4. Dhaffi Tidak Suka

1335 Kata
Hari ini Dhaffi tidak bangun dengan damai. Pagi-pagi sekali rumahnya sudah ramai dengan suara tangisan Kenzie. Ia menggeram dan menyibak selimutnya dengan kasar. "Kenzie kenapa nangis?" Dhaffi berdiri di daun pintu kamar anaknya. Matanya yang masih berat menatap ke arah Kenzie yang sedang digendong oleh Minah —ART di rumahnya— "Mam—mam..." oceh Kenzie disela-sela tangis sedihnya. Minah meringis. "Dari tadi Kenzie nggak mau berhenti nangis, Pak, padahal sudah saya kasih s**u," ucap wanita itu sembari menunjukkan botol s**u di tangannya. Decakan samar keluar dari bibir Dhaffi, dia beranjak mendekat kemudian membawa Kenzie ke dalam gendongannya. Tangannya mulai aktif menepuk pelan b****g Kenzie, berusaha membuat Kenzie tertidur kembali. "Mam—mam..Pa..." oceh Kenzie terbata. Dhaffi menatapnya tak percaya. Jangan bilang anaknya itu mencari Senna lagi? Bahkan kemarin Senna baru bisa pulang setelah Kenzie tertidur saking anak itu tidak mau jauh dari Senna. "Mam—" Kenzie menepuk-nepuk bahu sang Papa dengan tenaga seadanya. "Kenapa, Sayang? Kok Papa dipukul?" Dhaffi merebahkan Kenzie di atas ranjangnya, lalu dia ikut merebahkan tubuhnya juga di sebelah Kenzie. "Bobo lagi ya sama Papa." Bukannya menuruti ucapan Dhaffi, Kenzie malah terlihat semakin kesal dan meninggikan suara tangisannya. Tubuh Dhaffi menegak kembali, dia menggeram kesal. Baiklah, dia menyerah. "Oke. Papa panggil Tante Senna, tapi kamu berhenti nangis, ya?" Dhaffi berbicara serius. "Mam-mam..." Seakan mengerti dengan apa yang Papanya ucapkan, Kenzie mengoreksi kalimat Dhaffi barusan. "Tante," tekan Dhaffi sembari sibuk dengan ponselnya. Mencari nomor Senna kemudian menempelkan benda persegi panjang itu ke daun telinganya. "Mam—Mam." Kenzie menyahuti lagi. Dhaffi meliriknya sinis, lalu berdecak sebal. Setidaksuka itu dia dengan panggilan Kenzie ke Senna. Dhaffi sendiri masih bingung dan bertanya-tanya siapa yang mengajari Kenzie memanggil Senna dengan sebutan Mama? Senna adalah orang asing dikehidupan mereka, tapi untuk pertama kalinya Kenzie bisa berbicara, kenapa harus Senna yang dia panggil 'Mama' sementara menyebutkan kata 'Papa' didahului. “Selamat pagi, Pak.” Dhaffi menguap sebelum menjawab sapaan Senna. "Pagi. Bisa kamu ke rumah saya sekarang?" To the point sekali Bapak Dhaffi Salendra yang terhormat. Mendapatkan perintah dari Atasan di luar jam kerja, sebenarnya Senna sah-sah saja untuk menolak. Tapi mendengar tangisan Kenzie, Senna jadi mempertimbangkan kebaikan hati nuraninya. “Kenzie nangis lagi ya, Pak?” "Ya. Dia mencari kamu." "Mam—mam..." Itu suara Kenzie. Ada rasa geli dan sedih yang menerpa Senna secara bersamaan. Ya, Senna merasa lucu saja karena dengan hitungan hari dirinya menjadi Mama, tapi sedih karena Kenzie harus menangis terus karenanya. "Kamu dengar, 'kan? Jadi cepat siap-siap, supir saya akan jemput kamu." Setelah memerintah dengan ketus, sambungan Dhaffi putuskan secara sepihak. Di sisi lain Senna meringis. Mau sampai kapan dia harus menjadi Mama dadakan untuk anaknya Dhaffi? Apa setiap Kenzie menangis dia harus pergi ke rumah pria itu? Senna menghembuskan napas panjang. Sudah terlalu banyak masalah yang membebaninya, jika ini masalah baru, tolong berilah keringanan sedikit untuknya, setidaknya... jangan berurusan dengan Dhaffi. Tapi, agaknya Tuhan berkehendak lain. * * * Satu hal yang Senna ingat sebelum bertemu Dhaffi, dia harus bersih dan rapi agar terhindar dari cibiran pria bermulut lemes itu. Makanya pagi ini Senna berpenampilan selayak mungkin. Sebelum melangkah masuk ke dalam rumah Dhaffi, Senna juga menyemprotkan cairan antiseptik ke tangannya. "Tuh, lihat siapa yang datang." Suara Dhaffi terdengar bertabrakan dengan suara tangis Kenzie. Pria itu lantas berdiri sembari menggendong Kenzie saat memergoki Senna yang masuk ke dalam rumahnya. Senna mengukir senyum. "Hai, Ken," sapanya sembari berjalan mendekat. Seperti biasa, tangisan Kenzie langsung berhenti ketika manik beningnya melihat kehadiran seseorang yang ia cari. Senyum di wajah menggemaskan itu terbit, tangannya langsung terulur, meminta Senna untuk segera menggendongnya. Senna menggeram gemas sebelum mengambil alih anak itu dari dekapan papanya. "Kenzie belum mandi, dia baru bangun dan langsung nangis mencari kamu," ucap Dhaffi membuat Senna tersenyum canggung. Kenapa situasinya menjadi seperti ini? Dhaffi berkata seakan dia benar-benar mamanya Kenzie. Bedanya, hanya dinada bicaranya saja. Kalau dengan Mama kandungnya Kenzie, pasti Dhaffi tidak akan ketus begitu. "Iya, Pak, nanti saya mandikan Kenzie-nya." Senna paham, kalimat Dhaffi tadi secara tidak langsung menyuruhnya untuk memandikan Kenzie, 'kan? Dhaffi mengangguk. "Oke. Saya mau mandi juga," jawabnya lalu melenggang pergi. Senna memandang kepergian Dhaffi dengan tatapan jengkel. Dhaffi sudah mulai semena-mena memerintahnya ini dan itu di luar jobdesk pekerjaannya. "Mam-mam.." ocehan Kenzie menyadarkan Senna dari kejengkelan hati. Spontan gadis itu tersenyum ketika bersitatap dengan Kenzie. "Apa, Sayang? Mau mandi?" "Biar saya bantu, Non." Senna menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya menghampiri dirinya. Kening Senna berkerut, siapa dia? "Jangan panggil Non, Bu. Panggil saya Senna saja," ucap Senna tak enak hati. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum kecil. "Saya Minah, pembantu di rumah ini." Senna mengangguk diiringi senyum manisnya. Tatapan Minah beralih ke Kenzie, terlihat kerlingan penuh arti di mata yang kelopaknya dihias keriput halus itu. "Jadi tadi Kenzie nangis karena nyariin Mama Senna, ya?" Mama Senna? Sontak saja yang punya nama langsung menggeleng. "Saya bukan Mamanya, Bu," kata Senna meluruskan. Dia tidak masalah kalau memiliki anak seperti Kenzie, tapi kalau punya suami macam Dhaffi? duh, enggak dulu! "Saya tahu. Saya mengenal mantan istri Pak Dhaffi. Tapi Kenzie memanggil kamu dengan sebutan Mama. Sepertinya Kenzie nyaman sama kamu, Mbak," ujar Minah panjang lebar. Senna tersenyum kaku. Ia juga bingung harus merespon dengan kalimat apa, sebab dia sendiri juga tidak tahu kenapa tiba-tiba Kenzie bersikap seperti ini terhadapnya. Dalam batin Senna bergumam, jujur saja dia penasaran dengan mantan istri Dhaffi. Banyak orang kantor yang juga bertanya-tanya apa penyebab Dhaffi menduda. Sampai saat ini masih belum ada yang mengetahui hal itu karena Dhaffi sangat menjaga privasi keluarganya. Demi menghargai privasi Dhaffi, Senna urungkan niatnya untuk mengulik informasi pria itu melalui Minah. "Kenzie enggak ada babysitternya, Bu?" Sambil membilas badan Kenzie yang sudah dibaluri sabun, Senna bertanya ke Minah yang berdiri di depan pintu toilet. "Ada. Tapi sudah dua hari izin. Katanya lagi sakit," jawab Minah. "Biasanya Kenzie juga anteng kalau saya momong, tapi tadi pagi nangis aja nyari mamanya." Diakhiri kekehan meledeknya Minah melanjutkan. Membuat Senna tersenyum kikuk. Kalau Dhaffi dengar itu, Senna yakin Minah akan kena omel. "Sudah selesai?" Baru dipikirkan, Dhaffi sudah muncul. Kepala pria itu melengok masuk ke dalam toilet. "Jangan lama-lama mandinya, nanti masuk angin," imbuh Dhaffi. Senna menoleh. "Mandinya pakai air hangat kok, Pak", sahutnya. Tak lama setelah itu Senna langsung mengangkat Kenzie dan memakaikan bayi itu baju. "Harum sekali, Ken..." gumam Senna menghirup aroma Kenzie yang sudah wangi karena habis mandi. Setelah Kenzie sudah rapi, dia membawanya keluar dari kamar. Wajah Senna merengut masam saat melihat Dhaffi yang sedang santai menikmati sarapannya. Dia yang punya anak, tapi kenapa Senna yang sibuk merawatnya? "Pak, Kenzie sudah selesai mandi. Saya boleh berangkat kerja sekarang?" Senna melirik jam digital di tangannya, saking asiknya bersama Kenzie, dia sampai lupa waktu. "Ya. Pergi saja." Tanpa menoleh, Dhaffi menjawab cuek. Senna menghela napas panjang. Sabar. Sabar. "Bu, aku mau berangkat dulu, ya." Senna memberikan Kenzie ke Minah. "Ken, Tante berangkat kerja dulu, ya," ucap Senna ke Kenzie. Ia ingin mengecup kening anak itu, tapi tidak jadi saat melihat Dhaffi yang sedang meliriknya dengan tatapan memincing sinis. Mendengar percakapan itu, Dhaffi melirik sinis ke arah Senna. Lalu decakan jengkel keluar dari bibir Dhaffi. Jadi Senna juga tidak suka disebut Mama oleh anaknya? "Mam—Ma..." Kenzie tertawa kecil saat Senna mengelus kepalanya. "Kamu jangan nangis ya, jangan nakal." Senna toel gemas pucuk hidung bangir Kenzie. "Mau diantar sama supir saya?" tanya Dhaffi. Segera Senna menggeleng. Lebih baik jangan deh, dia bisa jadi bahan omongan kalau ada orang kantor yang melihatnya datang diantar pakai supir dan mobil Dhaffi. Senna ambil jalan aman saja. "Enggak perlu, Pak, saya naik bus aja." "Ya sudah," Dhaffi pun tidak berniat memaksa. Lalu Senna beranjak keluar dari rumah Dhaffi usai berpamitan. Dhaffi menoleh ke arah Kenzie dengan pandangan tak percaya. Anaknya itu tidak menangisi Senna? Semoga tadi menjadi salam perpisahan Kenzie dengan Senna. Jujur saja, semenjak Kenzie tidak mau berjauhan dari Senna membuat Dhaffi sedikit kerepotan. "Sepertinya Kenzie menyukai Mbak Senna, Pak," celetuk Minah. "Ya, tapi cewek itu tidak pantas dipanggil Mama oleh Kenzie. Yang ada nanti dia jadi besar kepala, merepotkan saja," cibir Dhaffi tak suka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN