“Dia Senna, pegawai di kantor aku.”
Diana membekap mulutnya tak percaya. Matanya menoleh ke arah ruang tengah, sepasang mata Diana membinar, tampak bahagia melihat sang cucu yang tertawa riang bersama gadis bernama Senna.
“Aku tidak tahu kenapa—-“
“He is happy.” Potong Diana sembari menatap Dhaffi haru. Tidak pernah Diana melihat cucunya seaktif dan seriang itu.
“Yeah.., Dia selalu nyari Senna, mau tidur atau bangun tidur, selalu nangis kalau tidak melihat Senna. Sebenarnya Kenzie kenapa, Ma?” Dhaffi memandang ke arah yang sama dengan pusat mata Diana saat ini. Ke arah Kenzie dan Senna yang sedang main kejar-kejaran.
“Kenzie baik-baik aja, Dhaf. Mungkin memang selama ini Senna yang dia cari. Dia pasti rindu sama mamanya,” jawab Diana sembari tersenyum lebar. “Terus gimana rencana kamu setelah ini?” Nada suara Diana kali ini serius. Dia juga menatap Dhaffi meminta penjelasan.
“Rencana? Aku tidak ada rencana apapun.”
Sepasang alis Diana terangkat. “Dhaff? Anak kamu sudah ketergantungan dengan Senna.”
Dhaffi mengulum bibirnya. Apa yang mamanya katakan itu benar. Maka dari itu dia meminta Senna untuk menjadi babysitter Kenzie. Sayangnya, gadis itu menolak tawaran yang ia berikan.
“Aku sudah menawarkan Senna untuk jadi babysitter Kenzie, tapi dia nolak.” Pundak Dhaffi menurun lemas. Masih ada rasa kecewa yang tersirat jika teringat dengan penolakan dari gadis itu.
Kekehan sinis terdengar di telinga Dhaffi, Diana menertawakannya. “Kamu nawarin Senna jadi babysitter?” Wajahnya tampak tak percaya.
Dengan ekspresi datar Dhaffi menganggukkan kepalanya.
“Astaga, Dhaffi.., harusnya kamu tawarkan dia untuk jadi istri kamu, kok malah jadi babysitter?”
Kedua mata Dhaffi melotot spontan. Senna? Jadi istrinya? Tidak dulu, deh! Masa iya dia punya istri kampungan begitu? Kucel dan tidak ada cantik-cantiknya!
Ya.., Senna cantik sih, walaupun sedikit. Tapi mana mungkin Dhaffi menikahi gadis yang tidak jelas asal-usulnya. Apalagi latar belakang gadis itu yang sangat jauh berbeda dengannya. Pasti akan sangat sulit untuk mereka saling belajar beradaptasi di lingkungan masing-masing.
Kini giliran Dhaffi yang tertawa sinis. Mamanya pasti sedang membual saat mengatakan hal itu, ‘kan?
“Ma, Mana mungkin aku nikahin gadis seperti Senna.”
“Loh, kenapa memangnya? Dia baik kok, Kenzie saja suka.” Diana protes melihat Dhaffi yang meremehkan Senna.
Kepala Dhaffi menggeleng, selaras dengan tawa sinisnya yang mulai mereda. “Dia itu cewek kampung, Ma, lihat aja penampilannya. Kucel dan kolot begitu.”
“Hush! Kamu enggak boleh ngomong begitu! Kalau nanti kamu yang jatuh cinta duluan gimana?” Kalau hal itu beneran terjadi, Diana akan jadi orang pertama yang menertawakan Dhaffi.
Dhaffi mendengus. Dia menatap ke arah Senna lalu menggeleng keras. “Tidak mungkin! Kalau sampai aku jatuh cinta sama Senna. Mama boleh ambil Ferrari merahku.”
“Deal?” Diana menarik senyum miring, menantang. Tangan wanita itu terulur, meminta Dhaffi untuk menjabat tangannya sebagai pengesahan dari pertaruhan mereka.
Dhaffi berdecih. Tanpa sungka dia menjabat tangan sang Mama dan berkata, “Deal!” Dengan percaya diri. Lagian, mana mungkin seorang Dhaffi Salendra yang kece sedunia jatuh cinta ke gadis kucel seperti Senna?
* * *
“Mam-Mma...”
“It’s Okay, Sayang. Mama Senna nggak ke mana-mana,” ujar Diana menenangkan Kenzie yang rewel karena Senna tertinggal jauh di belakang mereka.
Saat ini Diana membawa cucunya ke mall, tentu bersama Dhaffi dan Senna juga. Selain ingin mengajak Kenzie bermain, Diana juga ingin melakukan perawatan di salon langganannya. Namun kali ini dia tidak sendiri, ada Senna yang akan ikut menemaninya.
“Sen, ayo cepat,” titah Diana ke Senna yang sedang mengikat tali sepatunya. Sementara Dhaffi berdiri sambil bermain ponsel di sebelah gadis itu. Menunggu Senna selesai mengikat tali sepatunya.
“Iya, Tan,” sahut Senna kemudian berlari kecil menghampiri Diana. Dia segera memegang stroller Kenzie dan mendorongnya pelan.
“Kenzie jauh sedikit dari kamu aja langsung nangis, gimana kalau nanti kamu enggak bisa temui dia?” ujar Diana, dia berjalan tepat di sebelah Senna yang sedang mendorong stroller Kenzie.
“Ekhm!” Dhaffi yang berjalan di belakang Senna lantas berdehem. Dia seakan memberi sindiran ke Senna karena perkataan mamanya yang relate dengan pemikirannya.
Maunya Dhaffi, Senna juga memikirkan situasi saat ini karena Kenzie sama sekali tidak mau jauh darinya.
Senna melukis senyum kikuk. “Kalau Kenzie butuh aku kapan aja, aku pasti bisa datang kok, Tan.”
Mendengar jawaban itu, Dhaffi mencibir. “Sekalipun kamu lagi kencan?” tanyanya sinis.
“Loh, kamu sudah punya pacar, Nna?” Diana menimbrung. Bertanya penasaran tentang status Senna yang masih lajang atau sudah jadi milik orang?
Segera Senna menggeleng sambil tersipu malu. “Belum ada kok, Tan.”
Diana tersenyum sumringah. “Nah, cocok! Dhaffi juga belum punya pacar.” celetuknya.
Kerutan tercetak jelas di kening Dhaffi dan Senna, secara serentak mereka berdua saling beradu pandang dengan tatapan bertanya.
“Cocok apanya, Tan?” Senna pura-pura bodoh.
“Cocok kalau kalian berdua pacaran. Kan sama-sama enggak punya pacar.” Diana memperjelas. Tak sungkan juga dia mencolek bahu Dhaffi menggoda.
Reaksi Dhaffi langsung berubah jijik, dia mendelik dan menatap Senna tak suka. Sementara Senna tak ambil pusing, dia hanya tersenyum kikuk saja.
Pacaran sama Dhaffi? Memimpikannya saja Senna tidak berani.
“Kamu mau nggak, Nna?” Tembak Diana tak tanggung-tanggung. Terserah Dhaffi mau bereaksi seperti apa. Yang ada dibenak Diana saat ini hanya memikirkan kebahagiaan cucunya saja. Kalau Kenzie bahagia memiliki Mama, Dhaffi juga pasti bahagiakan?
Diana tidak peduli kasta dan status sosial Senna. Jika Kenzie sudah nyaman dengannya, Diana sih Yes.
Yang ditanya menggaruk tengkuk. Bingung mau menjawab seperti apa. Ekor mata Senna melirik ke arah Dhaffi, pria itu tampak menunggu jawabannya dengan raut muka yang serius dan terlihat... marah?
“Pak Dhaffi pantas mendapatkan wanita yang lebih cantik dari saya, Tan.”
Diana mencibir. Jawaban Senna membuatnya tak puas. “Buat apa cantik kalau enggak bisa bikin Kenzie nyaman. Kalian sudah klop loh, memangnya enggak mau besarin Kenzie sama-sama?”
“Ma! Sudah tidak perlu membahas yang tidak penting.” Sentak Dhaffi mendadak emosi. Pria itu mendorong Senna dan mengambil alih stroller Kenzie dari gadis itu.
“Kalian mau ke salon, ‘kan? Biar aku yang ajak Kenzie jalan-jalan.” ketus Dhaffi kemudian berjalan meninggalkan Senna dan Diana yang memandangnya dengan gurat kebingungan. Kenapa Dhaffi jadi tersinggung begitu?
“Kayaknya Pak Dhaffi enggak suka kalau bahas aku,” lirih Senna merasa bersalah. Apa dia semenjijikan itu sampai Dhaffi sangat marah hanya karena Diana berniat untuk menjomblangi mereka berdua?
Padahal Senna tahu, Diana hanya bergurau saja. Diana pasti tidak sudi memiliki menantu seperti dirinya, ‘kan?
“Udah enggak usah dipikirin, mending sekarang kita senang-senang aja!” ujar Diana sembari merangkul Senna dan membawa gadis itu ke dalam salon langganannya. Diana akan membuat Senna berubah secantik mungkin sampai Dhaffi tidak bisa berpaling. Lihat saja nanti!