3. Kenzie Mencari Mama

1038 Kata
“Mam—Ma..." Kenzie merengek, matanya sudah sembab, hidungnya memerah karena kelamaan menangis. Dhaffi menggaruk keningnya frustrasi. Sudah satu jam lebih mereka sampai di rumah, tapi Kenzie tidak juga berhenti menangis. Anak itu terus memanggil Mama. Apa mungkin Kenzie sedang mencari Senna? "Kamu mau apa sih, Nak? Jangan nangis terus dong," keluh Dhaffi tidak berhenti mengayunkan Kenzie di dalam gendongannya. Tidak tega melihat Kenzie yang semakin kelenger, Dhaffi lantas meraih ponselnya. Dia hendak menghubungi Sarah dan meminta Sekretarisnya itu untuk mengirim nomor ponsel Senna. "Sebentar ya, Sayang." Dengan hati-hati Dhaffi meletakan Kenzie ke atas ranjang. Dhaffi berjalan ke depan jendela kamar, sibuk dengan ponselnya. Mengirim pesan perintah ke Sarah, dan dalam hitungan menit Dhaffi sudah mendapatkan apa yang ia inginkan; nomor ponsel Senna. “Halo?” Suara gadis itu terdengar kecil. "Senna? Ini saya Dhaffi." “Oh?” Sepertinya di sebrang sana Senna terkejut. “Iya, Pak, ada apa?” sambung Senna dengan suara yang lebih kencang dari sebelumnya. "Saya mau minta bantuan kamu. Anak saya menangis terus ingin ketemu sama kamu. Bisa kamu ke rumah saya?" Demi Anak, Dhaffi melupakan harga dirinya. Dia sama sekali tidak pernah meminta bantuan ke orang lain sampai segini nya, apalagi ke bawahannya sendiri. “Sekarang ya, Pak?” "Iya," jawab Dhaffi cepat. "Kalau kamu bersedia, saya langsung mengirimkan supir saya untuk jemput kamu." Senna menjeda percakapan mereka. Tampaknya gadis itu sedang berpikir. “Baik, Pak. Saya kirim alamat kosan saya ya, Pak.” Dhaffi menghela napas lega. "Ya. Terimakasih," ucap Dhaffi sambil tersenyum tulus ke arah Kenzie. Dhaffi memutuskan panggilannya, dia segera mengirim pesan ke supirnya untuk segera meluncur ke alamat yang Senna kirimkan. Selesai dengan urusannya, Dhaffi kembali menggendong Kenzie. Ia membawanya keluar dari kamar, mungkin anaknya itu butuh udara segar, sambil menunggu Senna datang, Dhaffi membawa Kenzie ke teras rumah. * * * Selama diperjalanan menuju rumah Dhaffi, Senna terlihat gelisah. Selain teringat dengan ucapan pedas Dhaffi di belakangnya, Senna juga tidak mengerti kenapa anaknya Dhaffi jadi menangis dan mencarinya. Mobil yang Senna tumpangi memasuki halaman rumah besar nan megah bergaya klasik eropa, Senna bahkan tidak dapat menyembunyikan wajah terperangahnya saat ini. Pantas saja Dhaffi meremehkannya, ternyata pria itu sangat kaya! Dari kejauhan Senna dapat melihat Dhaffi yang sedang menggendong Kenzie di teras. Gadis itu segera turun dari mobil, dan detik itu Senna dan Dhaffi menjadi saksi mata kalau dengan ajaibnya tangisan kencang Kenzie langsung berhenti. Senna menerbitkan senyum, sama seperti Kenzie. Namun saat Senna mendekat dan hendak menggendong bayi menggemaskan itu, Dhaffi spontan melangkah mundur, menghindari Senna. "Tolong bersihin tangan kamu dulu." perintah Dhaffi dingin. Senyum Senna luntur perlahan, tapi dia dengan cepat menyemprotkan cairan antiseptik ke kedua tangannya. Setelah itu barulah Dhaffi mengizinkan Senna untuk menggendong Kenzie. "Hai, kok nangis, Sayang?" Senna berujar sembari mengusap jejak air mata Kenzie. Melihat sembab di kantung mata minimalis itu, hati Senna terenyuh, jadi Kenzie benar-benar menangisinya? Dhaffi mendengus kecil saat mendapati Kenzie yang menunjukkan gigi susunya yang baru tumbuh, dia tersenyum bahagia memandang Senna. "Bawa anak saya masuk," ketus Dhaffi berjalan masuk ke dalam rumahnya lebih dulu. "Saya mau mandi. Kamu tidak masalah kalau saya tinggal sebentar?" tanya Dhaffi menatap Senna yang sudah berdiri di ruang tengah rumahnya. Senna hanya mengangguk. "Jangan kasih Kenzie makanan sembarangan, dan awasi dia jangan sampai jatuh," pesan Dhaffi dengan tegas. Lalu pria itu berjalan menuju lantai atas rumahnya. Lagi-lagi Senna hanya menganggukkan kepala sebagai respon, entah kenapa setelah memgetahui sisi lain dari Dhaffi dia jadi agak jengkel dengan pria itu. Ternyata sifat ketus, dingin, dan galak Dhaffi itu berlaku di mana saja. Tidak di kantor mau pun di luar kantor. Meski begitu tetap saja banyak pegawai wanita yang menggilai Dhaffi. Selain tampan, tajir dan menjabat sebagai Bos Besar di Perusahaan ternama, status Dhaffi yang lajang membuat para wanita gencar ingin mengisi ruang hati pria itu. Terlepas dari fakta kalau Dhaffi sudah punya anak, alias duda. Tapi itu semua tidak menjadi jera untuk para wanita jatuh cinta kepadanya. Well, siapa yang tidak menyukai pria tampan? Kalau tidak ingat dengan sifat Dhaffi yang tidak ramah sama sekali, mungkin Senna juga akan menyukainya. Ya, menyukai manusia yang elok rupanya adalah perasaan alami dari setiap manusia, 'kan? "Mam—mam..." Kenzie mengoceh sembari mengusap pipi Senna. Senna mendudukan diri di atas sofa empuk. Dia mendudukan Kenzie di atas pangkuannya. "Mama?" Senna tersenyum malu mengulang ucapan Kenzie. Kenzie ikut tersenyum juga seakan mengerti dengan situasi. "Kenzie belum mandi, ya?" Pakaian yang anak itu kenakan masih sama seperti saat di kantor tadi. Dhaffi pasti belum memandikan anaknya. Senna menoleh ke kanan dan ke kiri. Rumah megah ini tampak sepi. Ke mana perginya ART di rumah ini, babysitter Kenzie juga tak terlihat sejak tadi. Beberapa menit kemudian, Dhaffi muncul dengan handuk kimono yang membalut badan tegap pria itu. Senna sempat kaget dan langsung mengalihkan pandangannya, tapi Dhaffi tampak cuek-cuek saja. "Anteng ya anak Papa," Dhaffi mencium pipi Kenzie, membuat Senna spontan memundurkan badannya karena Kenzie sedang berada di pangkuannya, otomatis Dhaffi harus mendekat untuk menjangkau. "Hm.., Kenzie belum mandi ya, Pak?" Dhaffi mengangkat sebelah alisnya, lalu dia mengangguk. "Sus-nya Kenzie lagi sakit, ART saya juga lagi libur." Senna manggut-manggut. "Boleh saya aja yang mandiin Kenzie, Pak?" "Kamu sudah pernah mandiin bayi? Saya tidak mau anak saya jadi bahan kelinci percobaan kamu." Dalam hati Senna menggeram. Tidak bisakah Dhaffi berpikir positif sekali saja? Kenapa pikiran pria itu selalu buruk kepadanya?! "Sudah, Pak." "Ikut saya." Dhaffi mengambil langkah, menjadi petunjuk arah kamar Kenzie di lantai atas, tepat di sebelah kamarnya. Mereka berjalan memasuki toilet yang letaknya di dalam kamar Kenzie. Dengan hati-hati Senna memandikan Kenzie, tentu saja sambil diawasi oleh Dhaffi. "Segar, ya?" tanya Senna sambil tersenyum lebar melihat Kenzie yang bermain air. Kening Dhaffi berkerut. Padahal setiap dimandikan oleh babysitternya, Kenzie selalu nangis. Tapi kenapa sama Senna malah kelihatan senang begitu? Apa Senna pawang bayi? Sentuhan terakhir, Senna membalut tubuh polos Kenzie dengan handuk dan mengangkat bayi itu dari bathtub. Namun saat hendak berjalan, kaki Senna tidak sengaja menginjak mainan bebek karet milik Kenzie. "Aaaaa!" Senna menjerit karena dia hampir saja terjungkal. Beruntung dengan sigap Dhaffi menahan pinggang gadis itu. Selama beberapa detik mereka terdiam dan saling melempar pandang. Sampai akhirnya Dhaffi tersadar lebih dulu, dia segera mengambil alih Kenzie dari gendongan Senna. "Lain kali hati-hati, kalau anak saya jatuh bagaimana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN