Pria itu menoleh seraya mendongakkan kepala. “Hai, ada Bang Dian rupanya.” Perban di pipi serta belakang kepala seakan berfungsi sebagai aksesori baginya. Ia jauh dari bayanganku sebagai pemuda sakit yang sedang terkapar tak berdaya. “Kamu sudah baikan?” ucapku tak percaya. Entah kenapa aku merasa lega. Pria itu memberikan jawaban lewat sebuah anggukan. Pandangannya lekat menatapku. Lebih tepatnya, memerhatikan dua ‘rak’ di dadaku. Pikiranku sontak berubah siaga. Aku sadar akan fakta genting lainnya. “Tunggu dulu, kenapa kamu ada di sini!?” Ayah dan ibuku tak terlihat keberadaannya, itu berarti hanya ada kami berdua di rumah ini. Pemuda itu agak memiringkan kepalanya, memasang wajah polos penuh tanda tanya. Mulutnya lalu terbuka balas menanya, “Lho? Bibi sama Paman tidak ada yang c