Edward menceritakan semuanya kepada Zack. Mengenai alasannya mendadak harus menjalani opname dan sampai dibantu dengan alat pernapasan hingga ia juga harus dibuat koma.
“Pe-cat?” Zack menatap Edward dengan pandangan tidak nyaman. “Kau memecatnya tanpa alasan, Edward?” tegasnya memastikan. “Bahkan kau bilang, dia tetap bekerja seperti pekerja proyek lain?”
“Dia bahkan telah membuatku opname. Aku sampai harus mengalami koma rekayasa agar nyawaku selamat, tapi Tuan Zack, … kenapa tanggapan Tuan Zack seolah menyayangkan bahkan menyalahkan keputusanku?” pikir Edward. “Dari awal saya sudah mengatakan, jangan ada wanita karena itu bisa membahayakan nyawa saya, Tuan!” tegas Edward yang masih duduk selonjor di atas ranjang rawat. Setengah tubuhnya masih berselimut.
Zack menatap tak percaya kepercayaannya. Sungguh, untuk kali pertama, Zack merasa kecewa kepada pria itu.
“Mau sampai kapan kamu begini? Jika kehadiran wanita bisa membahayakan keselamatanmu, caramu asal memecatnya juga bisa membahayakan nyawanya bahkan semua orang yang bergantung kepadanya, Edward!” tegas Zack yang mondar-mandir di depan ranjang rawat keberadaan Edward. Zack marah, apalagi ia pernah hidup sangat susah yang untuk bisa makan harus mengobrak-abrik tumpukan sampah.
“Saya sudah memintamu untuk melawan alergimu. Lawan, pelan-pelan. Enggak harus spontan!” tegas Zack lagi masih meledak-ledak. Ia mondar-mandir di hadapan Edward.
“Logikanya, seorang wanita yang nekat bekerja di proyek bangunan, … dia pasti memiliki alasan sangat kuat! Wanita, Edward. Wanita! Saya, bahkan kamu saja belum tentu sanggup kalau harus jadi dia dan sampai bekerja di proyek!”
“Tapi Tuan,” sergah Edward yang merasa dihakimi secara sepihak. “Kenapa aku harus jadi orang lain apalagi jadi dia dan bekerja di proyek bangunan? Hidupku ya hidupku. Hidupmu juga hidupmu. Masa hidupmu aku yang tanggung, terkesannya aku ini panti sosial! Mana bisa aku dapat uang kalau pedoman; ‘hidupmu dan bebanmu merupakan bagian dari hidupku. Aku akan bantu!’” rutuk Edward dalam hatinya.
Edward mengakui, dirinya bukan orang baik yang rela berbagi. Edward tidak sebaik itu dan memang paling anti membagi uang hasil kerja kerasnya kepada orang lain, apalagi orang yang sama sekali tidak Edward kenal.
“Tapi apa, Edward? Alergi-mu, masalahmu! Kamu yang harus mengendalikannya! Apa yang kamu lakukan kepadanya itu kesalahan. Meski kamu sudah menerapkan peraturan, wanita itu bekerja selayaknya dan memang tidak makan gaji buta! Ini mengenai kemanusiaan, Edward. Dan sekarang, saya mau, kamu minta maaf ke dia!” lanjut Zack yang tak lagi mondar-mandir. Ia berdiri tegak sambil berkacak pinggang di hadapan Edward.
Edward yang masih belum mengenakan kacamata beningnya, menjadi menggeragap. “B-bahkan, … bahkan aku harus minta maaf?!” batin Edward tak percaya. Ia menatap Zack di tengah kedua matanya yang sibuk mengerjap.
“Saya tidak menerima bantahan apalagi penolakan! Tolong jangan membuat saya semakin marah, Edward. Saya mohon, profesional!” tegas Zack cepat lantaran sadar, Edward akan melayangkan pembelaan.
“Biarkan dia kembali bekerja. Dan jika kamu tidak menghendakinya ada di proyek, sebagai gantinya, kamu harus memberinya pekerjaan di tempat lain!” sambung Zack sembari menghela napas pelan.
“Jika kamu bingung mau mengerjakannya di mana, tempatkan saja dia di rumahku!” tambah Zack yang kemudian buru-buru berlalu. “Hari ini juga, kamu harus memberikan hasilnya. Dan jika kamu sampai gagal, … saya benar-benar kecewa!” ucap Zack sambil terus melangkah.
Edward menunduk pasrah dan tak lagi melepas kepergian punggung Zack. Mau tidak mau, ia harus kembali mencari kabar wanita pekerja proyek bernama Embun dan dikata Danang, sudah Danang pecat seperti permintaan Edward.
Edward segera meraih ponselnya dari nakas sebelah. Ia berniat menghubungi Danang yang mengirimkan pesan WA kepadanya mengenai kabar pemecatan terhadap Embun.
“Pak Danang …?” Nada suara Edward terbilang tenang. Kontras dari Danang yang terdengar ketakutan.
Edward menelan salivanya yang mendadak terasa sangat getir. “Bapak tahu, dia pergi ke mana?” ucapnya, padahal jauh di lubuk hatinya, ia sungguh malas melakukannya. Apalagi berurusan dengan wanita sama saja membahayakan nyawanya.
“Hah …? Maksud Pak Edward, bagaimana?” balas Danang terdengar bingung.
Edward memaklumi kebingungan Danang.
“Bapak tahu, sekarang dia ada di mana? Dia sudah pulang kampung, atau bekerja di tempat lain?” Edward masih merasa sangat malas dan memang tidak bersemangat. Berurusan dengan wanita? Benar-benar musibah untuknya.
“O-oh … kalau masalah itu, saya kurang tahu, Pak. Tapi sepertinya dia masih akan di Jakarta, masalahnya ibunya kan memang sedang sakit parah dan butuh banyak biaya.”
“Dia enggak ada bilang, mau ke mana?” balas Edward.
“Enggak, Pak! Dia enggak bilang. Dia cuma minta saya buat transferin semua gajinya ke kampung. Selebihnya, pas saya tanya dia mau ke mana? Dia bilang mau cari kerja ke tempat lain!”
“Beri saya nomor ponselnya!” pinta Edward kemudian. Ia bermaksud menghubungi sekaligus berbicara dengan Embun, secara langsung.
“N-nomor ponsel si Embun, Pak?”
“Ya iya. Masa nomor ponselnya kuda! Memangnya siapa lagi kalau bukan dia? Serius, ya, gara-gara dia, hidup saya jadi susah!” semprot Edward yang menjadi emosi.
“T-tapi, Pak. … si Embun enggak punya ponsel atau sejenisnya.”
Edward menghela napas dalam sekaligus cepat. “Ini sudah tahun dua ribu dua puluh satu, yah, Pak Danang! Masa iya, masih ada yang enggak punya ponsel termasuk dia?! Norak dan enggak mungkin!”
“I-iya, Pak Edward. T-tapi … memang nyatanya begitu. Jangankan buat beli ponsel sama pulsa, buat makan saja, Embun dan keluarganya sampai sering puasa. Kan saya sudah bilang ke Pak Edward, kalau Embun sangat miskin ….”
Balasan Danang membuat Edward pupus harapan. Padahal hari ini juga, Zack menunggu kabar perkembangan nasib Embun. Namun, jika Embun sudah dipecat sedangkan Embun juga tidak memiliki alat komunikasi, Edward harus mencarinya ke mana?
“Aku bukan dukun yang bisa menerawang keberadaan orang!” batin Edward mulai merasa frustrasi.
Di tengah lamunannya, Edward mendadak teringat salah satu ucapan Zack.
[“Meski kamu sudah menerapkan peraturan, tapi wanita itu bekerja selayaknya dan memang tidak makan gaji buta! Ini mengenai kemanusiaan, Edward!”]
Teringat itu, Edward mendengkus pasrah. Matanya terpejam, sedangkan ke dua tangannya termasuk tangan kanan yang masih memegang ponsel, juga menjadi mengepal.
****
“Kamu datang lebih cepat. Bagaimana?” ucap Zack.
“Maaf, Tuan.” Edward kian menunduk dalam dengan kedua tangan yang masih tersimpan di depan perut dalam posisi menyilang.
Zack langsung mengerutkan dahi dan menatap kesal Edward. Sudah ia duga, kata maaf akan menjadi awal dari laporan yang tidak ia harapkan dari orang kepercayaannya.
“Saya tidak bisa menemukannya, apalagi dia juga tidak punya ponsel. Tidak ada perantara yang bisa membuat saya menemukannya.” Edward masih menunduk dalam dengan harapan, Zack tak lagi memperpanjang masalah pemecatan karyawan proyek bernama Embun.
“Dia pulang ke kampung, atau bagaimana? Jangan tanya kenapa saya begitu ingin tahu, setelah apa yang saya jelaskan!” tegas Zack.
“Tidak … dia tidak pulang kampung. Karena menurut keterangan mandor proyek yang satu kampung dengannya, dia masih di Jakarta dan hanya menitipkan gajinya untuk dikirimkan ke kampung.”
Balasan Edward refleks membuat Zack terpejam dan mendesah sebelum akhirnya pria itu juga menggerakkan rahangnya ke kanan dan ke kiri. “Dia seorang wanita, nekat bekerja di proyek, bahkan dia tidak punya ponsel. Apakah dia begitu miskin?”
Edward tak kuasa membalas Zack. Karena sekalipun ia sudah tahu keluarga Embun sangat miskin, tapi rasanya sangat sulit untuk mengakuinya. Karena jika ia sampai melakukannya, Zack pasti akan langsung murka.
Akan tetapi, dengan cara Edward yang bungkam, Zack juga semakin yakin, dugaannya benar. Wanita bernama Embun itu teramat miskin, sedangkan Zack tahu bagaimana rasanya hidup miskin. Tak hanya untuk sekadar makan saja yang susah, karena sering kali, kehadiran orang miskin juga sampai dipermasalahkan, padahal mereka tidak membuat masalah.
Setelah kerap menghela napas di tengah telunjuk tangan kanannya yang sibuk mengetuk meja kerjanya, akhirnya Zack mendengkus. “Kirimi keluarganya uang. Berapa nominal yang akan kamu kirimkan?”
Uang, satu hal yang sangat sensitif bagi Edward. Satu-satunya hal yang sangat Edward sayangi melebihi apa pun, selain Edward yang sangat sulit berbagi jika sudah menyangkut uang.
“Maaf, Tuan. Maksudnya, uang saya?” tanyanya memastikan. Jantungnya berdetak sangat kencang. Sungguh, Edward takut jika uang yang Zack minta justru uang Edward.
Zack refleks mengernyit tak mengerti. “Lha ya iya. Masa uang saya? Yang bikin masalah siapa? Kan kamu, bukan saya?”
Edward refleks menelan salivanya yang mendadak terasa seret bahkan getir. Di atas kepalanya kini seolah ada petir yang menyambar-nyambar.
“Jangan sampai hanya lima ke bawah, ya!” ucap Zack enteng. Zack berangsur mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya sambil sesekali melirik Edward yang langsung mendelik dan sepertinya refleks melakukanya.
“Enggak boleh di bawah lima juta, maksudnya harus di atas sepuluh juta, lima belas bahkan dua puluh juta? Gajiku selama satu bulan harus aku kasih ke wanita itu ...? Yang benar saja?!” rutuk Edward dalam hatinya.
“Anggap saja itu kompensasi. Syukur-syukur, kamu ikhlas biar kamu juga dapat ilham, terus alergimu hilang.” Zack menjeda ucapannya lantaran kini di benaknya tengah merinci apa yang harus Edward lakukan.
“Kompensasi dan dapat ilham? Kenapa maksud Tuan Zack, seolah-olah, aku ini mahluk laknat, yah?” batin Edward yang merasa semakin terpojok bahkan hina.
“Dua puluh lima juta sepertinya cukup, Ed!” ucap Zack sembari menegakkan punggungnya.
Nominal yang Zack tujukan refleks membuat Edward cegukan tanpa harus membuatnya berurusan dengan wanita.
“Dua puluh lima juta? Yang benar saja! Kenapa justru sangat melesat dari yang aku bayangkan?” pekik Edward dalam hati dan masih saja cegukan bahkan mulai sesak napas.
“Logikanya, Edward, kriteria orang miskin di kampung itu sangat menyedihkan. Apalagi ini wanita saja sampai nekat jadi pekerja proyek. Bisa kita bayangin, rumahnya pasti reot. Sana sini pasti harus ditambal. Jadi, dua puluh lima juta tadi itu untuk bantu beresin rumah, stok sembako, jaminan kesehatan ....”
“Tuan enggak sekalian minta saya nikahin dia? Nikahin janda-janda miskin yang punya banyak anak, biar saya bahkan Tuan yang nyaranin, juga masuk surga?” sergah Edward yang bertutur cepat. Jengkel rasanya harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk Embun yang bahkan belum ia kenal! “Ssst! Siallll!” batinnya tak henti mengumpat.
Zack terperangah menatap Edward. Matanya berbinar atas apa yang baru saja Edward lontarkan kepadanya. “Nah … gitu, Edward! Gitu, baru bener! Sip! Saya setuju sama kamu! Intinya, jangan takut miskin hanya karena menikahi orang yang lebih kurang dari kita! Bener banget, serius. Syukurlah … belum apa-apa kamu sudah dapat hidayah. Menikah … hahaha … kamu sampai kepikiran menikah! Tapi sama wanita, yaa!”
“Kamu harus menikah sama wanita, Edward! Nikah, punya anak, huh happy pokoknya!”
Edward telanjur gondok dan hanya bisa bungkam kendati tatapannya menjadi kerap melirik sebal Zack. “Tuan Zack sengaja apa pura-pura lugu, sih? Ah … ini pasti efek karena Tuan sudah bucin. Lihat saja, habis ini, Tuan pasti bahas mengenai perjalanan hidupnya yang menjadi semakin berkah setelah dia menikah. Tuan Zack yang mendapatkan banyak cinta, apalagi sekarang nona Arina juga sedang hamil. Begitu kiranya apa yang akan Tuan Zack katakan dan sebentar lagi pasti akan dibubuhi kata; alkisah, di sebuah negeri tak kasat mata, ada sebuah rasa yang dinamakan cinta. Cinta yang akan membuat semua insan menjadi sempurna khususnya bagi mereka laki-laki dan wanita … bla bla bla!” rutuk Edward dalam hatinya.
Untuk kali pertamanya ia merasa jengkel kepada Zack. Tak semata karena ia harus memberikan gajinya selama satu bulan dengan cuma-cuma kepada keluarga Embun, … melainkan kenapa juga wanita selalu membuatnya celaka? Andai saja tidak ada Embun dalam hidupnya, Edward tak mungkin sampai diopname selama delapan belas jam sekaligus kehilangan gajinya selama satu bulan, kan?
Persis seperti dugaan Edward, Zack sungguh tengah mendongeng, menceritakan perjalanan hidup Zack yang menjadi semakin berkah semenjak pria itu menikah, apalagi sekarang Arina hamil.
“Menikah …? Enggak … enggak. Itu satu-satunya hal yang enggak mungkin terjadi dalam hidup seorang Edward!” pekik Edward dalam hatinya.
“Ya sudah, Edward. Jangan lupa kompensasinya. Keluarga Embun sangat membutuhkan itu.”
Ketika kompensasi kembali Zack sebut, rasanya kehidupan Edward menjadi semakin terasa suram. “Iya, Tuan. Hari ini juga, saya akan mentransfer kompensasinya.”
“Iya. Lebih cepat lebih baik.” Zack mengangguk-angguk enteng berhias senyum ceria yang menghiasi wajah tampannya. Senyum ceria yang bagi Edward telah menari-nari di atas penderitaannya.
“DUA PULUH LIMA JUTA!” batin Edward dongkol. Kedua tangannya mengepal kencang mewakili perasaannya saat ini. “Ya Tuhan, … itu uang, bukan kertas biasa dan aku harus merelakannya!”
Bersambung ....