MENJADI PENGANTIN

1587 Kata
Perasaan Rae bercampur aduk saat nyonya Fransiska menggandengnya menuju Bale Gede. Tempat ini khusus untuk menggelar kegiatan ritual. Para kerabat dari Mahalini sudah berkumpul, mereka duduk sambil mengucapkan doa-doa suci untuk mempelai. Dari pihak keluarga Dewa Mahendra ada sekitar seratus orang menjemput mempelai wanita. Suasana sangat ramai, kata-kata pujian terlempar dari bibir-bibir para kerabat. Mereka mengucapkan doa yang terbaik buat mempelai. Rae berjalan anggun melewati mereka. Bau parfum Baccarat dari tubuh Rae menyebar menyentuh hidung Dewa yang duduk menunggu calonnya. Perasaannya sempat bergolak, tapi ia tidak mau larut dalam halusinasi liar yang menggoda. Hari ini Rae terlihat sangat cantik dan mempesona. ia berpakaian adat Agung yang mewah, dengan beberapa emas, berlian, perhiasannya sangat mencolok. "Silahkan naik ke Bale Gede.. " Seorang pendeta memerintahkan Rae duduk disamping kiri Dewa. Pemuda itu terlihat kagum melihat kecantikan calon istrinyañ, tapi ia tepiskan perasaan itu. Dengan dibantu dua orang laki-laki Rae naik perlahan tiga tangga menuju tempat duduk Dewa. Rae menghempaskan bobot tubuhnya di kursi jati yang sudah dihias dengan Indah. Perasaan sedih menggelayuti hatinya, ia ingat ibunya yang ntah berada dimana. "Nona Mahalini apakah anda dalam keadaan sehat dan tidak merasa terpaksa melakukan ritual ini." "Saya siap..." suara Rae terdengar lirih. Air matanya bergulir jatuh. Melihat itu nyonya Fransiska buru-buru mengambil tissue dan memberikannya kepada Rae. Ia maklum perasaan putrinya. "Jangan lebay, tidak ada yang akan menolong dirimu dari cengkramanku." bisik Dewa. Rae tidak peduli, ia berusaha menenangkan diri. Seorang pendeta mengarahkan Rae supaya khusuk menjalankan ritual ini. "Nona Mahalini ikutin omongan saya, supaya ritual ini berjalan dengan lancar." "Baik pendeta.." Rae terpaksa ditemani nyonya Fransiska karena ia grogi dan sangat sedih. Semua memaklumi tingkah Rae, para kerabat sudah tahu kalau pernikahan ini atas dasar perjodohan. Pukul setengah sebelas prosesi di rumah pengantin perempuan sudah selesai. Mereka sekarang akan menuju ke rumah pengantin lelaki. Rae yang berdampingan duduk dengan Dewa, hanya bisa menarik nafas kesal saat Dewa berbisik tidak jelas. Ini adalah tonggak pertama dimana ia akan menjadi lebih baik atau sebaliknya. Senang atau tidak, sebuah prosesi pernikahan sebisa mungkin ia lakukan dengan serius dan pengharapan yang baik. Ia tidak ingin status nya berubah menjadi janda, walaupun nanti ia harus menangis darah. Sebisa mungkin ia mengikuti ritual ini dengan ikhlas. Air mata terus mengalir di antara bunyi genta yang nyaring. Setelah satu jam, akhirnya selesai juga. Tinggal prasmanan, setelah itu Rae akan mengikuti suami. Rae berdiri kaku ketika nyonya Fransiska memeluknya di pintu gerbang. Kata orang nyonya Fransiska tidak boleh mengikutinya ke tempat mempelai laki-laki. Adatnya begitu. "Kamu yang sabar nak, jadilah anak yang berbakti kepada suami dan mertuamu. Hidup dirumah orang memang tidak sebebas di rumah sendiri. Dimana kaki berpijak, disitu langit dijunjung. Pertama memang berat, jika kamu menjalani peraturan di Puri dengan ikhlas, semuanya akan terasa ringan." "Baik ma, aku akan berusaha menjadi yang terbaik dan penurut. Jaga kesehatan, setelah selesai dan ada waktu luang aku datang menengok mama." "Kalau tidak di izinkan, jangan nekat datang. Sesekali mama pasti akan menengok kamu." ucap nyonya Fransiska menangis. Jejeran mobil Lamborghi menelusuri jalan raya menuju ke rumah Dewa. Orang kaya mah beda, mereka sengaja membawa mobil keren untuk kundangan. Rata-rata yang datang punya hotel atau juragan kopi, vanili cengkeh dan batu bara. Kalau mereka tahu yang dinikahi Dewa orang miskin, Rae tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. "Semakin cepat kau menjadi istriku, semakin banyak kesempatan ku menyiksa." kata Dewa setelah mereka berada di dalam Lamborghini Aventador milik Dewa. "Tadinya aku mau naik di mobil Benedictine lizarazu, kenapa kau menyuruh aku naik mobil ini?" "Hahaha...belum apa-apa kau sudah mencari mangsa. Ingat, Bened adalah teman baikku, jangan kau membuka skandal dengannya. Orang sepertimu pasti ia campakan, level nya high class." "Aku baru melihat seorang pengantin laki-laki menyetir mobil sendiri, pamali." "Bangku mobil ada dua, terus kau suruh aku duduk di kap mobil?" "Makanya kita pisah, tawaran Bened aku terima. Kau juga boleh menerima tawaran salah satu artis yang banyak datang." "Aku tidak semurah kau, aku menghargai diriku dan kastaku. Tidak seperti kau, yang tidak punya harga diri, murahan, seperti wanita daur ulang, sampah." "Aku lebih buruk dari perkiraan mu, nyawaku ada di ujung tanduk. Karena penyakit yang menggrogoti tubuhku." ucap Rae bohong. Tujuannya supaya Dewa tidak dekat dengannya dan mengganggu hidupnya. Reaksi Dewa sangat mengejutkan, wajahnya mendadak merah membara, rahangnya mengeras, ia diam beberapa saat. Terdengar suara nafasnya yang memburu. "Aku pastikan kamu kena AIDS, itu karma dari tingkahmu yang obral diri. Duhhh... ada saja yang bikin kesal, gimana kalau semua tahu. Kamu tidak boleh merawat orang tuaku tidak boleh dekat, tidak boleh ke dapur, tidur, mandi, di kamar mu. Jangan berinteraksi dengan seluruh penghuni rumah." perintah Dewa dengan nafas ngos-ngosan. "Aku menantu dirumah mu, tidak mungkin aku ongkang-ongkang kaki seharian." "DIAM!! apa kau ingin keluargaku kena HIV semua?" "Makanya jangan menikah denganku." "Aku menyesal, b******k!!" amarah Dewa tidak terkendali. Rae diam membisu, biarlah, daripada mereka berharap lebih, terus terang ia takut sekali, ia sangat menyesali pernikahan ini. Mobil melaju lebih kencang ketika berada di jalan Tol. suara dari Sam Smith dengan lagu Leave Your Love mengalun dari play musik mobil. Setelah menahan takut yang berlebihan gara-gara Dewa ngebut, akhirnya sampai juga di Puri. "Turun!!" Perintah Dewa dengan suara keras, sengaja ia ngebut berharap Rae berteriak ketakutan. Tapi gadis itu sepanjang jalan, diam dan matanya merem. Benedictine lizarazu, pemuda macho yang berwajah indo, bergegas membukakan pintu mobil. "Silahkan turun nona..." "Trimakasih Bened." ucap Rae tersenyum. Melihat itu Dewa melangkah tidak peduli. Baginya Rae adalah sampah yang layak di buang. "Dewa, gandeng tangan Mahalini." panggil Bened keras. Tapi Dewa tidak peduli, ia terus berjalan masuk. Terpaksa Bened gandeng Rae dan berjalan masuk. Rae tidak bisa berkata-kata atas kemegahan rumah Dewa, seperti istana yang berada di film India. Rumahnya sangat luas dan Bale Gede nya besar dengan ukiran disana sini dari emas. Mengagumkan. "Ibunya Dewa datang, hormat kamu." bisik Bened. "Selamat siang ibu..." sapa Rae sopan. "Sayank, mari sama ibu." ucap ibunya Dewa menggandeng tangan Rae. Ia tidak senang melihat pemuda lain menggandeng Rae, walaupun ia mengerti bahwa Dewa tidak pernah setuju dengan pernikahan ini. Perlakuan ibunya Dewa sungguh menyentuh perasaannya. Ia ingat ibunya, tidak terasa air matanya jatuh. "Jangan menangis, foto mu akan tersebar luas, semua orang yang hadir disini orang berpengaruh, dan dari kalangan atas." "Saya ingat ibu..." ucap Rae lirih. "Sayank, kamu berubah..." Rae baru sadar kalau ia adalah Mahalini, orang kaya dan cantik, bukan Rae Shita Dewi yang polos dan miskin. "Maaf..." hanya suara itu yang bisa diucapkan. Bagi kerabat dan tamu undangan yang sudah mendengar bisik-bisik tetangga, bahwa pernikahan ini adalah perjodohan yang tidak disetujui oleh kedua belah pihak. Mahalini yang sudah punya calon suami terpaksa putus ditengah jalan demi menuruti orang tuanya. Jika sekarang gadis itu menangis bombay orang sudah faham. Melewati para tamu undangan, Mahalini terlihat seperti Dewi turun dari khayangan. Pakaian Bali Agung yang dia pakai sesuai dengan konsep pernikahan hari ini. Semua orang yang berada disitu memposting prosesi pernikahan Rae dan Dewa Mahendra, ke medsos. Tidak ketinggalan w******p Mahalini ikut kecipratan berita. Ntah siapa yang berbaik hati mengirim berita itu. "Yank lihat ini." kata Mahalini mendekati Gunawan. Saat ini mereka berdua sedang di rumah Gunawan. Pernikahan mereka tidak di rayakan, cukup di catatan sipil saja. "Ada berita apa lagi sayank?" Gunawan menghampiri istrinya yang sedang rebahan. "Perkawinan Rae dan Dewa, sangat mewah. Pakaian Rae sangat indah, aku iri melihatnya. undangannya ada seribu." "Sekarang mendadak iri, kenapa dulu di tolak. Kita seharusnya tidak menikah, lebih baik aku jadi selingkuhan mu sampai tua. Anakku Dewa yang mengasuh, nanti semua warisan Dewa, atas nama anakku." "Itu namanya licik, apa tanggung jawabmu sebagai suami." "Memuaskan mu setiap saat." "Tega sekali kamu bicara, berarti keberadaan ku sekarang kurang berkenan dihatimu." "Jangan marah dulu, aku sangat mencintai mu. Kita harus realistis berpikir. Pernikahan hanya mengandalkan cinta saja, tidak cukup untuk membangun sebuah rumah tangga. Harus ada penghasilan yang cukup untuk biaya rumah tangga." "Itu saja kamu bicarakan, selama ini aku sudah kasi kamu uang. Kamu juga harus irit-irit, kerjaanmu main game online saja, cari kerja yang benar." "Aku sulit mencari kerjaan di pulau ini, kita balik ke Bali saja. Disana banyak kerjaan." kata Gunawan. "Aku tidak mau, nanti aku ditangkap oleh keluargaku. Lebih baik kamu bekerja disini. Misalnya melamar jadi pegawai super market atau pelayan toko." "Mana mungkin aku mau bekerja hina begitu, aku bekas manager." kilah Gunwan. "Terus maumu bekerja apa?" "Aku ingin jadi manager di Cafe Gaul milik ibumu." "Itu tidak mungkin, Rae sudah menjadi Mahalini." "Kamu terburu-buru mengambil langkah, kita sekarang tidak dapat warisan dari ibumu dan dari Dewa." "Jangan terus menyalahkan aku, semua yang aku korbankan karena aku mencintaimu." "Aku lebih senang kamu menikah dengan Dewa, buat apa menikah denganmu kalau kamu miskin." "Gunawan!! jaga mulutmu, berarti kamu selama ini hanya suka uang ku saja?" Mahalini mulai menangis, ia merasa Gunawan tidak bertanggung jawab. Padahal sudah banyak yang ia korbankan untuk pria itu. Demi menjadi istrinya, Mahalini mencuri uang ibunya tiga ratus juta. Setelah berada seminggu di rumah Gunawan, ia mulai merasa butuh uang banyak. Karena saat ini ia sudah hamil. Nanti melahirkan ia butuh lebih banyak uang. Gunawan tidak bereaksi ketika istrinya menangis, ia sendiri puyeng disuruh kerja. Mau keluar tidak ada kendaraan, ia jadi kesal kepada Mahalini yang mengajaknya kawin lari. Rumah yang mereka tempati sekarang bukan miliknya, Gunawan ngontrak sebulan. "Sudah, jangan menangis terus, uang tidak akan datang dengan cara kamu menangis. Lebih baik cari solusi supaya bisa balik ke Bali. "Sudah aku bilang, aku tidak mau ke Bali." "Kalau begitu aku saja kerja di Bali, kamu tinggal disini. Setiap minggu aku akan datang membawa uang banyak." ucap Gunawan dengan penuh keyakinan. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN