PANDANGAN PERTAMA

1598 Kata
Setelah nyonya keluar, Rae mematikan lampu kamar dan menghidupkan lampu tidur, suasana menjadi temaram. Ia memilih duduk di sofa yang ada di kamar, keinginan untuk ke taman belakang tidak kesampaian. Ia maklum terhadap sikap nyonya Fransiska yang mengunci pintu belakang, pasti nyonya takut kalau ia kabur. Perbuatan itu tidak akan ia lakukan, biarpun perasaannya sedih. Janji itu terlanjur terucap dari bibirnya, sudah di sepakati berdua dengan Mahalini, sebagai saksinya Gunawan. "Tookk...tookk...tookk" Suara ketukan menyeret kaki Rae menuju pintu. Dengan malas ia membuka pintu dan... seorang pemuda tampan berdiri di depannya. "Siapa kamu?" tanya Rae grogi. Ia cepat membuka pintu, kemudian menyala kan lampu kamar. Perasaannya mengatakan bahwa orang ini adalah calon suaminya. Dadanya langsung berdebar, untuk menutupi kegugupannya ia berdiri acuh memandang ke tempat lain. Rae berusaha memunculkan rasa amarahnya ia tidak sudi melihat manusia ini, yang kini membuatnya berada disini. Baginya orang ini adalah biang kerok dari masalah rumit yang dihadapi sekarang. Orang ini yang membuat dirinya tidak bisa bertemu dengan ibunya. "Aku adalah mautmu!" akhirnya pemuda itu menjawab kasar dan masuk begitu saja ke kamar. Ia berdiri kaku di samping sofa. Mata nya menatap Rae sinis. "Syukurlah kau datang, kebetulan aku sudah bosan hidup, gara-gara ada pecundang yang kehilangan arah, dan begitu pasrah terhadap perintah orang tuanya. Aku memastikan kalau kamu tidak laku, sehingga mau saja dijodohkan dengan wanita yang sudah punya calon suami." sahut Rae dingin. Kemudian Ia melangkah ke jendela kamar. Dengan kasar tangannya membuka vitrase gorden lebar-lebar. Di luar gelap, tidak ada penerangan sama sekali, padahal di Gazebo terpasang lampu, kenapa tidak dinyalakan? apa ini juga salah satu trik nyonya Fransiska supaya ia tidak kabur. Matanya tidak bisa melihat pemandangan indah di luar. "Aku sengaja menyetujui perjodohan ini, untuk mencari babu khusus, yang bisa aku siksa tiap saat." "Pikiran kita sama." "Tunggu saja penyiksaan dariku." terdengar suara pemuda itu meninggi. Rae tidak peduli, matanya tetap memandang keluar kamar. Konyol sekali. "Kau pikir aku patung, aku bisa melawan dan memutilasi manusia seperti kau." Amarah Rae memuncak, ia yang biasanya lembut menjadi beringas dan kasar. Baru kali ini ia melawan orang. Perasaannya meledak karena merasa tertekan, ditipu oleh Mahalini dan menutup akses bertemu dengan ibunya. Rasanya ia ingin menendang Dewa saking kesalnya. "Hahaha...bukannya kau silau dengan harta dan tahta, sehingga kau nekat putus dengan Gunawan dan berharap menjadi permaisuri di rumahku." "Aku tidak selera dengan apa yang kau punya bagiku orang tuaku adalah nyawaku. Apa salahnya menuruti perintahnya. Tolong catat, Gunawan tetap teman ranjang ku, calon ayah dari anakku." kata Rae tandas. Ia membalikan tubuhnya dan memandang Dewa dengan tatapan sinis. Ntah darimana ia punya ide berbohong, tapi ia bangga bisa menikam jantung laki-laki itu dengan omongannya. Wajah Dewa memerah, Laki-laki itu gusar mendengar ocehan w************n ini. Ia membalas dengan tatapan tajam sambil menggebrak meja, dan berkata penuh emosi. "Dasar murahan, jalang, kau cocoknya berdiri dipinggir pantai dan mengobral diri." "Aku nanti mengobral tubuhku lewat online service, tolong siapkan satu kamar khusus untukku disamping kamarmu, supaya kau tahu seleraku. Kita memang tidak selevel, umur ku masih muda dan kamu sudah tua." "Perempuan iblis, tunggu penyiksaan ku." bentak Dewa lalu keluar kamar dengan marah. Dadanya bergemuruh mendapat perlawanan dari Mahalini. Tujuannya datang ke kamar Mahalini untuk membubarkan rencana orang tuanya dengan cara menekan Mahalini. Tapi misinya gagal, malah Mahalini lebih b******k daripada perkiraannya. Duhh, apa nanti kata orang kalau Mahalini menjadi istrinya. Biarpun cantik tapi binal, mungkin sudah banyak lelaki menjadi sugar daddy nya. Sebagai kasta Brahmana tentu ia ingin gadis suci, belum tersentuh laki-laki. Supaya tidak menjadi omongan keluarga. Bukan karena kasta juga, tapi lebih kepada perasaan egonya. Intinya ia tidak ingin punya istri bekas orang. Dewa melangkah lebar menuju Bale Gede. "Dewa, apakah sudah bertemu dengan Mahalini?" nyonya Fransiska buru-buru menghampiri calon menantunya. "Sudah tante..." jawab Dewa dingin. Perasaan nyonya Fransiska tidak enak melihat Dewa berwajah kecut. Nyonya Fransiska mengajak Dewa mendengarkan keputusan tetua. "Kita sama-sama sudah sepakat memilih hari baik yang jatuh lagi tujuh hari. Memang sangat mendadak, tapi itu hari yang paling bagus untuk perjodohan Dewa dan Mahalini." ucap tetua sambil mengunyah sirih. "Kami akan membagi tugas supaya upakara pernikahan ini berjalan dengan lancar." ucap Pak Merta dari pihak Dewa. Malam semakin larut, Rae tidak bisa tidur, ia sangat gelisah. Berapa kali ia menghubungi ibunya, tapi tidak dijawab. Ingin sekali pulang kerumah menjenguk ibunya, namun apa daya Rae hanya bisa menangis sepanjang malam. Mahalini mungkin sudah mengganti nomor teleponnya. Nasibnya memang apes bertemu Mahalini. Gara-gara ia tidur kepagian Rae baru bangun pukul 10.45. Tentu saja ia merasa takut dan malu. Ia bergegas turun dari ranjang menuju kamar mandi. Selesai mandi ia memilih pakaian di almari, tidak ada pakaian sederhana yang bisa di pakai dan membuatnya nyaman. Pakaian mona Mahalini terlalu mewah serta mahal, membuat sayank memakainya. Suara ketukan pintu mengagetkannya. Ia membuka pintu dengan pelan, ia kaget nyonya Fransiska sudah berada di depannya. "Pagi ma, maaf aku telat bangun." "Ahh...biasanya kamu bangun jam dua belas, dan tidak pernah minta maaf, mama jadi curiga..." Rae buru-buru tersenyum, ia merasa salah omong. Jantungnya bergemuruh saat nyonya Fransiska mencurigainya. "Mama curiga apa?" tanya lembut. "Mama curiga kalau kamu mulai belajar sopan santun karena Dewa. Pengaruh calon suamimu sangat cepat. Kemarin dia bicara apa saja, wajahnya terlihat kecut." "Kami bicara seadanya, dia terlihat kurang senang padaku, makanya aku belajar jadi orang baik untuk menghargai dirinya dan keluarganya. Akan banyak perubahan yang akan terjadi padaku." "Berarti kamu tidak keberatan menikah dengan Dewa?" "Demi mama aku rela mengorbankan diri." "Trimakasih sayank, Dewa bukan orang sembarangan, tidak ada ruginya menikah dengannya." "Baik ma..." "Mari kita makan, setelah itu kamu ke salon langganan kita." "Dengan siapa kesana?" "Biasanya kamu nyetir sendiri." Deg! Rae kaget, ia baru sadar bahwa Mahalini bisa nyetir mobil sendiri. Banyak kebiasaan Mahalini yang tidak terpikir olehnya. Ia hanya bisa naik motor, itupun motor lama ibunya. "Aku lupa cara menyetir mobil, masih takut kalau ingat tabrakan." "Maaf sayank, mama lupa kalau kamu masih sakit. Nanti mama suruh pak Darius untuk mengantarmu ke salon." Mendadak Rae terbatuk mendengar nama Pak Darius. Ia trauma melihat orang itu. Apa pak Darius tahu rahasia ini, ia jadi takut. "Aku lebih senang seorang wanita yang mengantar, masalahnya Dewa mulai cemburu dan banyak larangan." kilahnya bohong. "Ternyata Dewa sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Semoga pernikahan kalian lancar." "Trimakasih ma..." Pantas orang kaya malas punya menantu orang miskin, karena banyak yang tidak di mengerti dan harus dipelajari terlebih dahulu. Selesai makan Rae diantar oleh Susi salah satu karyawan Cafe Gaul. Dalam perjalanan Rae banyak bertanya tentang Cafe dan penyanyinya. "Siapa yang menyanyi di Cafe sekarang?" "Semenjak mbak Rae pergi, ada beberapa wanita yang menjadi penyanyi, tapi tidak ada yang mengalahkan mbak Rae." "Apanya yang hebat dari Rae?" "Orangnya cantik dan suaranya serak-serak basah begitu. Unik sekali." "Kemana Rae?" "Kata orang-orang Rae diculik orang, tapi ada juga yang mengatakan Rae diperkosa dan dibunuh oleh seseorang." "Owh...mengerikan, semoga dia selamat dunia akhirat." ucap Rae merinding. Orang bisa saja bergosip yang belum tentu kebenarannya. Bagaimana kalau ibunya yang mendengar, wanita tua itu bisa pingsan, apalagi ditunjang dengan tidak munculnya Rae sebulan lebih. "Nona sudah sampai." kata Susi mencari parkir. Maklum tempat parkir penuh, mereka terpaksa parkir agak jauh di depan toko yang tertutup. "Mana nomor telepon mu, setelah selesai aku akan telepon kamu. Sekarang kamu boleh pulang atau pergi ketempat lain." "Saya akan pergi ke Mall sebelah " sahut Susi tersenyum manis. Rae mengatur langkahnya dan bergaya hedon seperti orang kaya, tingkah lakunya dia jaga supaya mirip Mahalini, disamping itu untuk mengelabui therapist salon yang hampir semua mengenal Mahalini. "Selamat pagi..." "Hallo Mahalini, silahkan nona naik ke lantai tiga. Kami sudah mempersiapkan ruangan dan seorang therapist untuk nona. Jika ada therapist yang pelayanannya kurang memuaskan, nona tinggal pencet intercom dan mengadukan keluhan nona." "Trimakasih mbak...." Rae naik ke lantai tiga, di mana-mana penuh orang. Kedatangan Rae langsung di sambut oleh seorang therapist dan membawanya ke sebuah ruangan. Disini juga banyak orang dan Rae mendapat nomor antrean, kirain langsung masuk, tahu ngantre ia tadi tunggu di bawah. "Ini masih lama?" tanya Rae menunjukkan nomor antrean nya. "Sabar mbak, nanti therapist kami akan atur pelanggan kelas Vip." "Semua orang disini klas Vip, jika merasa keberatan silahkan turun." tiba-tiba ia mendengar suara Dewa, apa benar? kenapa ia kesini, apa ikut perawatan. Rae menoleh ke tempat jejeran orang-orang duduk, ia kaget melihat Dewa yang menatap dirinya tajam. Dengan acuh ia duduk di sebelah Dewa, karena sisa kursi cuma satu. Rae membuka ponselnya dan menulis. "Rupanya ada cowok ikut dipermak mukanya, perkiraan ku memang benar. Ternyata kau ngondek." kirim. "Kurang ajar, aku perkosa ksu di depan orang, supaya cangkemmu mingkem." balas Dewa kesal. Ia mencari kesempatan supaya bisa menginjak kaki Rae. "Aku ragu, apakah kau punya batang?" kirim. "Kalau berani sentuh!!" balas Dewa sengaja duduk menantang. Kedua kakinya selojoran. Rae melirik sekilas tapi tidak ada batang yang menonjol. "Hahaha....biar pun kau duduk seperti kodok habis digoreng, tetap saja cacingmu ngumpet. Kalau kau punya ular baru pamer, supaya enak dilihat." kirim. Tapi Rae merasa ada bolpoin menusuk punggungnya, ia tahu ini ulah Dewa. Tidak mau kalah, cubitan Rae mendarat di paha Dewa, kukunya sengaja ia tancapkan dengan keras. Tusukan bolpoin seketika lenyap. Rae tersenyum mengejek. "Nona Mahalini silahkan anda ikut dengan saya." seorang therapist membuyarkan rencana Dewa membalas lagi. "Sudah lama nona tidak pernah datang, tapi kelihatan nona tambah muda. Seperti anak umur sembilan belas tahun." ucap monik mengajak Rae masuk ke ruang skin treatment. "Trimakasih, umurku memang sembilan belas tahun." Walaupun ucapan Rae benar, tapi monik tidak percaya malah ia tertawa. "Umur boleh tua, tapi wajah terlihat muda dan energik. Orang tidak menyangka kalau nona berumur dua lima. Kasitahu dong rahasianya." "Rahasianya jangan julid!!" ucap Rae tersenyum tipis. ***** "
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN