Episode 14 : Pertemuan Tak Terduga
****
Aroma minyak urut yang tercium sangat kuat dari belakang, membuat Gladia yang sedang memanggang roti di dapur, menoleh sekaligus memastikan. Embun, wanita yang jauh lebih bersih dari pertemuan pertama mereka itu melangkah terseok dan seolah menahan sakit di kedua kaki.
Gladia menatap khawatir keadaan Embun. “Mbun, … suamiku bilang, kakimu sakit? Sakit gimana? Kita berobat, ya? Hari ini, aku libur, kok.”
“Enggak cuma kaki, sih, Di. Karena tubuhku juga sakit semua,” jawab Embun tanpa bisa menyembunyikan rasa sakit khususnya ngilu yang menggerogoti tulang-tulangnya.
“Kamu salah makan apa bagaimana? Kamu enggak ada pantangan makan secara khusus, kan?” Namun jauh di lubuk hatinya, Gladia juga sampai berpikir, jangan-jangan, apa yang Embun rasakan merupakan bagian dari proses bayi tabung yang Embun kandung?
“Ya gini, Di. Aku kalau kurang gerak, enggak kerja, memang justru jadi sakit.” Embun menyalakan air keran di wastafel. Ia mencuci gelas berikut piring kotor di sana yang jumlahnya tak seberapa.
“Kok gitu?” Gladia yang masih kerap menatap heran Embun, berangsur mengambil roti panggang yang baru saja keluar dari mesin panggangnya.
“Iya. Memang begini adanya, Di,” balas Embun yang kemudian berkata, “Jadi tolong, ya. Biarin aku beres-beres. Bersih-bersih rumah. Aku janji, aku bakalan hati-hati. Yang ada, kalau aku diem terus, aku beneran tambah sakit.”
“Kamu enggak mau periksa ke dokter saja?” tawar Gladia sembari kembali memasukkan dua roti tawar gandum ke mesin panggang.
Embun segera menggeleng di tengah kesibukannya mencuci gelas dan piring di wastafel. “Aku hanya kurang gerak, Di. Kalau kamu enggak percaya, lihat saja nanti. Aku pasti langsung sehat kalau sudah gerak atau setidaknya beres-beres.”
“Tapi kalau masih sakit, berarti kamu memang harus periksa ke dokter, ya?” balas Gladia.
Embun mengangguk paham. “Iya. Jadi, biarin aku beres-beres, ya? Aku bisa, kok.”
“Tapi kamu harus hati-hati. Jangan terlalu sering naik-turun tangga, enggak boleh angkat berat-berat, enggak boleh gerak apalagi lari berlebihan. Ingat, Mbun … ada calon anakku dan suamiku dalam rahim kamu. Itu juga yang bikin suamiku protektif banget ke kamu.” Gladia mencoba memberikan pengertian. “Maksud suamiku melarang ini itu ke kamu, baik, kok. Dia takut calon anak kami kenapa-kenapa. Intinya sih gitu.”
Dengan seulas senyum yang seketika menghiasi wajah, Embun mengangguk paham. “Makasih banyak, Di!”
“Lho, … kok makasih?” Gladia terheran-heran. Ia mulai meracik roti panggangnya. Ia menaruh beberapa selada, telur mata sapi, berikut isian lainnya.
Gandra yang sudah mengenakan kemeja lengan panjang warna merah hati, lengkap dengan dasi yang menyempurnakan penampilannya, merasa aneh dengan pemandangan yang ia dapati di dapur. Kebersamaan Gladia dan Embun yang tampak sangat akrab, membuat Gandra yang sudah siap pergi ke kantor, menemukan suasana berbeda.
Ada dua wanita yang boleh dibilang merupakan bagian dari hidup Gandra. Sebab biar bagaimanapun, Embun juga tengah mengandung calon anak Gandra dan Gladia. Keduanya mengobrol hangat sambil sesekali mengurai senyum, sebelum akhirnya Embun berlalu dari sana.
Embun keluar dari dapur menuju area belakang. Wanita itu memasuki gudang dan sukses membuat Gandra ketar-ketir.
“Sayang, … itu dia?” Gandra sengaja protes sembari mendekati sang istri dengan langkah tergesa.
Gladia yang masih tersenyum tipis, segera mengalihkan tatapannya kepada sang suami. Segera ia menjelaskan kenyataan yang terjadi. Mengenai Embun yang bisa sakit jika hanya diam.
“Bentar lagi, dia pasti hamil. Nasib anak kita tergantung dia!” tegas Gandra masih protes dan keberatan jika Embun sampai bekerja bahkan sekadar membersihkan rumah mereka.
“Iya, Sayang. Aku paham. Kan aku sudah bilang, beri dia kesempatan hari ini saja. Nanti, kalau dia masih sakit, berarti dia harus cek ke dokter. Santai saja, ya.”
“Kamu jangan terlalu protektif. Nanti yang ada, dia takut sama kamu, bisa stres dia. Toh, kalau dia sampai stres, dampaknya juga ke anak kita.”
Gladia sengaja menjeda ucapannya. Ia meraih piring saji dan meletakan roti isi buatannya, kemudian memberikannya kepada sang suami.
“Ayo sarapan. Biarkan Embun melakukan apa yang bikin dia nyaman. Aku-aku sendiri, kalau biasa banyak aktifitas eh mendadak harus istirahat total ya stres, lah,” ucap Gladia.
“Tapi kamu harus pastiin, dia jangan sampai manjat-manjat tangga buat lap kusen atas. Kemarin dia sempat gitu makanya aku syok. Berasa lihat ‘Sun Go Kong’ si ‘Kera Sakti’ itu!” balas Gandra sambil menatap serius sang istri yang kemudian menarik kursi dan duduk di sebelahnya.
Gladia tak kuasa menahan tawanya lantaran sang suami sampai menyamakan Embun dengan salah satu tokoh dalam acara fenomenal di masanya. Sun Go Kong, si Kera Sakti yang lincah dan tak kenal aturan, siapa yang tidak mengenalnya?
“Sayang, aku serius! Dia begitu lincah ketika memanjat tangga bahkan kusen!” protes Gandra dengan suara yang jauh lebih tertata, tak semeledak-ledak sebelumnya.
“Oke, oke.” Gladia mengangguk-angguk mengerti dan mulai menikmati roti isinya.
****
Seperti apa yang Embun yakini, dirinya tak lagi merasakan sakit setelah ia menyibukan diri dengan membersihkan rumah. Akan tetapi, Gandra tetap tidak sepemahaman dengan Embun maupun Gladia yang menjadi sangat senang, dikarenakan pekerjaan Embun membuat rumah sangat bersih bahkan di bagian sela-sela sekalipun yang tak lagi dihiasi debu.
“Rumah jadi bersih banget, kan?” ucap Gladia sembari menatap sang suami penuh senyum.
Gandra menghampiri Gladia yang tengah menonton televisi. Ia duduk persis di sebelah Gladia di tengah tatapannya yang masih sibuk mengamati rumah. Karena seperti anggapan Gladia, rumah mereka menjadi sangat bersih dan itu karena Embun.
“Tapi dia enggak sampai kecapean, kan?” tanya Gandra memastikan. Ia menatap serius sang istri.
“Enggak, ih … serius. Semuanya aman terkendali! Yang ada, dia malah jadi ceria bahkan semangat!” sergah Gladia sembari mendekap mesra salah satu lengan Gandra kemudian menyandarkan kepalanya di sana.
Mendengar itu, Gandra menghela napas dalam. “Ada-ada saja. Yang namanya manusia memang banyak rupa.”
“Ya sudah … kita tunggu dua minggu lagi.” Gladia menengadah dan menatap sang suami dengan ceria.
“Tunggu apa?” Gandra menatap bingung sang istri.
“Kabar anak kita!” pekik Gladia lirih.
Gandra refleks mendengkus sambil tersenyum bahagia. Kemudian ia mengangguk, merangkul kepala sang istri penuh sayang. Tak lupa, sebuah kecupan dalam juga ia daratkan di ubun-ubun Gladia.
“Tapi jujur, aku enggak munafik, kebahagiaanku akan berkali-lipat bahkan terasa sempurna, jika kamu yang langsung mengandung,” batin Gandra yang seketika terdiam.
Dirasa Gandra, tetap ada yang kurang. Tapi melihat Gladia tersenyum bahagia, ia tak tega mengatakannya. Bukankah dalam hidup ini memang tidak ada yang sempurna jika kita tidak mengupayakannya?
***
Hari ini, Embun mendapatkan kepercayaan untuk tinggal di rumah sendiri tanpa pengawasan. Karena baik Gandra maupun Gladia, sama-sama ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Seperti kesibukannya tiga hari terakhir, Embun membersihkan rumah bahkan memasak sarapan berikut bekal untuk Gandra dan Gladia. Di mana, ada satu hal yang membuat Embun semakin bahagia. Mengenai Gladia bahkan Gandra yang menyukai masakan Embun. Kenyataan tersebut membuat Embun merasa sangat berarti. Meski hingga detik ini, Gandra masih memperlakukannya dengan dingin, hingga Embun masih sangat takut kepada pria itu.
Ketika bel terdengar dan mengusik suasana rumah yang sepi, Embun yang baru beres mencuci gerabah, segera memastikan. Karena meski tidak boleh sembarang menerima tamu, tapi hari ini memang akan ada kiriman barang untuk Embun berupa kebutuhan dapur, yang sudah Gladia pesankan khusus kepada asisten pribadi Gladia.
Sesosok punggung kokoh menjadi pemandangan tunggal yang Embun dapati, ketika ia membuka pintu. Yang membuat Embun merasa tak asing, sosok tersebut mendadak sibuk cegukan, bersin, bahkan bengek.
“Mirip Pak Edward yang gay?” pikir Embun.
Benar saja, ketika sosok itu menoleh dan menatapnya, keyakinannya sungguh terbukti.
“Ih … beneran nih orang mirip pak Edward!” batin Embun lagi semakin tidak percaya, sedangkan yang dimaksud justru semakin tak berdaya.
Edward seperti nyaris kejang, sakaratul maut. Membuat Embun yang melihatnya menjadi khawatir dan memutuskan untuk menghampiri. Namun, apa yang Embun lakukan membuat bengek Edward semakin parah, terlepas dari tubuh Edward yang langsung berkeringat dingin dan sampai gemetaran. Edward tak ubahnya tokoh vampir dalam sebuah cerita yang kelabakan hanya karena tersengat sinar matahari.
“Eh beneran. Ini beneran pak Edward yang mecat aku! Iya, beneran!” pikir Embun yang akhirnya mengenali Edward.
Karena meski sempat bertemu, mereka memang hanya bertatap muka kilat. Namun Embun yakin, pria di hadapannya merupakan bos besar dari proyek tempatnya sempat bekerja sebelum berakhir dengan pemecatan.
“Stop. Tolong, jangan mendekat! Kalau kamu berani mendekat, kembalikan uang dua puluh lima juta saya!” sergah Edward sembari terus mundur. Ke dua tangan yang awalnya menahan dadaa, terkadang akan mengarah, mencoba menahan langkah Embun yang terus mendekatinya, kendati wanita itu melakukannya dengan sangat pelan.
“Lho …? Kembalikan uang dua puluh lima juta, bagaimana, Pak?” Embun kebingungan apalagi Edward yang terus mundur juga tak hentinya bersin dan cegukan. Namun, kenapa Edward sampai menagih uang, seolah-olah, Embun berhutang kepada pria itu?
“Ya ampun aku lupa. Pak Edward kan homo, ya? Alergi wanita? Maaf .. maaf banget, Pak. Maaf …!” ujar Embun yang baru ingat, pria di hadapannya homo. Ia sampai membungkuk-bungkuk hormat, meminta maaf kepada Edward agar ia tak sampai terjerat kasus baru meski tentu, Edward tak lagi bisa seenaknya memecatnya lagi.
Apa yang Embun katakan sukses membuat Edward tercengang. Edward terdiam dengan cegukan dan bersinnya yang tidak serutin sebelumnya. “Hom-mo ...?” Begitulah kiranya mulutnya bergumam seiring ia yang sampai mengernyit sekaligus mendesah frustrasi. “Kenapa wanita ini mengataiku HOMMO?!” jerit Edward dalam hatinya. Tak disangka, kedatangannya ke rumah Gandra sang kakak tiri membuatnya mengalami pertemuan tak terduga dengan wanita yang harus membuatnya menanggung kompensasi sebanyak dua puluh lima juta!
“Dua puluh lima juta, Edward. Dua puluh lima juta! Cepat minta balikin tuh dua puluh lima juta punya kamu!” batin Edward mengingatkan dirinya sendiri.
Bersambung ….