= Salah satu klub malam di kota CA. Jam 11.00 malam =
Di salah satu meja dekat pojokan, tampak gerombolan beberapa orang pria berkumpul dan tertawa-tawa. Mereka semuanya tampak gembira tapi satu sama lain saling tahu, tawa canda itu hanyalah kamuflase dari betapa stress-nya kehidupan mereka saat ini. Tapi tentu saja, tidak akan ada seorang pun mengakuinya.
Empat orang itu adalah teman satu alumni, yang membentuk geng sejak jaman sekolah. Mereka tergabung dalam 1 kelompok yang sama karena satu dari dua alasan, latar belakang orangtua atau mereka adalah salah satu dari pria-pria populer di sekolah. Setelah lulus, keempat orang itu berpisah karena mengambil kampus berbeda kota namun hubungan pertemanan itu tetap berlangsung hingga sekarang.
Setiap beberapa tahun sekali, biasanya salah satu dari mereka akan menginisiasi temu kangen untuk saling mengetahui kabar masing-masing. Hal ini karena ada dari mereka telah menikah, atau memutuskan pindah ke negara lain. Hari ini adalah pertemuan mereka kembali sejak 5 tahun yang lalu.
Salah satu dari mereka mengangkat gelas birnya. Wajah pria itu sudah memerah. Ia terlihat mulai mabuk.
"Yo, Scott. Bagaimana kabar Katie? S*alan kau, dude! Kau berhasil menikahi primadona kampus kita."
Pria itu menenggak cairan birnya dan mulai terkekeh pelan. Sayangnya, kekehan itu tidak disambut teman-temannya yang malah memandanginya dingin.
"Buddy. Scott sudah bercerai sejak 5 tahun lalu. Kau kemana saja?"
Informasi itu membuat si pria tertegun. Ia memandang intens temannya.
"Kalian sudah berpisah? Oh, wow dude. I'm sorry to hear that."
Senyuman sinis muncul di bibir pria dimaksud. Dengan tenang, ia mengambil gelasnya dan menyesapnya.
"No problem, Liam. Tapi omong-omong, bagaimana kabarmu sendiri? Sudah berhasil punya keturunan?"
Butuh waktu beberapa detik bagi Liam untuk meyerap maksud Scott. Dan ketika sudah paham sempurna, tiba-tiba saja pria itu melempar gelasnya dan langsung menerjang temannya.
"Kurang ajar kau!?"
Pergumulan itu tidak terhindarkan. Hampir saja kejadian itu memicu datangnya petugas keamanaan klub yang berpotensi membuat mereka terusir. Untung saja, dua pria lainnya dapat segera melerai keduanya. Salah satunya mendorong tubuh Liam menjauh dan berkata marah.
"Lebih baik kau ke kamar mandi, Liam! Dinginkan kepalamu di sana! Atau lebih baik, pulang saja ke hotelmu!"
Tampak Liam tidak terima dengan pengusiran itu, tapi ia tetap pergi dari sana dengan marah.
Setelah suasana tenang kembali, pria paling tampan di sana menoleh pada Scott yang sedikit babak belur.
"Bruv. Kenapa kau mengatakan itu tadi? Kau tahu dia punya masalah di 'sana'."
Mengelus pipinya yang lebam, bibir Scott terlihat cemberut.
"Dia sendiri yang cari masalah! Aku tidak akan mengungkitnya, kalau dia tidak menanyakan tentang Katie!"
"Bruv... Masalah Katie dengan masalah dia berbeda jauh. Aku bukannya menyepelekan masalahmu. Tapi kau tahu sendiri, Liam punya problem yang jauh lebih besar dibanding dirimu. Kau mungkin bisa menemukan pengganti Katie, tapi Liam tidak. Satu-satunya cara agar dia memiliki keturunan hanyalah dengan merelakan isterinya dibuahi oleh sp*rma pria lain. Dia tidak bisa punya keturunan seumur hidup, Scott."
Penjelasan itu tampak membuat kepala Scott tertunduk. "Kau benar. Maafkan aku, Keith."
Menepuk bahu temannya, Keith tersenyum. "Bukan padaku, Scott. Tapi kau harus minta maaf pada Liam."
Menghela nafasnya dalam, Scott berdiri dari duduknya. "Yeah. Sepertinya memang harus seperti itu."
Menatap kepergian temannya, tampak satu pria yang sejak tadi diam bersuara pelan.
"Kau punya bakat menenangkan orang, Keith."
Menyesap minumannya tenang, Keith memandang gelasnya dengan tatapan menerawang.
"Mungkin karena latar belakangku."
Sejenak, suasana antara dua orang itu senyap. Masing-masing menikmati minumannya atau hanya menatap ke arah lantai dansa yang dipenuhi lautan manusia yang ingin lari dari kenyataan sejenak. Bunyi musik yang hingar bingar tampak tidak menjadi gangguan, malah menambah adrenalin untuk berdansa.
Menoleh lagi pada Keith, terdengar pria itu bertanya. "Kau sendiri? Bagaimana kabarmu?"
Menunduk menatap gelas yang dipegangnya, Keith mengangguk.
"Yah. Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja."
"Sepertinya memang hanya kau yang tidak penah punya masalah di antara kita, bud. Dari dulu, kau selalu bisa menghadapi segala sesuatunya dengan tenang. Tidak seperti Scott, juga Kyle."
Segera setelah nama terakhir lolos dari bibirnya, ekspresi kedua pria itu tampak tegang.
"Maaf, Keith. Aku tidak sengaja-"
"Tidak masalah. Lagipula, kejadian itu sudah 5 tahun lalu. Sudah cukup lama."
Sedikit canggung, temannya menatap wajah Keith penuh rasa bersalah.
"Aku minta maaf tidak bisa menghadiri pemakamannya waktu itu, buddy. Pasti cukup berat bagi keluargamu untuk menerima kepergiannya."
"Memang cukup berat. Tapi orang yang sudah pergi, tidak akan pernah bisa kembali. Pada akhirnya, kita harus bisa menerima kenyataan itu, Ed."
Kedua orang itu terdiam sejenak, sampai Keith terlihat membereskan barang-barangnya.
"Kau mau pulang?"
"Ya. Sudah cukup malam. Sebaiknya aku pulang."
"Kita belum banyak bicara, Keith. Aku bahkan tidak tahu kau sudah menikah atau belum."
Menatap Ed, Keith hanya tertawa pelan. Tampak pria itu menepuk bahu temannya akrab.
"Kita dapat bertemu kapan saja, Ed. Kau sekarang menetap di CA, kan?"
Kepala Ed mengangguk. "Ya. Kau juga sudah kembali ke sini?"
Pria di depannya menggeleng. "Tidak. Aku tinggal di NY. Tapi 3 hari ke depan, aku akan masih di sini."
Mendengar itu, Ed tertawa keras. "Oh ya. Aku lupa kau sudah jadi bos sekarang, Keith."
Tanpa kentara, wajah Keith mengeras tapi ekspresinya segera kembali seperti semula. Tidak menanggapi komentar itu, pria itu berdiri dari duduknya setelah menyimpan ponsel di jasnya.
"Kau masih akan di sini?"
Menyenderkan punggung ke kursinya, Ed menghembuskan nafasnya kasar. Kedua tangannya ia letakkan di atas kepala sofanya dan kepalanya menengadah.
"Sepertinya aku akan menunggu Scott dulu. Aku ingin mengajaknya bertemu dengan Fred. Kau masih ingat Fred Harrington? Anaknya paman Roderick? Developer Harrington co.?"
Kepala Keith meneleng dan ia menggangguk. "Ya. Aku masih ingat. Kita bertiga pernah magang di sana, kan?"
Raut Ed tampak sedikit heran saat memandang Keith kembali.
"Kalau tidak salah, bukannya kau berteman baik dengan Frederick, Keith? Bertiga dengan Andrea?"
Pertanyaan itu membuat raut Keith memucat. Tampak pria tampan itu menelan ludahnya.
"Sudah lama aku tidak berhubungan dengan Fred, Ed. Memangnya dia di CA?"
Ed tertawa sedikit keras. "Kau ini bagaimana sih? Tentu saja Fred di CA, dia kan penerus perusahaan paman Rod. The Harrington, co. Tapi seingatku, dia baru diangkat CEO beberapa tahun ini menggantikan ayahnya."
Tubuh Keith menegak dan suaranya terdengar santai. "Oh ya? Aku baru dengar."
Sebelum Ed memberikan respon, tampak Keith mengamati jam tangannya. "Aku harus segera pergi, Ed."
Keduanya berjabat tangan erat. "Hubungi aku kalau kalian akan bertemu dengan Fred Harrington. Aku juga ingin tahu mengenai kabar orang itu."
Kembali tertawa keras, Ed memberikan tekanan pada jabatan tangannya. "Tentu saja. Kalian para pengusaha sukses, harus membagi rahasia pada kami-kami yang hanya mengandalkan fisik untuk mencari uang."
***
= Rumah Harrington. Ruang perpustakaan, jam 00.45 dini hari =
Baru saja Lily menyelipkan entah buku keberapa yang dibacanya malam itu, terdengar suara pintu kayu yang terbuka dari luar. Saat ia menoleh, tampak suaminya yang mengenakan jubah tidur sedang memandanginya.
"Lily. Kenapa kamu belum tidur?"
Kembali memusatkan perhatian ke deretan buku-buku di depannya, wanita itu menjawab lembut.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak bisa tidur. Rumah ini sangat sepi."
Suara pintu yang tertutup pelan terdengar dari arah belakangnya, tapi ia tidak berbalik. Wanita itu malah mengambil salah satu buku lagi dari rak dan mulai membukanya.
Merasakan telapak hangat pria itu di bahunya, Lily menutup buku itu keras dan menghela nafas.
"Apa maumu, Greg?"
Dagu pria itu terasa bertengger di ubun-ubunnya. Kedua telapakannya mengusap lembut lengan atas wanita itu dan mulai mengalirkan udara hangat ke tubuhnya.
"Kamu marah?"
Mengembalikan buku itu ke tempatnya, wanita itu belum berbalik. Ia masih cukup malu karena peristiwa beberapa jam lalu. Di saat ia baru mau membuka diri terhadap keint*man dari suaminya, malah lelaki itu yang menarik diri darinya. Saat ini perasaan Lily campur aduk. Ia masih dan akan tetap mencintai Gregory, tapi ia sama sekali tidak tahu perasaan pria itu padanya selain n*fsu.
"Aku tidak marah, Greg. Aku cuma bingung."
"Apa yang membuatmu bingung?"
"Sebenarnya kenapa kamu menikahiku, Greg? Selain karena bern*fsu padaku."
Usapan lelaki itu di lengannya berhenti. Saat berbicara lagi, nada pria itu terdengar kaku.
"Kenapa kamu berfikir seperti itu? Sudah aku bilang, Red. Aku menginginkanmu. Aku tergila-gila padamu."
"Apa bedanya itu dengan n*fsu, Gregory? Ingin memiliki dan tergila-gila membuatmu terobsesi padaku. Dan obsesimu itu karena bern*fsu padaku. Karena itu aku tidak mau menikah denganmu. Setelah mendapatkan tubuhku, apa lagi yang aku punya? Tidak ada, Greg."
Cengkeraman Gregory di lengannya terasa menguat dan suara pria itu sedikit tercekat. "Lily..."
"Pernikahan bukan permainan, Gregory. Kalau kamu menikahiku karena kasihan atau karena permintaan papa, kamu boleh menceraikanku sekarang juga. Saat ini juga. Lebih baik aku hidup sendirian, dibanding menghabiskan masa tuaku dengan seorang suami yang sama sekali tidak menyayangiku. Tubuh yang bagus akan menua. N*fsu yang menggebu akan menurun. Kalau semuanya telah hilang, apa kamu akan tetap di sampingku nantinya? Apa kelebihanku dibanding wanita lain yang lebih muda, dan lebih cantik?"
"Lily... Aku-"
Melepaskan diri dari genggaman suaminya, Lily mundur dan berbalik. Dalam sorot matanya, tidak ada rasa marah atau tuduhan pada pria yang telah menyakitinya dulu. Dari awal, ia sudah tahu akan melangkah ke mana. Hanya saja, tadinya ia berharap masih punya kesempatan. Tapi kejadian beberapa jam lalu, membuat perasaan rendah dirinya kembali lagi seperti dulu. Sepertinya, ia hanya akan menjadi fans pria ini seumur hidupnya. Tidak kurang, tidak lebih dan mungkin untuk yang terbaik.
Memaksakan senyuman di bibirnya, Lily menepuk pelan d*da suaminya.
"Pikirkanlah, Rory. Apapun keputusanmu, aku tidak akan pernah menyalahkanmu. Selamat malam."
Baru saja kaki mungil itu akan melangkah, tiba-tiba saja tubuhnya terdorong dan membuat punggungnya menabrak rak di belakangnya. Ia belum sempat bereaksi, saat celana tidurnya diiturunkan paksa ke kakinya.
Lily menjerit kecil saat merasakan tangan pria itu mulai menjamah dan melakukan sesuatu yang kurang ajar di area tubuhnya yang paling pribadi. Wanita itu berusaha memberontak ketika tubuh suaminya mendekat dan menekannya kuat ke arah rak buku.
Wajah mereka saling berdekatan dan mata biru pria itu memandanginya sayu. Deruan nafas berat terdengar dari hidung dan mulut lelaki itu yang membuka. Gerakan tangannya di bawah mulai terasa membuat tubuh Lily bergetar dalam kungkungan suaminya.
"Greg. Please-"
"Please apa, Red? Apa kamu memohon padaku untuk bergerak lebih cepat?"
Selesai mengatakan itu, jari-jari lelaki itu di bawah benar-benar melakukan ancamannya dan membuat Lily memekik. Wanita itu menggigit bahu suaminya untuk meredam suaranya. Kuku-kukunya yang pendek mulai mencengkeram dan mencakar lengan atas suaminya yang berotot.
"Greg!"
Mengusap lebih agresif, mulut Gregory mend*sah di telinga wanita itu.
"Katakan apa keinginanmu, Red. Aku akan melakukannya untukmu, seperti janjiku dulu."
Pelepasan kuat yang dirasakannya membuat Lily menjepit tangan suaminya kencang. Kepalanya terdongak.
"Masih belum cukup, Red? Jangan khawatir, aku akan memberikannya lagi padamu."
Keringat membanjiri tubuh Lily dan membuatnya lemas. Wanita itu tidak berdaya saat pria itu berjongkok di depannya dan ia dapat merasakan hisapan kuat di area pribadinya, membuatnya kembali menjerit.
"Ah! Greg!"
Aliran air jatuh di kedua pipinya, saat ia mendapatkan lagi pelepasan luar biasa dari suaminya. Tubuhnya benar-benar gemetar saat ini. Hampir saja ia merosot dari posisinya, kalau pria itu tidak segera berdiri dan memeluknya di pelukannya yang panas.
"Gregory... Please..."
"Masih belum cukup? Tenang saja, Red. Aku masih sanggup memberikannya!"
Merasakan tubuhnya terangkat, wanita itu hanya bisa berpegangan di bahu suaminya dan akhirnya terbaring lemas di atas tempat yang empuk. Ia hanya bisa pasrah, ketika seluruh pakaiannya dilucuti.
"Rory..."
"Kamu tenang saja, Red. Nikmati saja, biar aku memberikan kepuasan untukmu."
Kata-kata itu adalah kata-kata terakhir yang didengarnya sebelum kesadarannya menghilang. Namun dalam kabut kenikmatan yang samar-samar, Lily masih cukup dapat berfikir jernih.
Kau memberikan kepuasan untukku? Bagaimana dengan kepuasanmu sendiri, Greg?
Sayangnya, setelah itu ia langsung tidak sadar. Malam itu, kembali ia mendapatkan kepuasan dari suaminya.