Bab I : Gigolo tak berperasaan
“Anjing lo!”
Seseorang membentakku kasar. Suaranya melengking hingga membuat seisi kelas mendadak mengheningkan cipta. Guru di depan sana bahkan terkesiap tanpa suara, menatap sang pelaku.
Adalah Siska, perempuan liar dengan rambut panjang diikat tinggi. Gadis itu duduk di sampingku, menggebrak meja dengan keras seraya mengarahkan telunjuknya padaku, “Jangan mentang-mentang lo cowok, terus bisa seenaknya aja n***e! Padahal baru sebulan kalian pacaran, tapi lu udah berani m*****i dia. Dasar sangean lo, b*****t!”
Ya elah si l***e…
Padahal tadi dia sendiri yang maksa-maksa buat cerita. Padahal itu bukan urusan dia. Bodo amat kalau memang Cindy teman dekatnya, bukan berarti dia bisa begitu saja seenaknya membentakku.
Tak terima dihina, aku lantas menggeser kursi kayu seraya bangkit demi balas mencerca. Senyum kecil kutunjukkan sebagai salam pembuka. Berikutnya, mulut ini membuka lebar memaki dia sekuat tenaga, “Eh j****y! Jangan kira karena babeh lo kepala sekolah di sini, lo bisa seenaknya kasar kayak gini!”
Ada semacam jeda sebelum dia bisa membalas balik, “Suka-suka gue lah, gue usir guru di sini sekarang juga gue bisa.”
“Uhhmm… Siska? Bisa tolong kecilin suaranya?” Pria setengah baya di depan kelas terlihat mengemis perhatian dengan cara yang sangat menyedihkan. Alih-alih menegur, atau mungkin mengusir si pengacau seperti guru normal pada umumnya. Pria berpeci itu malah terlihat gemetaran seraya memegangi spidol di tangan.
“Berisik lo,” balas Siska ketus, sukses membungkam perlawanan lanjut dari sang guru. Pandangannya kemudian teralihkan padaku, “Dan elu PeKa!,” ucapnya semakin keras.
Ngomong-ngomong, PeKa itu singkatan dari ‘Penjahat Kelamin’.
“Lo keseringan merawanin pacar-pacar elo, terus lo putusin mereka seenaknya. Dasar b******n. Semoga suatu hari lo kena karma.”
“Biarin lah jing, karma apaan sih yang bisa nimpa gue? Lagian lo ngebacot gak usah nyolot, biasa aja napa? Gak usah kenceng-kenceng. Emang pada dasarnya lo gak pernah pake otak ya,” hardikku melawan.
“Suka-suka gue,” balasnya. Seperti biasa ia melancarkan jurus terakhir itu dalam melakukan pembenaran.
Aku sebenarnya malu, tatapan mata semua orang tertuju pada kami berdua.
Namun di sisi lain, Siska seperti tak menyadarinya sama sekali.
Atau mungkin saja dia malah menikmati? Dasar j****y caper. Yang jelas, aku tak suka dijadikan pusat perhatian seperti ini. Langkahku kemudian terayun, melipir secepat kilat keluar dari ruang kelas. Dengan tanpa mengurangi hormat, kuucapkan permintaan izin untuk ke luar kepada pak guru yang seperti sedang menahan tangis.
Mataku mendelik tajam pada si l***e, seraya berucap kasar dalam gerakan mulut tanpa suara, “Anjing lo!” Kuacungkan jari tengah seraya melewati pintu. Dia membalasnya dengan wajah berang disertai tatapan tak sedap.
Kututup pintu ruangan dengan kasar, menciptakan suara gebrakan keras hingga seisi kelas terentak ketakutan.
Tadi itu ekstrem sekali. Untuk ukuran murid biasa, tentu sanksi DO atau dipecat akan senantiasa membayangi.
Tapi aku tak ambil pusing. Berulang kali kami saling melontarkan cacian, hingga ke tahap perang kata-kata mutiara berupa beragam jenis nama hewan. Pun begitu, hingga detik ini aku masih baik-baik saja. Tak ada teguran atau apa pun yang dilayangkan dari pihak sekolah. Dan semuanya tentu memiliki alasan.
Kuteringat ketika masa orientasi siswa. Pertama kali kami bertukar pandang, detik itu juga kami seolah disiratkan akan dua elemen yang saling bertolak belakang. Tampangnya itu lho. Gusti ya rabb… judeees!
Segala hal tentang kami selalu bertentangan; Aku yang senang musik klasik, dihina-hina oleh dirinya yang mendewakan aliran metal. Begitu pun dalam hal makanan. Siska seorang anak kepala sekolah, menyandang status terhormat, berpakaian rapi, dengan paras cantik layaknya tuan putri, tapi ternyata seorang penyuka jengkol.
Biar kuulangi. Jengkol … ya… jengkol yang itu. J-E-N-G-K-O-L.
Ayolah, putri cantik jelita dengan tutur kata sopan nan anggun itu hanya ada dalam dongeng. Kuakui paras dia memang manis selayaknya artis papan ternama. Make up ala kadar berpadu blush on, serta retina hijau berbalut bulu mata lentik itu akan menyihir siapa pun yang memandangnya. Kuakui dia cantik.
Perempuan manis berkelakuan tomboy itu seharusnya terlihat keren.
Tapi jengkol? Aduh, Please lah…
Andai aku diangkat menjadi seorang presiden. Tentu kepres pertama yang kubuat adalah menjadikan buah terkutuk itu setara dengan h****n dan g***a. Keberadaannya akan kujadikan sebagai hal illegal, siapa pun yang memakannya akan dipenjara, bahkan kuhukum mati sekalian. Hoeeek~
Berbagai atribut lain pada dirinya seakan menjungkirbalikkan pandanganku padanya. Kontras dengan penampilan anggun khas dirinya. Mulut gadis itu sesungguhnya senantiasa dipenuhi hal-hal berbau kekerasan. Sifat bar-bar memang sudah tertanam dalam DNA-nya. Saringan etika di kepala dia mungkin jebol entah kenapa. Drama di kelas tadi itu salah satu buktinya. Kelakuan dia urakan seperti berandalan, gerak tubuhnya ketika berjalan pun tak ubahnya mirip dengan preman jalanan. Tidak ada sedikitpun anggun-anggun’nya.
Pun begitu, sebenarnya dia bisa saja menggunakan pengaruhnya untuk menyingkirkanku.
Jadi, kenapa sampai sekarang kenapa aku masih baik-baik saja? Padahal kami sering mencipta keributan. Akan tetapi, tak ada tindakan apapun dari pihak sekolah meski ini tahun terakhir aku berada di sini. April depan, aku sudah lulus dan memulai kehidupan perkuliahan.
Tanpa sadar bibirku mengukir senyum kepuasan. Aku bukan protagonis bodoh. Tentu aku tahu stereotype populer di masyarakat wibu—fantatik ke hal Jejepangan—tentang Yandere, Kuudere, Tsundere, dan dere-dere lainnya. Aku paham si Siska ini masuk dalam golongan Tsundere—benci tapi cinta—kasar dan senantiasa mengambil sikap berseberangan dari hatinya. Jauh di lubuk hatinya, dia tak benar-benar membenciku. Perilaku kasar itu hanyalah topeng untuk menyembunyikan perasaan sesungguhnya padaku.
Oleh karenanya pernah kupaksa dia untuk melayani nafsu bejatku. Kuperkosa dia sebulan yang lalu.
Walau sayangnya usaha itu berakhir pilu. Alih-alih memerawaninya, aku malah berakhir dengan serangkaian luka lebam di wajah.
Gila memang.
Tak hanya liar, dia juga jago bela diri. Untungnya gadis itu tak sampai hati untuk membawa kasus itu ke ranah Polisi. Aku tahu dia masih berbelas hati. Usahaku tidak akan terhenti sampai di sana.
Aku punya semacam panduan hidup, kode etik yang selalu kupegang dalam urusan percintaan.
“Conquer the body, then the heart shall follow.”
Kuasai badannya, nanti hati si cewek bakal nyusul belakangan.
Prinsip itu akan selalu kuingat. Entah berapa perempuan yang sudah kukuasai di sini. Mangsa terakhir ya si Cindy itu. Awalnya bilang, “nggak-nggak,” tapi ke sini-sini malah jadi, “terus… jangan berhenti, ena..”
Semua cewek sama aja. Lubang s**********n itu kelemahan mereka. Begitu lubang senggama sukses diterobos oleh tongkat cinta, seketika itu juga mereka akan ketagihan karenanya.
Kuambil handphone di saku baju. Sebuah SMS sukses terkirim pada Cindy, junior satu angkatan. Ini masih di jam pelajaran, seorang murid tak seharusnya berada di luar kelas. Namun aku tahu, gadis itu tak akan pernah bisa menolak panggilanku.
Sekolah ini tergolong jauh dari pemukiman. Kanan kiri pagar hanyalah berupa hutan dan pesawahan. Jauh ke dalam hutan itu terdapat sebuah gubuk tua tempat nongkrong para berandalan. Di sanalah aku duduk melamun, menatap kosong mobil berseliweran di jalan bebas hambatan. Tol Cipularang memanjang di kejauhan, membelah bukit serta pegunungan.
Tak lama berselang, Di sampingku kini terlihat sosok Cindy dengan seragam sekolah putih abu-abu. Dua pipinya terlihat memerah walau tak berpoleskan blush on. Matanya terarah ke tempat lain walau sesekali mencuri pandang, “Ka, kak Dian tadi manggil aku ke sini?”
Kujawab dengan sebuah anggukan. Langkah kaki pun terayun berjalan menghampiri, memperpendek jarak menuju dia.
Kupergoki secuil keraguan tersirat di matanya.
Dengan cengkeraman erat, kuraih dua pundaknya. Tak sedikit pun kulepas pandanganku pada wajah jelita juniorku ini. Tentu saja, sebagai gigolo aku punya standar tersendiri. Mereka yang bertampang pas-pasan tak perlu khawatir akan kudekati.
Detik berikutnya, kubalikkan badannya. Kudorong sedikit punggungnya, hingga ia harus menahan beban tubuh pada batang pohon.
Tanpa basa basi kusingkap rok abu-abu miliknya, menyibak keberadaan celana dalam berwarna putih. Dia hanya menoleh ke belakang seraya tergelagap, ekspresi kikuk jelas terukir di wajahnya, “Eh… eeeehhh??”
Kubuka resleting celanaku, memamerkan sang phallus yang mengacung tinggi menantang angkasa. Lenganku yang lain sibuk menelisik ke dalam sela celana dalam, mengaitkan jemariku agar bisa menariknya keluar. Tanpa kesulitan kusingkap kainnya ke samping.
Kuludahi ujung senjataku, semata agar dia bisa menerobos masuk tanpa kendala. Aku tak ingin membuang waktu menggerayangi tubuhnya semata agar nafsunya menggebu. Agak kesulitan aku menemukan pintu masuknya. Kugerakkan ke atas sedikit demi sedikit hingga akhirnya sukses menghujam.
Matanya memejam erat, seraya kepala menengadah tinggi. Ia terkejut seraya menikmati semacam sensasi.
Aku tak berucap banyak, napasku memburu liar seraya tubuhku memacu cepat. Kupegang erat kedua sisi pinggangnya. Lenganku merasakan sentuhan lembut tatkala diusap helai rambut Cindy yang tergerai jatuh. Rambut panjangnya begitu lurus, bergoyang-goyang dalam rangkaian entakan.
Lenguhan kecil sayup terdengar, sontak saja ia menutup mulutnya. Aku tak sedikit pun menurunkan tempo, malah kupercepat gerakan pinggulku. Tujuanku tentu saja agar dia bisa ‘keluar’ terlebih dahulu.
Aku harus memuaskannya sebelum memanjakan diriku sendiri. Kurusak otaknya dengan rentetan kenikmatan bak ekstasi, layaknya candu yang membuat korbannya tak bisa berhenti. Itulah kenapa dia rela untuk datang menghampiri, walau hatinya tahu ia akan diperlakukan seperti ini.
“Conquer the body first, then the heart shall follow.”
Tak ada satu pun perempuan gagal kutaklukan lewat cara ini. Terkecuali si jalang Siska yang terlihat sok suci. Dia menampik usahaku untuk memerawaninya, memperlakukanku layaknya sampah tak punya harga diri.
Batinku terasa mendidih kala berimajinasi, membayangkan parasnya yang tengah dipenuhi berahi. Rasa penasaran menggelitik tiap sudut sanubari. Kuberimajinasi membayangkan dia sebagai pengganti Cindy.
Aku harus bisa mendapatkannya. Dengan cara apapun aku tak peduli.
Kudapati Cindy tersentak kecil dengan wajah menengadah tinggi. Gadis itu menggelinjang menikmati puncak dari nikmatnya senggama ini.
Siska sampai membentakku karena aku sudah merusak gadis ini. Aku entah kenapa jadi ikut kesal padanya.
Kucabut kejantananku darinya. Gadis itu terlihat merosot jatuh kehilangan tenaga, bertumpu pada kedua lututnya.
Aku belum selesai. Kudorong lagi punggungnya, hingga membuat dia tersungkur, menapaki tanah dengan pergelangan tangan. Kuposisikan senjataku sedikit lebih tinggi. Kudorong berulangkali kepala ‘si Jhonny’ pada lubang dubur berukuran kecil. Liang itu adalah tempat pembuangan, tak semestinya tempat itu dimasuki apapun.
Cindy berubah panik, ia berusaha untuk bangkit, seraya mencegah kejantananku dalam proses menggali. Gadis itu menoleh dengan ekspresi gelagapan, “Ja.. jangan kak,” ucapnya memohon.
Tapi aku tak peduli. Dalam satu entakan kukubur dalam-dalam p***s ini.
“Aaaaaaah…” Cindy melenguh, jemarinya menancap tanah lalu mencengkeram begitu erat. Ia mencakar apapun yang ada di sana. Tubuhnya memberontak, tapi aku tak melepaskannya begitu saja. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang perempuan. Tenaganya tentu tak seberapa jika diadu dengan otot terlatihku.
Penisku tertahan oleh sesuatu. Sulit rasanya untuk bisa masuk, ada semacam batas melintang di dalam sana. Namun hambatan itu tak benar-benar menghalangi. Dinding itu terasa elastis, seiring dengan dimulainya genjotan pelan, dalam usaha untuk menerobos lebih dalam.
Gadis itu merintih di tiap entakan. Mulutnya terbuka lebar seraya matanya terbelalak menatap kosong. Kudapati air liur menetes dari bibirnya.
Kutarik penisku hingga keluar, lalu kutekan keras hingga tenggelam. Butuh proses yang melelahkan, hingga akhirnya seisi arsenalku sukses menghujam. Dinding dubur itu begitu erat mencengkeram. Tak pernah kurasakan sensasi seperti ini sepanjang pengalamanku memerawani perempuan.
Lenguhan suaranya terdengar semakin nyaring. Gadis ini tak lagi memberontak, ia bahkan menekuk pahanya lebih dalam, seakan menjulurkan anusnya yang tak berdaya, agar lebih leluasa untuk digarap. Cindy mulai menikmati ini. Sontak saja aku mengukir senyum kemenangan.
…
Jantungku berdetak liar. Keringatku menetes jatuh kala napasku memburu cepat. Batinku dikuasai berahi, memaksa pinggulku untuk terus memompa. Entah berapa lama waktu terlewati.
“Mmmmhhhh….” Matanya terpejam erat. Tubuhnya terentak sesaat, lalu melemas beberapa saat kemudian. Gadis itu sukses mencapai puncak untuk kedua kalinya.
Bagian bawah tubuhku seakan hendak meledak. Kulancarkan hujaman terakhir, seraya melepaskan letupan berahi sekuat tenaga. Pancaran cairan kental menyembur keras di dalam lubang duburnya.
Kulepaskan tiap tetes spermaku di dalam sana tanpa harus khawatir akan kemungkinan hamil di kemudian hari. Seks anal mungkin jadi solusi terbaik bagi hyperseks sepertiku.
Kami berdua terengah-engah. Kucabut benda milikku dari lubang anusnya. Isak tangis menyusul kemudian. Tubuhnya bergetar menahan emosi yang melanda. Lengannya menutupi mulut, seraya wajahnya jatuh dengan pandangan kosong penuh air mata.
Kuelus rambut lembutnya. Ia menoleh, menatapku lekat dengan pandangan berkaca-kaca. Bibirnya terkunci rapat menahan isakan. Gadis itu kemudian memelukku erat seraya berucap manja, “Kakak jangan pernah tinggalin aku ya..”
“Iya,” ucapku datar, nyaris tanpa ekspresi.
Entah kali ke berapa aku mengalami ini. Perasaan ini seperti Déjà vu. Mereka selalu mengatakan hal sama, seusai melakukan perbuatan b***t untuk pertama kalinya. Aku mungkin sudah menggagahinya berulang kali, tapi tindakan anal ini adalah pengalaman baru baginya.
…
Cindy kuperbolehkan pergi, kembali menuju sekolahan. Sementara aku duduk di gubuk reot, sendirian memandangi langit. Kurebahkan tubuhku, melepas lelah setelah melampiaskan hasrat b***t ini.
Oh iya, sedari tadi aku agak dibuat penasaran dengan seonggok kotak terbuat dari kayu. Letaknya agak tersembunyi di salah satu sudut gubuk.
Ada semacam ukiran berisi tulisan-tulisan aneh. Terlihat seperti Bahasa sansakerta? Atau huruf kuno sunda? Tak ada kunci pengaman, jadi tanpa ragu kubuka saja untuk melihat isinya.
Tahu apa yang terjadi berikutnya?
…
Sama, aku juga tidak tahu.
Kilat putih membuatku hilang pengelihatan. Telingaku berdengung kencang hingga nyaris tuli. Aku tak tahu barusan itu apa. Menggunakan analogi game, mungkin seperti terkena bom flashbang?
Orang g****k macam apa yang menyimpan flashbang di tengah hutan begini?