Kehamilan yang nantinya Embun alami, terjadi akibat pemindahan atau transfer embrio yang diciptakan dengan program ‘bayi tabung’ atau fertilisasi in vitro (IVF), dengan suatu cara tertentu sehingga anak yang dilahirkan tidak terikat secara genetik dengan Embun. Anak yang Embun kandung, benar-benar hanya memiliki ikatan dengan Gandra maupun Gladia selaku pemilik embrio. Juga, Embun yang tak memiliki ikatan khusus semacam pernikahan dengan Gandra.
Kemajuan zaman yang dibarengi dengan kecanggihan teknologi, membuat segala sesuatunya terjadi dengan mudah asal ada uang sekaligus modal. Embun yang sadar dirinya hanya orang awam, membenarkan anggapan tersebut. Semuanya bisa didapatkan jika kita memiliki banyak uang. Pantas saja kejahatan semakin marak karena mereka melakukannya demi bertahan.
Satu minggu tinggal di rumah Gladia, semua proses sudah Embun jalani, termasuk penanaman embrio di dalam rahimnya. Dan selama proses itu pula, Gladia selalu mengarahkan, mendukung Embun meski wanita cantik itu tak bisa selalu ada di sisi Embun, dikarenakan Gladia sibuk menjalani pemotretan. Hanya Gandra si manusia batu nan dingin, yang terjaga dan memantau segala sesuatunya.
Gandra, pria itu nyaris tak pernah bicara jika bukan untuk keperluan penting. Termasuk menatap dan melirik, Gandra hanya akan melakukannya dengan leluasa kepada Gladia. Sebab ketika berbicara dengan Embun saja, Gandra yang akan sangat singkat dalam melakukannya, sama sekali tidak melirik Embun.
“Tapi kalau dilihat secara teliti, Pak Gandra ini mirip Pak Edward apalagi mata sama hidungnya, ya?” pikir Embun yang tiba-tiba mengoreksi anggapannya. “Bisa-bisanya aku mikirin Pak Edward bahkan menyamakannya dengan Pak Gandra? Tentu saja mereka beda, apalagi Pak Gandra kelihatan jelas sayang banget sama Gladia, sedangkan Pak Edward … alergi wanita. Tapi berarti, kalau Pak Edward alergi wanita, Pak Edward sukanya sama … pria? Ya Alloh!” gumam Embun yang menjadi syok sendiri dan refleks menekap mulut menggunakan kedua tangan.
“Kenapa masih berdiri di situ? Masuk ke kamar dan segera istirahat!”
Suara Gandra yang terdengar sangat dingin, sukses membuat Embun kaget sekaligus merinding.
Segera Embun bergegas ke belakang dengan setengah berlari. Embun melakukannya dikarenakan ia ingin segera pergi dari Gandra. Gandra, sikap dingin pria itu sukses membuat Embun takut bahkan sangat takut.
“Jangan lupa kunci pintu kamarmu, karena aku enggak suka ada orang lain berkeliaran di rumah ini!” lanjut Gandra.
“Tapi bener, yah, galaknya juga mirip Pak Edward. ‘Berkeliaran’, kok kesannya aku kayak kewan (hewan), ya?” Tanpa berani berkomentar, Embun terus berjalan cepat menuju ruang belakang. Ruang yang bersebelahan dengan dapur dan biasanya menjadi kamar untuk ART di rumah Gladia.
Di ruang berukuran 2,5m x 3m tersebut, Embun menghabiskan waktunya selama satu minggu terakhir tinggal di sana. Ruang yang disertai sebuah tivi 14 inch dan bagi Embun jauh lebih nyaman dari kamar tamu yang sempat Embun tempati, di awal kedatangannya di rumah Gladia.
****
Sudah nyaris sore, Gandra yang sampai bekerja dari rumah demi tetap bisa memantau keadaan Embun yang tidak mau diam dan begitu sibuk beres-beres, justru tak mendapati tanda-tanda kehidupan lain, selain kehidupannya sendiri.
Pintu dapur selaku pembatas sebelum ke ruang belakang keberadaan kamar yang Embun tempati juga masih tertutup rapat.
“Dia ke mana?” pikir Gandra yang hingga detik ini belum begitu paham kepada sosok Embun bahkan meski sekadar nama.
Khawatir Embun kabur atau malah melakukan tindakan fatal, Gandra segera memastikan. Ia membuka pintu dapur dan seketika itu juga ia mendengar aroma minyak urut sangat kuat dari belakang. Dari kamar Embun.
“Apakah dia terjatuh?” Gandra langsung panik. Ia tak pantas mencemaskan Embun, melainkan embrio yang tertanam dalam rahim wanita itu.
Pintu kamar Embun masih dalam keadaan tertutup. Gandra melongok dari jendela kaca di sebelah pintu. Ia dapati, Embun yang justru duduk di lantai dengan kedua tangan sibuk memijit kaki. Termasuk minyak urut yang aromanya menyengat juga turut tersanding di hadapan wanita itu.
“Kamu jatuh?” Gandra berteriak dari depan jendela.
Seketika itu pula, Embun terlonjak. Embun yang kaget refleks bangun dan memastikan. Ia menatap bingung Gandra yang tiba-tiba muncul.
“Kamu jatuh?” Gandra mengulang pertanyaannya, masih dengan nada lantang karena menahan kesal. Apalagi, Gandra benci orang asing seperti Embun yang sampai ada dalam kehidupannya. Di mana, kebencian Gandra akan bertambah seandainya Embun juga tipikal ceroboh dan susah diatur.
Embun menggeleng bingung dan segera menunduk. Tatapan Gandra begitu menyeramkan melebihi tatapan Edward. Seolah ada api amarah yang menyala bahkan berkobar-kobar dari manik mata kecokelatan di hadapannya.
“Terus, kenapa kamu pakai minyak urut?” Hingga detik ini, Gandra belum bisa mengontrol emosinya.
Kedua tangan Embun refleks saling remas. Ia menoleh ke belakang, keberadaan minyak urut berada dan sampai belum ia tutup. Kemudian, ia mengalihkan tatapannya kepada Gandra. Ia masih menatap takut pria itu.
***
Hingga detik ini, Embun masih menatap takut Gandra. Bahkan meski Gandra telah menyiapkan banyak makanan lezat lengkap dengan segelas s**u. Itu merupakan s**u yang dikata Gladia sangat bagus untuk perencanaan kehamilan. s**u sebelum hamil.
“Maksud saya tidak suka melihat orang lain berkeliaran di rumah ini, karena saya tidak suka melihatmu sibuk beres-beres bahkan sampai panjat-panjat tangga demi membersihkan bagian atas!” Gandra masih berdiri di hadapan Embun. Di depan meja makan sembari menggandeng tangannya di belakang punggung.
“Tapi kalau saya diem, ya begini, Pak. Tubuh saya sakit semua. Makanya saya pakai minyak urut.” Embun memberanikan diri berkomentar.
“Dibiasakan!” tegas Gandra masih menyikapi Embun dengan galak.
Embun langsung mengangguk-angguk paham, meski pada kenyataannya, ia memang bisa sakit jika hanya diam tanpa kesibukan yang bisa membuatnya berkeringat.
“Waktunya makan, makan. Setiap hari akan ada makanan yang diantarkan khusus ke sini untuk kamu. Sedangkan stok s**u dan vitamin, kamu tahu sendiri tempatnya di mana.” Gandra kembali mendapatkan anggukan takut dari Embun yang untuk menatapnya saja terlihat jelas tidak berani.
“Jangan sampai membuat saya marah lagi. Ingat, dalam rahimmu ada anak saya dan Gladia. Dan jika sampai terjadi apa-apa karena kecerobohan kamu padahal kami sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik, kamu harus membayar kompensasi berkali-kali lipat dari semua yang kami berikan kepadamu!”
“Kompensasi …? Bahasanya seperti enggak asing, ya?” batin Embun sambil mengangguk-angguk takut.
Tanpa pamit bahkan untuk basa-basi, Gandra meninggalkan Embun begitu saja. Embun melepas kepergian punggung Gandra dengan tatapan yang masih menahan rasa takut.
Ditatapnya setiap sajian di hadapannya yang seketika membuatnya refleks menelan saliva. Air matanya berlinang, tapi itu bukan karena ia begitu bahagia mendapatkan semua makanan istimewa di hadapannya. Juga bukan karena rasa takutnya kepada Gandra. Melainkan, Embun teringat ibu dan adik-adiknya.
“Di sini aku selalu makan enak, tapi aku enggak yakin kalian masih bisa makan.” Embun menunduk pasrah. Kerinduannya terhadap ibu dan adik-adiknya semakin tak terbendung, tak ubahnya air matanya yang tetap saja mengalir meski ia tak mau itu ada dalam kehidupannya.
Embun sungguh tak mau menjadi orang lemah. Ia selalu ingin menjadi kuat, teladan bagi adik-adiknya, agar mereka juga turut mencintai keluarga mereka, tidak seperti Purnama.
“Cepat, Mbun. Makan. Habisin semuanya, jangan sampai Pak Gandra marah lagi, takutnya uang yang buat kamu sampai dipotong!” Hati kecil Embun berbisik, menuntun Embun untuk kembali menjadi wanita tegar. Segera, meski semua makanan lezat itu seolah mengganjal di tenggorokan, Embun kesusahan menelannya lantaran ia teringat ibu dan adik-adiknya yang ia yakini harus menahan lapar, Embun memaksa mulutnya untuk terus mengunyah.
Gandra tercengang dan refleks berhenti melangkah. Ia menatap heran perihal apa yang menimpa Embun. Wanita itu makan sambil menangis, memenuhi mulut menggunakan kedua tangan silih berganti. Gandra nyaris memarahi Embun, tapi melihat Embun seperti sekarang berikut keterangan dari Gladia jika wanita yang tidak bisa diam dan maunya sibuk beres-beres itu sangat miskin, Gandra jadi tidak tega.
“Apa dia enggak suka sama makanannya? Tapi harusnya suka, karena biasanya, orang kampung enggak suka yang aneh-aneh? Ayam goreng, sayur, perkedel dan telur lengkap dengan sup, semua itu ibarat makanan favorit mereka, kan? Justru bakalan enggak doyan kalau Embun aku kasih makanan luar negeri sejenis makanan orang bule?” pikir Gandra.
Dari balik tembok menuju dapur, Gandra terjaga dan mengintip apa yang Embun lakukan.
Bersambung ....