= Rumah Harrington. Keesokan paginya, jam 06.30 =
"Greg. Mengenai tadi malam, kita harus bicara."
Meletakkan piring terakhir di rak, pria itu menoleh padanya dan tatapannya sedingin salju yang mulai turun.
"Kalau kamu minta cerai maka silahkan bermimpi, Red. Sampai kapan pun, aku tidak akan menceraikanmu."
"Kenapa?"
"Karena kamu isteriku. Aku menginginkanmu sebagai isteriku, Red. Aku tidak main-main saat memintanya."
Selama beberapa saat, keduanya saling menatap tajam sampai akhirnya Lily memijat pelipisnya.
"Baiklah. Aku minta maaf sudah membuatmu tidak nyaman, Greg. Bukan maksudku menuduhmu seperti itu, karena tadinya aku fikir kamu menikah denganku hanya karena rasa bersalah. Kamu harus tahu, aku sudah memaafkanmu karena peristiwa 5 tahun lalu dan tidak ingin membebanimu dengan itu. Aku juga tidak mau menghalangimu untuk dapat bersama wanita yang benar-benar kamu inginkan dan cintai. Aku tidak sejahat itu untuk membalas dendam padamu, Rory."
Ekspresi Gregroy yang berubah drastis, membuat Lily terkejut. Tampak kedua matanya yang biru bergerak-gerak dan menampilkan emosi yang tidak dimengertinya. Ia semakin terkejut, ketika suaminya memeluknya erat dan memberikan kecupan lembut di ubun-ubunnya. Tubuh pria itu sedikit bergetar di pelukannya.
"Kamu harus yakin padaku, Red. Kamu satu-satunya wanita untukku. Hanya kamu, dan cuma kamu."
Entah kenapa, tapi perkataan suaminya membuat hatinya tenang. Makin menyenderkan kepala di d*da keras itu, Lily mulai mer*mas punggung pria itu. Wangi tubuh pria ini menyenangkan.
"Baiklah. Aku akan memegang kata-katamu itu. Aku sebenarnya cukup bersyukur kamu sudah memuaskan diri saat masih muda dulu. Semoga saja kamu tidak bosan padaku nantinya."
"Memuaskan diri? Bosan? Kamu masih menuduhku playboy, Red?"
Pria itu melepas pelukannya dan membuat jarak dengan isterinya. Rautnya kembali tampak jengkel.
"Kenapa kalian para wanita selalu mempermasalahkan masa lalu pria? Anehnya di saat kami jujur, kalian malah marah. Tapi juga marah, saat kami tidak mengatakan sebenarnya. Baiklah. Karena aku tidak mau ada salah paham lagi antara kita dan jujur saja, mulai muak dengan stereotype yang kamu berikan maka aku akan mengatakan kebenarannya. Red, kamu harus tahu kalau-"
"Selamat pagi."
Sapaan ringan dari arah belakang membuat pasangan itu menoleh. Tampak seorang pria berambut pirang berantakan dengan mata masih belekan memasuki dapur luas itu. Tanpa permisi, Fred menghempaskan p*ntat ke salah satu kursi dan mengambil lauk yang ada di atas meja.
Muka Lily memerah dan ia segera melepaskan diri dari pelukan suaminya. "Selamat pagi, bubba."
Kekehan terdengar dari mulut Fred yang menggembung karena makanan.
"Kau masih betah memanggilku seperti itu, sunshine."
Mengambil mug kopi-nya, Gregory mengacak rambut Lily dan duduk di depan Fred. "Mana dad?"
"Sepertinya masih mandi."
Duduk di sebelah suaminya, Lily merasakan salah satu tangan Gregory di pahanya dan mer*masnya lembut. Tersenyum malu-malu, wanita itu menunduk dan balas menggenggam tangan pria itu yang hangat.
Rasanya sangat menyenangkan saat akhirnya dapat bersama dengan seseorang yang kau kagumi.
Tiga orang itu tampak menikmati sarapan di pagi hari, saat Fred memecahkan keheningan itu.
"Aku sebenarnya tidak mau ikut campur, tapi apa tadi malam kalian ada di ruang perpustakaan?"
Pertanyaan itu membuat jantung Lily berdebar. Ia melirik Gregory yang terlihat sangat santai.
"Memangnya kenapa?"
Salah satu alis Fred naik dan ia mendengus. Tampak n*fsu makanya sedikit hilang saat ia meletakkan rotinya yang tersisa sedikit ke atas piring.
"Sudah kuduga. Tolonglah, guys. Aku tahu kalian pengantin baru tapi kalau mau berhubungan, lakukanlah di kamar tidur pribadi kalian. Suara kalian terdengar cukup jelas dari arah ruang tamu. Kalian sadar itu?"
Semburat merah jambu terlihat jelas di pipi Lily dan wanita itu menunduk. Kedua tangannya menggenggam tangan Gregory yang masih di pahanya dan mer*masnya kuat. Ia sangat malu.
"Dad juga dengar?"
"Justru papa yang mendengarnya pertama kali, Greg. Kami sedang membahas pekerjaan ketika ada suara-suara aneh dari perpustakaan. Tadinya aku mengira itu tikus, saat tiba-tiba saja Lily menjerit. Aku dan papa tidak bisa konsentrasi tahu, sampai kalian terdengar meninggalkan ruangan itu!"
Santai, tangan Gregory mengelus jempol Lily yang masih mencengkeramnya.
"Sebenarnya, hal ini ingin aku bicarakan denganmu dan juga dad, Fred."
"Jangan katakan kalau kau ingin pindah dari sini Greg, karena papa tidak akan pernah setuju."
"Selamat pagi semuanya."
Suara berwibawa itu membuat pembicaraan ringan tadi terhenti. Terasa ada sedikit ketegangan saat kepala keluarga Harrington masuk ke dapur dan mengamati wajah-wajah yang sedang memandangnya saat ini.
"Selamat pagi, dad."
Mengamati anak tertuanya, mulut Rod tersenyum masam.
"Well, well. Selamat pagi juga, Gregory. Terima kasih telah membuat malamku serasa di neraka, son."
Suara tawa Fred mencairkan suasana yang terasa tegang itu. "Aku tadi sudah mengatakan itu padanya, pap."
Senyuman Rod melebar, dan tatapannya beralih ke satu-satunya wanita di ruangan itu.
"Selamat pagi, Liliana. Sepertinya anakku telah berhasil membuatmu melayang ke surga tadi malam, dear."
Lily tidak tahu lagi harus ditaruh ke mana mukanya. Ia menunduk sangat dalam. Telinganya terasa panas saat harus mendengar suara tawa para pria di sekitarnya, dan itu termasuk suaminya!
Selama beberapa saat, para pria itu bercakap-cakap ringan sampai Fred berceletuk.
"Pap. Katanya Gregory mau pindah dari sini."
Menoleh ke arah Gregory, Rod menyesap kopinya santai. "Oh? Kau mau ke mana lagi kali ini, son? Jerman?"
Pertanyaan itu membuat kepala Gregory tertunduk. Tampak ia menatap isterinya sebentar, dan menoleh lagi pada ayah angkatnya.
"Aku belum membicarakannya dengan Lily, dad. Sejujurnya, aku juga masih belum tahu akan ke mana. Aku hanya berfikir, sebaiknya aku keluar dari rumah ini segera setelah menikah. Aku tidak mau membebanimu dengan tinggal di rumah ini lebih lama. Lagipula saat Fred menikah nanti, aku tetap harus keluar dari sini."
Helaan nafas dalam terdengar dari pria yang telah berumur 70-an itu. Tampak ia menatap anak tertuanya dan juga mengamati sosok mantunya yang terlihat tegang dalam duduknya.
"Aku ingin berbicara dengan isterimu, Gregory. Tentu saja, itu juga kalau kau mengizinkannya, son."
Permintaan yang sangat sopan itu membuat Gregory dan Lily tertegun. Keduanya saling bertatapan, sampai wanita itu terlihat mengangguk. Mer*mas tangan isterinya yang mungil, pria itu menoleh lagi pada ayahnya.
"Tentu saja, dad. Aku tentu mengizinkannya."
Sorot mata Rod terlihat melembut menatap anaknya. "Terima kasih, son."
Tampak tatapan pria tua itu beralih pada menantunya. "Lily? Bisa kita ke ruang perpustakaan sekarang? Ada yang ingin aku katakan padamu."
"Tentu saja, paman Roderick."
Mengamati kedua orang itu keluar dari dapur, Fred memandang saudaranya. Rautnya terlihat jahil.
"Dia akan memarahi isterimu, Greg. Kau yakin Lily akan tetap mau bersamamu setelah dimarahi papa?"
"Sampai kapan kau menganggap Lily anak kecil, Fred? Dia mungkin masih memanggilmu bubba, tapi usianya sekarang hampir 30 tahun. Dia sudah bisa mengambil keputusan sendiri untuk hidupnya."
Kekehan kembali terdengar dari mulut Fred. "Kau benar. Waktu berjalan sangat cepat. Dulu terakhir kali ketemu anak itu, umurnya masih 14 tahun dan berkawat gigi. Sekarang, dia telah jadi wanita cantik dan juga seksi, meski tinggi badannya tidak banyak berubah. Sayang aku tidak sempat ketemu Lily saat dia masih bekerja di konsultanmu, Greg."
Komentar itu membuat Gregory terdiam sebentar. "Kau menganggapnya cantik dan seksi?"
Menaruh piring kotornya di tempat cucian, bahu Fred terangkat. "Memangnya kau tidak? Dari kecil, anak itu sudah terlihat cantik Greg. Hanya saja, tinggi badannya memang tidak bisa dibandingkan dengan Lory. Dulu, dia memang seperti papan tapi sekarang, kau lihat sendiri badannya itu. Kalau saja dia bukan isterimu-"
"Tapi sekarang dia isteriku, Frederick!"
Perkataan tajam itu membuat Fred terperangah. "Gregory. Kau tidak cemburu, kan?"
"Aku hanya tidak suka ada yang membicarakan isteriku seperti itu."
"Membicarakan bagaimana, maksudmu? Aku ini sedang memuji isterimu, Greg! Di depan hidungmu pula!"
"Tetap saja, Fred. Simpan pikiran kotormu itu untuk dirimu sendiri. Jangan pernah berani membayangkan isteriku untuk pikiran m*sum-mu itu."
Mulut Fred terbuka sangat lebar. Ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa pada saudaranya.
"Gregory. Kau sudah gila karena Lily! Kau dan aku sudah mengenal anak itu sejak dia masih ingusan! Masih bocah, yang berjalan pun masih perlu dibantu! Kau ini terlalu terpaku dengan peranmu sebagai tunangannya selama ini, man. Sadarlah, dia itu cuma seorang wanita!"
Mata biru Gregory memicing saat memandang saudaranya. Tampak tangannya mulai mengepal.
"Cuma seorang wanita? Apa kau berani mengatakan itu tentang Andrea juga? Aku menantangmu."
Tantangan itu berhasil memancing kemarahan Fred. Tampak mata pria berambut pirang itu bersinar penuh kemarahan. Giginya bergemeratak di dalam mulutnya dan ia mendesis.
"Jangan membandingkan Andrea dengan Liliana, Gregory Ashley! Andrea berbeda!"
"Tentu saja berbeda, Frederick. Karena dia telah mengkhianatimu dengan sahabatmu sendiri!"
Hampir saja pukulan Fred masuk dan bersarang di wajah Gregory, kalau pria itu tidak segera menghindar. Mulai gelap mata, salah satu tangan pria pirang itu mencengkeram sweater saudaranya dan menariknya. Tidak mau kalah, tangan Gregory pun mencekal kuat tangan Fred yang ada di lehernya.
"Kau tidak tahu apapun tentang Andrea, Gregory! Jaga mulut dan lidahmu itu!"
Membalas tatapan Fred dengan sorot yang tidak kalah tajamnya, raut Gregory tidak berubah.
"Itu juga berlaku untukmu, Fred. Jaga mulutmu ketika membicarakan Lily, karena dia telah menjadi isteriku! Dan kau tahu sendiri aku bisa melakukan apa, kalau kau sampai mengulangi lagi ucapanmu tadi!"
Mengerjapkan kedua matanya, Fred menelisik wajah Gregory dan akhirnya melepasnya. Ia mulai mundur dan ekspresinya terlihat tidak percaya.
"Kau... ternyata kau benar-benar serius padanya, bro. Aku kira selama ini kau hanya bermain peran karena tidak mau mengecewakan papa. Aku tidak mengira..."
Merapihkan pakaiannya, Gregory memasukkan kedua tangan ke saku jinsnya. Ia menatap Fred dingin.
"Aku tidak akan menerima permintaan dad kalau tidak serius padanya. Kau seharusnya tahu itu."
Salah satu tangan Fred menutupi mulutnya sendiri dan matanya mengerjap cepat.
"Maafkan aku, Greg. Aku tidak tahu..."
Keheningan canggung meliputi ruangan dapur itu, sampai suara dentingan ponsel memecahnya. Raut Fred masih terlihat shock, tapi pria itu segera mengambil ponsel dari kantong celana tidurnya. Saat mengamati layarnya, terlihat keningnya berkerut dalam. Tatapannya naik ke arah Gregory yang masih mematung.
"Ada apa?"
Pertanyaan datar itu membuat tatapan Fred kembali turun ke arah ponselnya. Suaranya terdengar lebih kaku dan terselip nada tidak suka saat ia bicara lagi.
"Ed menghubungiku. Dia meminta bertemu denganku. Bersama Scott, dan juga Keith."