yang akan bertemu kali ini sangat penting. Baru kemarin divisinya buat salah, Jadi ia akan menggantinya dengan mendapatkan klien kali ini.
"Terus?"
"Gue baik, sehat, cuman cemas aja mau ketemu klien." Dia mencoba meyakini Maya dengan alasan paling masuk akal.
Maya mengelus pundak Jihan. Maya berhasil percaya begitu saja. "Ini pasti karena insiden bulan lalu, ya?"
"Iya." Jihan hanya mengiyakan. Maya tidak bertanya lagi, begitu tiba di ruang meeting. Klien ternyata belum datang, Jihan memanfaatkan jeda waktu itu buat melakukan satu hal yang akrab belakangan ini, yakni... Melamun.
Dia berpikir ke belakang, apa yang sudah dia korbankan di hubungan ini? Umur tidak lagi di awal dua puluhan, memang salahnya jika sejak awal tidak pernah bahas akan seperti apa hubungan ini ke depannya. Tidak hanya Abhi, Jihan pun begitu sibuk dengan mengejar mimpi. Dia baru tersadar belakangan ini, saat Jihan mulai memikirkan pernikahan dan sudah siap untuk mulai fase hidup baru, membangun rumah tangga dengan seseorang yang mencintainya.
Lalu apa yang sudah kuperbuat selama ini untuk mewujudkan akhir bahagia hubungan ini? Jawabanku, nggak ada, yang aku lakukan hanya menunggu, menunggu dan menunggu! Batin Jihan.
Menunggu saja sudah jadi tugas berat, dia tak bisa membayangkan akan sehancur apa dirinya saat harus berhadapan dengan kehilangan pasti berkali lipat sulit dan sakitnya. Jihan tahu itu bukan pilihan, Jika dia tahu ada pilihan lain untuk menghindar. Maka, setiap orang punya kesempatan untuk pilih mengakhiri dengan cepat yaitu menghindar. Jihan hanya bisa berharap, jika saat waktunya datang, dia akan siap, kuat untuk apa pun takdirnya dan Abhi berjalan bersama atau justru akhirnya akan masing-masing.
"BU JIHAN!"
Jihan mengerjap segera menoleh ke arah Maya. Baru akan bertanya untuk apa asistennya sampai bersuara lantang, Maya lebih dulu memelototi dan memberi lirikkan mata ke arah pintu ruang meeting. Jihan ikut menoleh dan menyadari kalau klien sudah datang, tidak tahu sejak kapan. Jihan segera berdiri, menyambut mereka dan mempersilahkan mereka duduk.
"Bisa kita mulai meeting sekarang?" Tanya Jihan sopan pada klien kami
"Bisa, biar segalanya cepat selesai." Jawab mereka.
Jihan tak ingin lewati kesempatan besar ini, dia berusaha keras fokus pada presentasi. Untuk sampai di posisinya sekarang tidak mudah, Jihan tidak mau satu kesalahan lagi membuat kariernya di perusahaan ini berakhir. Dalam bekerja, pasti ada suka dan duka. Dukanya bagi Jihan ketika klien selalu memaksakan keinginannya sendiri dan tidak mau mendengar masukan dan saran dari team yang lain, misalnya dari team creative atau dari team media, atau dari team lainnya. Selain itu, dia juga sering dikomplain oleh klien. Menurut Jihan, dikomplain dan dimarahi oleh klien sudah menjadi hal yang biasa dihadapi setiap hari. Selain dikomplain oleh klien, dia juga sering dikomplain oleh rekan kerjanya dari departemen lain.
Sedangkan sukanya, ketika ada Project yang sudah disetujui dan kemudian diluncurkan sampai akhirnya Brand tersebut mengalami peningkatan penjualan karena iklannya dibuat oleh perusahaan mereka. Itulah kepuasan kerja bagi teamnya.
Hari itu presentasi Jihan berhasil mendapat kesepakatan dengan klien, ini mampu membuat galau Jihan sedikit terobati meski ketika harus pulang ke apartemen, Abhi kembali memenuhi pikiran Jihan.
***
Jihan kembali ke apartemen, begitu dikamar langsung coba menelepon Abhi. Dua hari tidak menghubungi Jihan. Apa pun yang sedang dia rasakan sekarang, sampai saat ini Jihan masih menjalani prinsip hubungan LDR-nya. Dia tak akan semakin membiarkan komunikasi diantara mereka memburuk atau ini akan jadi sebuah ledakan yang menghancurkan hubungan mereka. Biasanya jika Abhi tak menghubungi seharian karena sibuk, ketika kekasihnya mengabari, Chat sudah selesai dengan urusannya maka Jihan yang akan meneleponnya.
"Hallo.."
Akhirnya Abhi jawab telepon di nada sambung ketiga, Jihan lega bukan main. Tapi, ada pertimbangan yang mengusik Jihan. Apa akan bertanya ke mana saja lelaki itu dua hari tak ada kabar. Sayang, Jihan mengurungkan karena yakin jawaban Abhi pasti karena dia hectic kerjaan.
"Hai" Sapa Jihan "Lagi ngapain?"
"Mau pesan makan malam, kamu?"
"Baru sampai apartemen. Sekarang lagi diam aja dikamar."
"Oh!" Abhi diam beberapa detik, seakan menimbang apa yang akan di ucapkan selanjutnya "sori aku nggak kabari kamu, dua hari ini aku lagi selesaikan desain penting."
Benarkan dugaan Jihan.
"Kangen kamu." Lanjut Abhi lagi sebelum Jihan menjawab.
Nada suara yang lembut berhasil meruntuhkan galau Jihan yang menyesakkan selama dua hari ini. Semudah itu memang dan tidak Jihan sadari, ini bisa berbahaya jika dibiarkan.
Rasa kesal seketika hilang, Jihan tertawa kecil. "It's oke. I miss you too so bad! Pulang, dong."
"Maunya gitu, atau kamu aja ke sini!" Padahal Jihan ingat jika Abhi bilang akan usahakan untuk pulang ke Indonesia lagi.
Jihan masih sangat merindukan Abhi, pertemuan minggu lalu tidak bisa membayar tuntas rasa rindunya. Tawaran itu sungguh menggiurkan jika saja minggu ini pekerjaan tidak sedang banyak.
"Sayangnya aku belum bisa dalam waktu dekat. Kerjaan lagi banyak banget." Keluh Jihan.
"Iya. Nggak apa-apa kalau kamu ada waktu saja." Abhi mengerti dirinya, Jihan diam, "Jihan, nanti aku telepon lagi ya. Aku lapar."
Really, baru sebentar dan Abhi mau udahan?
"Bhi, aku kangen kamu lho. Ini baru sebentar, mengobrol aja belum." Keluh Jihan.
"Aku lapar, Jihan."
"Aku juga belum makan." Beritahu Jihan, malang sekali pacarnya tidak bertanya. "Kita alih panggilan video, sambil kamu makan nggak ap—“
"Aku nggak bisa sekarang, aku benaran lapar dan mau mandi dulu. Nanti aku janji akan telepon kamu." Abhi menolak cepat sampai memotong ucapan Jihan.
Jihan menarik napas dalam, belum sempat menjawab Abhi sudah kembali bicara. "Bye, nanti aku telepon."
"Baiklah, I Love y—“
Tut!!!
Jihan mematung dapat nada sambung terputus begitu saja, bahkan sebelum ungkapan cintanya sempurna apalagi dapat balasan dari sang kekasih. Abhi membuat Jihan semakin takut.
Dengan menggigit bibir bawahnya keras, Jihan merasa ada benda tajam menusuk dan bergerak lukai hati. Lama Jihan tatap hampa ponselnya lalu melempar ponsel sembarangan ke atas ranjang, bersama tubuhnya duduk di sisi karena lutut Jihan lemas seketika. Dia tak mampu lagi berpura-pura menjadi kuat. Tangis Jihan akhirnya pecah.
"Abhi benar-benar berubah." Bisik Jihan dengan suara bergetar dan sesak mengimpit dadanya.
[to be continued]