"Duduklah, Liliana."
Tersenyum ragu, Lily mengambil tempat di depan Rod. Keduanya dipisahkan dengan sebuah meja kayu besar yang terbentang. Tampak jelas, ini adalah tempat biasanya pria tua itu bekerja. Saat mengingat peristiwa tadi malam, ia cukup bersyukur Gregory masih punya cukup akal sehat untuk membawanya ke kamar tidur.
Mengamati ekspresi wanita muda di depannya, mata Rod menelisik meja besar di depannya. Tampak pria itu sedikit memundurkan tubuh ke kursinya dan jari telunjuknya mengarah ke atas meja itu.
"Jangan katakan kalau kalian melakukannya di atas sini?"
Pertanyaan itu membuat Lily malu setengah mati. Sekuat tenaga, wanita itu menahan keinginan untuk lari dari sana. "Ti- Tidak, paman Rod. Aku dan Greg tidak melakukannya di sini."
"Oh, baguslah kalau begitu."
Komentar santai itu membuat Lily mendongak dan menatap Rod yang sedang membuka laci-laci kerjanya. Setelah menemukan yang dicarinya, raut pria tua itu sumringah. Tampak ia mengeluarkan beberapa barang dan sedikit menghempaskannya ke atas meja. Beberapa majalah yang cukup tua terlihat berserakan di sana.
Mengambil salah satunya, bola mata Lily mulai membesar. Ia menatap Rod di depannya.
"Paman Rod. Ini..."
Pria tua itu terlihat bangga dan meraih salah satu dari majalah-majalah itu. Senyumnya mengembang dan ia sedikit melemparkan majalah itu ke arah Lily.
"Itu salah satu puncak karirnya. Fotonya sangat bagus di sana."
Di cover depannya, terpampang sosok Gregory bert*lanjang d*da dan memamerkan otot-otot tubuhnya yang terbentuk sangat indah. Pria itu mengangkat kedua lengannya ke atas kepala dan menatap kamera tajam serta sorotnya menantang. Terlihat ada tato yang disamarkan di bawah salah satu bisepnya.
Tertegun dengan pemandangan di depannya, Lily mengamati beberapa majalah dan semua covernya berisi foto-foto pria yang telah menjadi suaminya. Salah satu dari majalah itu bahkan memuat profil singkat pria itu dan dua halamannya penuh dengan posenya dari berbagai sisi. Tidak hanya karena kepiawaian fotografer yang memotretnya, tapi pria itu memang bisa menampilkan diri dengan sempurna di depan kamera. Semua gerakan yang ditangkap kamera, jelas menggambarkan seorang model profesional dan tahu yang dijualnya.
Menyenderkan punggung ke kursinya, Lily menarik nafasnya sedikit tajam. Ternyata, selama ini ia belum mengenal sosok Gregory yang sebenarnya. Padahal dirinya merasa telah menjadi fans pria itu sejak lama.
"Aku tidak tahu kalau dia pernah jadi seorang model, paman. Aku kira selama ini dia hanya tergabung dengan geng motor yang membuatnya hampir dipenjara dulu."
Kekehan pelan terdengar dari mulut Rod dan ia mengambil salah satu majalah di depannya.
"Dia sebenarnya sangat berbakat menjadi seorang model. Saat usianya baru 15 tahun, sudah banyak agensi yang mau merekrutnya. Dia bahkan bisa membiayai kuliahnya sendiri dengan bekerja sebagai model part-time di NY. Sayangnya semenjak lulus, dia tidak mau lagi melanjutkan karirnya di sana."
Tatapan penuh tanya terlihat dari sorot mata Lily. "Kenapa?"
"Karena dia tidak mau menjadi seperti ibunya."
Informasi itu membuat Lily terdiam. Ini adalah kali pertamanya ia mendengar mengenai asal-usul Gregory.
"Aku yakin kau pasti kaget saat tahu kalau Gregory bukan putera kandungku, Lily. Aku memang tidak pernah ingin mengungkitnya, karena dia sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Tapi tetap saja sebagai isterinya, kau juga harus mengetahui sejarah suamimu. Seperti anak itu, yang telah mengetahui latar belakangmu dari Alexander sebelum dia memutuskan menikahimu."
Melihat Lily masih terdiam, Rod memutuskan melanjutkan.
"Hal yang akan aku ceritakan mungkin aib anak itu tapi, aku harap kau bisa melihatnya dari perspektif yang berbeda. Seringkali, banyak yang salah paham karena ketidakmampuannya mengungkapkan emosi secara tepat. Banyak yang mengatakan anak itu kasar, tidak tahu diri dan paling utama arogan. Tapi kalau kau tahu latar belakangnya, kau akan paham kenapa dia bersikap begitu. Apa kau mau mendengarkannya?"
Kepala Lily akhirnya mengangguk. Sorot matanya terlihat bersinar. "Ya. Aku mau mendengarnya."
Senyuman penuh pengertian tampak di bibir Rod. "Kau menyukainya, ya?"
Pernyataan itu membuat pipi Lily langsung memerah. Kepalanya menunduk, dan jari-jarinya tampak saling mer*mas di pangkuannya. Wanita itu tidak menatap Rod saat bergumam pelan.
"Aku tidak akan menikahinya kalau aku membencinya, paman Rod."
Karena seperti orang bodoh, aku mencintainya. Sayangnya, anakmu tidak.
Pria tua itu memandang menantunya bijaksana. Cukup terlihat kalau wanita itu tidak nyaman membahas masalah perasaan mengenai suaminya, dan Rod memakluminya. Selama mengasuh Gregory, seringkali ia juga ingin menyerah dan menendangnya keluar dari rumah. Tapi janjinya pada almarhum temannya dan juga isterinya, membuatnya akhirnya mengurungkan niat. Dan ia bersyukur karena itu.
Tidak mau memperpanjang, Rod bersender di kursinya.
"Apa kau pernah mendengar nama Georgiana Ashley?"
"Georgiana Ashley?"
Raut Lily tampak berfikir, tapi nama itu tampaknya mulai membuat alam bawah sadarnya berdering. Wanita itu mendongak cepat, saat ia akhirnya mengenalinya.
"Georgiana. Kalau maksud paman Giana Ashley, bukannya dia supermodel yang akhirnya menjadi aktor film? Waktu kecil, mama pernah mengajakku menonton satu filmnya. Seingatku, mama salah satu pengagumnya. Tapi sepertinya lebih ke penggemar fashion-nya dibanding filmnya."
Kata-kata itu membuat Rod kembali tersenyum. "Benar. Georgiana atau Giana Ashley adalah supermodel terkenal di jamannya. Karirnya yang cemerlang membuatnya menjadi panutan dari para penerusnya meski jarang ada yang tahu, untuk mencapainya dia harus mengorbankan banyak hal. Termasuk keluarganya."
Mendengar itu, Lily tertegun. "Keluarganya? Maksud paman, Georgiana adalah..."
"Georgiana Ashley adalah wanita yang telah melahirkan Gregory. Ia memilih berpisah dari suaminya untuk menghindarkannya dari beban kewajiban yang harus ditanggungnya bila tetap bersama pria itu. Sayangnya, keputusannya itu juga ternyata bukan keputusan bijak. Tidak terbayang olehnya bahwa membesarkan anak sendirian itu bukan seperti memelihara binatang atau boneka, yang cukup dimandikan dan diberi makan mereka sudah diam. Dan wanita itu baru menyadarinya saat kerusakan itu telah terjadi."
***
= Flashback sekitar 38 tahun lalu. Kota P, Perancis =
Sejak kecil, Benedict Gregory Ashley telah dibesarkan dalam lingkungan yang sibuk. Tidak ada satu manusia pun yang tampaknya punya waktu untuk saling bertegur sapa dengan lainnya. Masa kecilnya hanya diisi dengan kelebatan sosok-sosok kabur yang berseliweran di depannya, yang membawa bau asap rokok atau pun minuman keras. Berbagai bahasa manusia yang ada di planet pun mampir ke telinga kecilnya, membuat anak itu sempat mengalami fase kebingungan selama beberapa waktu.
Seperti hari ini, di pagi buta ia telah dibangunkan ibunya dan didandani. Dan seperti hari-hari sebelumnya, ia diletakkan di sebuah kursi besar di pojokan ruangan layaknya sebuah pajangan.
Mata besar anak itu berwarna biru jernih dengan bulu mata panjang, benar-benar membuat orang seringkali mengira sosok kecil itu boneka. Rambutnya berwarna pirang, tampak tergerai lembut dengan gelombang menggemaskan di bahunya. Dengan dandanan yang unis*x dan warna-warni, tidak hanya satu tapi banyak dari mereka menyangkanya sebagai anak perempuan.
Salah satu makeup artist yang baru saja datang, tampak terpesona dengan sosok mungil yang sedang duduk menatapnya dengan ekspresi boneka porselin. Seolah terhinotis, pria gemulai itu berjalan mendekat dan menunduk ke arah anak berambut pirang itu. Penasaran, jari telunjuknya hampir menyentuh pipi berona merah itu ketika boneka itu tiba-tiba menghindar. Saking kagetnya, pria itu sampai meloncat terkejut dan punggungnya menabrak petugas lighting yang sedang lewat di belakangnya.
"Oh!"
"Yo! Hati-hati, mate!"
Menoleh pada pria di belakangnya, tampak MUA itu menundukkan kepalanya meminta maaf. Pria gemulai itu berkulit gelap dengan perhiasan di telinga dan juga tangannya yang tampak lentik.
"Sorry. Sorry, bruh. Aku hanya sedikit kaget tadi."
Menatap objek di depannya, tampak pria lighting itu tertawa. Aksennya seperti orang Inggris.
"Kau pasti masih baru, mate? Anak itu bukan boneka. Dia anak dari..."
Setelah mencari-cari sebentar di kerumunan orang-orang yang lalu-lalang di depannya, wajah pria Inggris itu sumringah dan menunjuk seseorang di sana.
"Dia anak lelaki dari wanita itu. Georgiana Ashley."
Mata gelap pria MUA itu membesar. "Anak Giana Ashley? Aku baru dengar dia punya anak."
Suara tawa kembali terdengar dari si pria lighting. Ia kembali mengangkat peralatannya di bahunya.
"Bukan hanya kau yang terkejut, mate. Semua orang juga sama. Dan omong-omong, jangan ganggu anak itu. Dia mungkin seperti boneka, tapi gigi-giginya sangat tajam. Kau beruntung dia tidak menggigitmu tadi."
Memegang d*danya sendiri, pria gemulai itu menatap sosok kecil yang saat ini menatapnya dengan dingin. Hilang sudah kesannya sebagai boneka yang lucu dan menggemaskan tadi.
"Baiklah. Aku paham maksudmu, bruh. Trims sudah memberitahuku." MUA itu mengedipkan satu matanya.
Tertawa keras, pria lighting itu meninggalkan lokasi dengan terhibur. Ini kesekian kalinya ia menyaksikan orang terpesona dengan anak Georgiana Ashley, sekaligus merasa takut padanya. Bahkan sebelum dewasa, anak dari supermodel itu sudah menunjukkan karismatik dan daya tarik yang kuat pada orang di sekitarnya.
Sayangnya, pesona Benedict Gregory tidak bisa membuat orangtuanya hidup rukun seperti pasangan lain.
Seperti malam ini, telinga anak itu yang masih murni telah seringkali mendengar pertengkaran dua orang itu di dalam apartemen milik Georgiana. Ia yang tadinya merasa ketakutan, pada akhirnya hanya menatap datar perseteruan orangtuanya dari pintu kamar yang terbuka.
"Apa yang bisa kau ajarkan padanya, Giana!? Seharusnya Bene ikut denganku ke Jerman! Dia akan mendapat pendidikan terbaik dan juga lingkungan yang dapat membuatnya tumbuh dengan baik!"
"Oh ya? Kau berani mengatakan itu padaku, Mave? Kau kira lingkungan yang toxic seperti keluargamu, yang telah membuatku merasa seperti w************n bisa membuat Bene hidup baik? Kau benar-benar buta karena keluargamu, Maverick! Aku tidak sudi Bene dibesarkan dalam keluargamu!?"
"Jaga mulutmu, Giana!?"
Mendorong tubuh mantan suaminya menjauh, Georgiana menatap pria itu dengan bengis.
"Jangan suruh aku diam, Maverick! Aku sekarang berhak mengatakan yang ingin kukatakan dari dulu! Kau harus tahu kalau keluargamu itu toxic! Kau kira dengan uang, kalian bisa mengaturku seperti boneka? Kau kira hanya karena kalian bangsawan, kau bisa membuatku tunduk pada kalian? Jangan pernah mimpi!!"
Berusaha berfikir jernih, pria bernama Maverick tampak menarik nafas dalam meski urat-urat di pelipisnya berkedut kencang. Lelaki itu mengepalkan kedua tangan, mencegahnya melakukan tindak kekerasan.
"Giana. Kau harus sadar kalau lingkunganmu tidak baik untuk membesarkan anak kecil seperti Benedict. Aku yakin, meski otakmu tidak pintar tapi kau cukup tahu kalau banyak predator berada di sekitaranmu. Seyakin apa dirimu bisa menjaganya selama kau bekerja? Sebagai ayahnya, aku mau Bene tumbuh dengan normal. Aku ingin dia menjadi pria yang seharusnya! Dan dengan pendidikan yang terbaik!"
"Aku menyekolahkannya, Maverick! Meski pendidikanku tidak tinggi, tapi aku ingin Bene lebih baik dariku!"
"Dengan menyekolahkannya secara homeschooling!?"
Pekikan Maverick terasa memekakkan dalam ruangan apartemen mewah itu.
"Apa salahnya dengan homeschooling? Dia tetap bisa mendapatkan pendidikan baik dari sana!"
"Tidak ada yang salah dengan itu! Tapi apa kau sudah menyelidiki yayasan dan latar belakang mereka? Apa kau tidak sadar mereka mendukung APA? Kau sudah mengizinkan orang-orang tidak waras itu untuk mencuci otak anakmu sejak kecil, Giana! Sadarlah!!"
"Pergilah, Maverick!"
Menujuk anak lelakinya yang ternyata sedang berdiri di depan kamarnya, Maverick kembali berkata dingin.
"Apa kau lihat yang kau lakukan padanya, Giana? Lihat anak itu sekarang! Apa ada anak lelaki yang berambut sepanjang itu? Apa ada anak lelaki memakai piyama dengan gambar hello kitty seperti yang dipakainya sekarang? Dan apa yang selama ini kau pakaikan di wajahnya? Apa kau mau dia tumbuh seperti periasmu? Gemulai dan tidak jelas dia lelaki atau wanita? Kau akan membuat anak itu bingung dengan identitasnya!?"
Meski masih kecil dan perseteruan itu dikatakan dengan dua bahasa dari dua negara yang berbeda, tapi anak itu paham dengan perkataan ayah-ibunya. Ia hanya tidak mengerti maknanya dalam kehidupan.
"PERGI, Mave!?"
Jeritan Gerogiana yang sangat melengking sempat menghentikan perdebatan panas itu. Tapi, sama sekali tidak menghentikan Maverick untuk memberikan ultimatum terakhirnya.
"Aku sudah memberimu kesempatan untuk membesarkannya sesuai kesepakatan kita tapi kau sendiri yang menunjukkan ketidakmampuan itu, Georgiana Ashley! Dan aku tidak mau bibit unggul yang aku berikan, akan kau sia-siakan begitu saja! Bagaimana pun, anak itu tetap keturunan lelaki seorang Rothschild!"
Mendelik menatap pria yang berdiri di depannya, kedua tangan Georgiana mengepal kencang.
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, aku akan menghubungi pengacara untuk mengambil hak asuh Benedict Gregory! Kau memang tidak pantas menyandang peran sebagai ibunya!"
Tidak menunggu jawaban Georgiana, Maverick keluar dari apartemen dan membanting pintunya kencang. Sangat jelas, pria itu hanya peduli dengan garis keturunannya dan bukan karena anak itu sendiri.
Itu adalah kali terakhir Benedict Gregory bertemu dengan ayah kandungnya. Karena keesokan harinya, ia telah dibawa pergi oleh ibunya ke satu-satunya tempat yang terfikirkan oleh wanita yang sedang kalut itu.