Chapter 20 - Emotional Attachment

1809 Kata
"Jadi, kalian berdua bisa membantuku kan?" Pasangan di depannya tampak saling berpandangan, sampai sang pria akhirnya menatap tamu di depannya. "Georgie. Kami kira ini bukan ide bagus. Menyembunyikan anak itu dari ayahnya-" "Aku tidak menyembunyikannya, Rod! Aku hanya melindunginya dari d******i pria itu dan keluarganya!" "Sebenarnya, d******i seperti apa yang kau maksud Georgie? Karena aku masih tidak mengerti." "Keluarga Mave ingin mengambilnya dariku! Dengan alasan memberikan pendidikan dan lingkungan yang baik untuk anak itu. Kalau kau jadi aku, apa kau akan memberikan anakmu begitu saja, Shannon?" Cukup bingung dengan kata-kata temannya, wanita bernama Shannon itu berkata hati-hati. "Apa yang salah dengan memberikan pendidikan yang baik pada anakmu, Georgie? Dengan latar belakang suamimu, bukannya ia lebih dari mampu untuk membiayai kehidupan anakmu hingga ia cukup umur nanti? Kehidupannya akan sangat terjamin ke depannya." "Maksudmu, Benedict akan lebih bahagia bila bersama dengan ayahnya?" Mengerjapkan matanya, Shannon tampak semakin bingung. Kebingungannya membuat wanita itu refleks mengusap perutnya yang membuncit. "Aku tidak bilang begitu, dear. Aku bertanya, apa yang salah dengan pendidikan yang baik untuk anakmu?" "Salah, kalau yang memberikannya Maverick dan keluarga terkutuknya itu!" Menghembuskan nafasnya, Rod memegang tangan isterinya erat. Matanya jelalatan memandang sekeliling dan cukup lega menemukan yang dicarinya sedang duduk di ruangan berbeda sambil membaca buku. "Georgie. Bagaimana pun dia ayah anakmu. Tidak baik mengata-ngatainya seperti itu di depan anakmu." "Dia tidak akan mengerti, Rod. Aku selalu berbicara mengenai Mave menggunakan bahasa Jerman." "Seyakin apa kau, Gerogie? Karena yang aku lihat, anakmu itu cerdas. Ia mungkin terlambat bicara saat ini, tapi kau harus tahu kalau dia PAHAM bahasa yang aku gunakan padanya. Kau mungkin harus bertanya pada dirimu sendiri, sesering apa kalian mengunakan bahasa Perancis atau Jerman atau bahkan bahasa lain di dekatnya. Karena aku yakin, tidak akan sesering bahasa Inggris yang sedang kita gunakan sekarang ini." Perkataan itu membuat Georgiana tertegun dan menoleh menatap anaknya dari balik kaca jendela. Raut kekhawatiran tampak sedikit terlihat di wajahnya tapi wanita itu menggeleng. "Tidak. Aku yakin anak itu tidak mengerti apapun. Dia hanya tahu kalau kami sering bertengkar. Itu saja." Lelah berdebat, Shannon berusaha menggunakan nada lembut. "Georgie..." "Tolonglah, Shan! Hanya untuk sementara saja saat aku harus bekerja. Aku akan sering mengunjunginya di saat aku bisa. Tapi aku tidak mau membiarkannya ada di apartemen sendirian dan memberi kesempatan pada pria itu untuk mengambilnya dariku!" "Georgiana. Saat ini kau tidak bisa berfikir jernih, dear. Kau juga harus tahu, kalau tidak selamanya kami akan ada di Perancis. Rod dan aku sudah berencana pindah ke Amerika dalam beberapa bulan lagi. Kami sedang mengurus surat-suratnya dan tidak lama lagi, semuanya akan segera beres." Informasi itu jelas membuat Georgiana sangat terkejut. "Kalian akan pindah? Kau tidak pernah bilang, Shan!" "Sebenarnya aku sudah ingin mengatakannya sejak beberapa bulan lalu, Gerogie. Tapi saat itu, kau sedang sibuk mengurus project film pertamamu. Ayah Rod ingin agar dia kembali ke CA dan meneruskan perusahaan keluarga di sana. Lagipula, kami berdua masih warga negara Amerika dan tidak ada keinginan untuk pindah kewarganegaraan. Pada akhirnya, kami berdua akan pulang ke negara kami, dear." Menatap pasangan di depannya bergantian, wanita cantik berambut pirang itu tampak masih shock. Tanpa diduga, ia berdiri dan dengan kasar mengambil tas tangannya dari kursi. "Tidak. Aku tidak percaya kalian akan meninggalkanku sendirian di sini. Aku tidak mau percaya!" Sangat bingung dengan reaksi temannya, Shannon memegang lengan suaminya. Meminta bantuan. "Georgie. Lebih baik kau-" "Tidak, Rod! Kalian harus membantuku! Aku tidak mau tahu, tapi kalian harus membantuku!" Mulai tidak sabar, nada Rod meninggi dan pria itu berdiri di depan isterinya yang tampak pucat. "Demi Tuhan, Georgiana Ashey! Untuk sekali dalam hidupmu, tolong tidak menjadi orang egois! Kau dulu memaksa Shannon mengikutimu dan bekerja di Perancis! Dia itu temanmu Gerogie, bukan pembantumu! Sudah cukup Shannon menghabiskan waktu di sini menemanimu mencapai impianmu menjadi supermodel! Kau sudah mendapatkannya, bahkan kau sudah menikahi pria dari salah satu keluarga terkaya di Jerman sana! Sudah saatnya kau melepaskan Shannon dan membiarkannya hidup bahagia sekarang!" Menatap Shannon yang terduduk, Georgiana beralih ke Rod dan matanya mulai memerah. "Aku sudah membantunya untuk meneruskan pendidikan di sini, Rod. Aku tidak membiarkannya-" "Kau benar-benar arogan, Georgiana Ashley! Kau mungkin sudah membantunya mendapat beasiswa di sini dan mengajarinya bahasa Perancis. Tapi kau harus tahu, dia telah mengorbankan banyak hal dengan ikut denganmu ke sini. Salah satunya aku, yang harus menunggunya sekian tahun agar dia kembali padaku!" Memegang pergelangan suaminya, suara Shannon melembut. "Rod..." "Tidak, Shannon! Wanita ini harus tahu, kalau tidak semua orang suka sikapnya yang arogan dan sombong! Jangan kira karena kau cantik maka semua akan menurut padamu, Georgie! Kau mungkin punya banyak uang karena karir modelmu, tapi tidak semuanya bisa dibeli uang! Sudah cukup aku bersabar selama ini, Shannon dan kini saatnya aku membawamu pulang! Ke tempat yang benar-benar bisa kita sebut 'rumah'!" Kedua mata biru Georgiana mengerjap cepat dan wanita itu menggeleng. Pandangannya tertunduk. "Aku harus pergi." Melihat wanita itu benar-benar akan pergi, Rod sedikit berteriak. "Georgiana! Mau kemana kau!?" Wanita itu benar-benar pergi dari sana tanpa menoleh lagi. Pasangan itu masih terpaku, ketika tiba-tiba ada suara kecil terdengar dari arah ruangan lain di apartemen itu. "Maman pergi?" Keduanya menoleh dan menatap sosok kecil yang sedang menatap mereka dengan mata birunya yang besar. Tersenyum canggung, Rod berjongkok di depan anak yang masih setinggi pahanya. Ia mengusap kepala anak itu yang berambut pirang. "Maman hanya pergi sebentar, sayang. Dia akan kembali." Rod berusaha menjelaskan dalam bahasa Perancis patah-patah. Meski sudah tahunan tinggal di negara itu, tapi ia tidak terbiasa menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Selama bekerja di kantor, pria itu lebih banyak menggunakan bahasa ibunya yang membuatnya tidak terdorong mengasah kemampuan bahasanya. Menatap pintu tertutup itu, anak itu bergumam datar. "Mutter pergi. Vater juga pergi." Kata-kata dalam bahasa asing itu membuat Rod menatap isterinya. "Apa yang dia katakan?" "Aku tidak tahu, dear. Sepertinya bahasa Jerman." Tidak tahu harus berbuat apa. Rod kembali mengusap rambut anak itu yang lebat. Kasihan dengan anak kecil yang tidak tahu apa-apa itu, Shannon mengikuti suaminya berjongkok di depannya. Wanita itu mengusap lembut pipi anak itu yang gembil dan merah. "Maman akan kembali, Benedict sayang. Kau lapar? Biar bibi memasakkan sesuatu yang enak untukmu." "Gregory." "Apa?" "Namaku Gregory. Aku tidak suka dipanggil Bene." Suara kecil itu berkata tegas, meski masih cadel. Itu adalah keterkejutan pasangan itu untuk kesekian kalinya. Pasangan suami-isteri itu kembali disadarkan, kalau anak Georgiana Ashley benar-benar anak yang cerdas. Dalam usianya yang belum genap 4 tahun, anak itu sudah bisa mengucapkan kalimat dalam 3 bahasa yang berbeda. *** = Beberapa bulan kemudian = Sejak pertengkaran itu, Georgiana Ashley tidak pernah datang lagi. Sudah beberapa kali Shannon dan Rod menghubungi wanita itu via telepon tapi jawabannya selalu sama, ia sibuk dan ada di luar kota. Kejadian itu sangat membuat pasangan itu jengkel tapi melihat respon Gregory yang sepertinya baik-baik saja, keduanya pun akhirnya memutuskan mengasuh anak itu sampai akhirnya Shannon melahirkan. Semua berjalan lancar, sampai anak yang tadinya pendiam itu menunjukkan tantrum untuk pertama kalinya ketika pasangan itu membawa bayinya ke rumah. Saat itu, Shannon baru saja meletakkan bayinya di box dan akan pergi ke dapur saat terdengar suara pecahan datang dari arah kamar tamu mereka yang masih kecil. Ketika memeriksa kamar itu, tampak Gregory sedang memecahkan beberapa barang yang ada di dalam kamar itu. Ruangan itu sangat berantakan. "Gregory! Kau sedang apa?" Bukannya menjawab, anak itu hanya menatap Shannon dan mengambil vas yang ada di atas meja, kemudian membantingnya ke lantai hingga pecah. "Gregory!" Kejadian itu berlangsung beberapa kali, sampai akhirnya Shannon dan Rod memutuskan untuk membawa anak itu ke seorang psikolog. Mereka cukup cemas kalau anak itu mengalami gangguan tertentu, karena sebelumnya hal ini sama sekali belum pernah terjadi. "Jadi, bagaimana hasilnya? Apa yang salah dengan anak itu?" Menatap sosok anak kecil yang sedang bermain dengan tenang di ruangan lain di sebelahnya, psikolog itu menatap pasangan di depannya. "Tuan dan Nyonya Harrington. Selama mengasuh Gregory, apakah ada situasi yang berubah di rumah?" "Berubah?" Menatap Rod, psikolog itu mengangguk. "Ya. Berubah. Kadang, ada anak yang hanya bisa mengekspresikan perasaannya melalui perbuatan. Ia mungkin merasa marah di dalam, tapi tidak mampu mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata atau yang paling lumrah, tangisan. Semakin tinggi kognitif anak, tidak menutup kemungkinan dia dapat memberikan respon yang mungkin saja tidak biasa." "Bisa terangkan maksud Anda dengan berubah? Karena kalau pun ada yang berubah, seingat saya hanya ketika anak itu dititipkan ibunya pada kami sekitar 3 bulan yang lalu. Memang butuh sedikit penyesuaian, tapi sejauh ini semuanya baik-baik saja. Anak itu pendiam tapi tidak pernah membuat masalah sebelumnya. Rod pun cukup sering mengajak anak itu ke kantor untuk menemaninya bekerja." "Bagaimana saat dia di rumah? Anda saat ini tidak bekerja, Nyonya?" "Benar. Saya resign sekitar 1 bulan lalu. Tempat kerja saya tidak memungkinkan membawa anak karena saya tidak memiliki ruangan sendiri. Karena itu, suami saya yang lebih sering mengasuhnya. Tapi semenjak saya berhenti kerja, anak itu pun sepertinya baik-baik saja di rumah. Ia bahkan sering menemani saya berbelanja atau memperhatikan saya memasak di dapur. Tidak ada yang aneh-aneh." Senyum menenangkan tampak muncul di bibir si psikolog. Tatapan matanya terlihat turun dan mengamati sosok mahluk kecil yang saat ini sedang berada di pangkuan Shannon. "Anda berdua baru memiliki bayi?" "Ya. Saya melahirkan minggu lalu dan baru 2 hari ini kembali ke rumah. Tadinya saya-" Penjelasan itu tiba-tiba berhenti. Mata Shannon tampak melebar dan ia memandang suaminya. "Apa dia cemburu?" "Cemburu? Apa maksudmu?" Kepala Shannon menoleh dan menatap kembali psikolog di depannya. "Saya benar, kan? Dia cemburu?" Kembali senyum penuh pengertian muncul di bibir psikolog itu. Ia mengulurkan sebuah lembaran kertas di atas meja dan menunjukkannya pada pasangan di depannya. "Ini gambar yang dibuat anak itu tadi." Gambar yang terlihat masih kanak-kanak itu memperlihatkan sosok ayah, ibu dan bayi di pangkuan mereka. Sedangkan di bawahnya, tampak ada sosok lain yang sedang menatap mereka dari kejauhan. Menghela nafasnya, Shannon menatap cemas si psikolog. "Apa membahayakan? Anak itu akan- akan-" "Kalau dari pemeriksaan, Gregory adalah anak yang cerdas. Di usianya yang belia, pemahaman verbalnya lebih superior dibanding anak seusianya. Ia sudah paham kata-kata orang dewasa, meski mungkin belum mengerti maknanya. Dia dapat memberikan respon yang tepat dan berperilaku jauh lebih dewasa dibanding anak-anak lain. Jelas, dia dibesarkan dalam lingkungan yang membuatnya terbiasa bersikap seperti itu." Pasangan itu masih menatap si psikolog dengan intens, menunggu kelanjutannya. "Di usianya ini, wajar anak menunjukkan tantrum sesekali tapi untuk kasus Gregory, ia tidak menunjukkan perilaku balita normal. Saya tidak tahu lingkungan seperti apa dia dibesarkan, tapi anak itu kurang mampu menunjukkan empati pada orang lain dan mengeluarkan emosi yang tepat. Ia tidak marah di saat seharusnya marah dan sebaliknya. Justru sepertinya, ia baru bisa mengeluarkan perasaannya ketika melihat Anda membawa anggota baru ke rumah." "Jadi, maksud Anda..." "Gregory sudah menganggap Anda berdua adalah keluarganya, Nyonya Harrington. Dan dia takut, Anda akan menyingkirkannya saat sudah memiliki bayi sendiri. Ia memperlihatkan perilaku sibling rivalry, Nyonya. Hal itu wajar terjadi ketika seorang anak yang biasanya menerima kasih sayang penuh dari orangtuanya, tiba-tiba saja harus membaginya pada saudaranya yang lain."

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN